Saturday 8 April 2017

Belajar Waras kepada Pria Edan



Pengetahuan yang luas biasanya melahirkan "kebijaksanaan". Tetapi pria ini, semakin luas pengetahuannya justru semakin "kemlinthi" saja.

Nama pria ini pernah begitu sering tercetak di media massa Indonesia. Sebutkan saja salah satu nama koran di Indonesia. Saya pastikan, koran itu pernah memuat tulisannya.

Bahkan beredar anekdot: kalau belum memuat tulisannya, berarti koran itu belum jadi koran dalam arti yang sebenarnya.

Dia seorang pembaca yang tangguh, tidak sekadar tekun. Ia mempelajari banyak hal, memiliki koleksi buku lebih banyak dari koleksi yang dimiliki perpustakaan daerah, dan menyediakan waktu yang cukup untuk melahap buku-bukunya itu.

Karena itu, buku referensi setebal 300 halaman biasa ia nikmati dalam waktu sehari.

Setelah sekian lama tidak ketemu, siang tadi saya bertemu dengan dia. Rambutnya gondrong, pakai jepit, dia berkendara motor jadul. Main ke rumahnya, saya disuguhi aneka keganjilan.

Dia belum tua-tua amat. Usianya mungkin berselisih 8 tahun dengan saya. Tetapi karena pilihan ideologisnya, ia tak memakai ponsel pintar. Ia menggunakan ponsel lama seharga Rp155 ribu.

Alasannya, ia mencukupkan diri. Untuk menunjang komunikasi, dia mengaku cukup memiliki ponsel dengan fasilitas telepon dan pesan singkat.

Sebagai penulis dia memang memerlukan internet untuk mengirimkan naskah ke media. Tetapi kebutuhan itu masih bisa ia cukupi dengan mengunjungi warung internet di kampungnya.

Dengan ponsel jadulnya, ia bisa melindungi diri dari paparan informasi yang berlebih dan tidak perlu. Ia tak Facebookan, Whatsappan, Youtuban, sehingga memiliki lebih banyak waktu membaca dan momong anak.

Dengan itu pula, pria ini menjaga kesehatan jiwanya. Tinggal di kampung yang sepi di pinggiran Solo, ia bisa berinteraksi dengan orang-orang di sekitarnya seperti layaknya manusia.

Tentu saja tidak ada adegan seperti ini di rumahnya: suami istri duduk di ruang yang sama sambil pegang hape masing-masing karena WA atau FB.

Secara sadar, tampaknya, dia menghindari rayuan hidup mudah ala masyarakat perkotaan. Dia juga memusuhi aneka keganjilan di lembaga pendidikan formal.

Karena itulah, meski tiga kali ditawari almamaternya untuk menjadi dosen, pria ini menolak. Dia memilih hidup sebagai penulis, pembaca buku, bapak rumah tangga.

“Saya harus ngajar di kelas dengan mahasiswa yang ndak pernah baca buku? Membuat nilai-nilai palsu? Terus pakai seragam rapi? Kalau di kantor berbasa-basi dengan teman dan atasan begitu? Bisa mati muda saya,” katanya.

Meski begitu, pria ini tak benar-bnar menolak menjadi “dosen”. Di rumahnya yang berbentuk joglo, ia sering mengundang atau didatangi anak-anak muda yang ingin belajar nulis.

Ia membiarkan ruang utama rumahnya jadi barak bagi anak-anak muda yang menginap untuk belajar nulis itu. Dari “universitas” yang diasuhnya, sudah lahir belasan penulis muda belia.

Selain itu, ia tak menolak ketika diminta guru SD untuk mengajar di sekolahnya. Syaratnya, dia tidak dibatasi oleh kurikulum, silabus, evaluasi, dan semacamnya. Dia ingin mengajar anak-anak SD dengan gembira, merdeka.

Dia mengkritik saya bukan karena saya memilih mengajar di lembaga “resmi”, tetapi karena menurutnya saya menunjukkan gejala kegilaan.

Indikasinya, saya semakin jarang nulis. Energi dan waktunya “habis” untuk menghadapi mahasiswa di kelas, ngurus administrasi. Padahal, menurutnya, saya termasuk penulis yang beruntung karena “lahir” pada usia relatif muda.

Dia mulai nulis saat usianya 28 tahun. Usia yang menurutnya terlalu tua. Sementara saya sudah mulai nulis sejak usia 20 tahun, semester dua kuliah.

Dia sekaligus memperingatkan supaya tidak melanjutkan kegilaan-kegilaan lain. Kalaupun jadi dosen, katanya, ya musti jadi dosen yang bisa menggerakkan hati mahasiswa, bukan pengajar yang sekadar patuh dengan aturan perkuliahan dan semacamnya.

“Mati muda nanti kamu,” katanya.

Ada yang tahu, siapa orang edan ini?

Monday 17 October 2016

Dengan Tangannya Adam Melindungiku dari Rintik Hujan



Pertengahan Oktober 2016 lalu aku dan istri mengunjungi keluarga di Banjarnegara. Kami berniat bayar pajak kendaraan, tentu saja selain bertemu keluarga.
Dari Petuguran, aku dan istri berangkat ke kota pukul 10. Kami harus menunggu keponakan kami, Adam Nurohmat (6 tahun) yang sedang sekolah. Kami memang berencana mengajaknya, mampir ke TRSM Serulingmas untuk renang, sekalian jalan-jalan dan membeli CD Ultramen kesukaannya.
Belum kelar urusan kami di Samsat, Samsat tutup karena karyawan istirahat untuk salat Jumat. Saat itu hujan mulai turun, cukup deras.
Aku berencana mencari masjid terdekat. Satpam menunjukkan, masjid terdekat ada di sebelah barat, sekitar 500 meter. Karena waktu salat Jumat hampir habis, aku bergegas ke masjid meskipun hujan masih cukup lebat. Kami tak bawa mantel.
Adam kuminta menunggu di kantor samsat degan istriku. Tapi dia tidak mau. Dia pengin ikut ke masjid.
Maka, aku lepaskan jaket parasutku agar dia pakai. Kemudian dia kugendong. Dengan begitu kami tidak terlalu basah.
Tapi ternyata jarak ke masjid cukup jauh. Meski berlindung dengan jaket, saya dan Adam tetap basah. Kepala saya tidak terlindungi jaket. Tapi karena sudah telanjur lari, kami lanjut saja menuju masjid.
Dari atas gendongan Adam tampaknya melihat kalau kepalaku basah kuyup. Dia kemudian menggunakan tangannya untuk menutupi kepalaku. Mungkin maksudnya supaya tidak semakin basah. Tapi tentu saja tangan kecilnya tidak bisa menutupi seluruh kepalaku, tetap saja basah.
Tapi bukan itu yang terpenting. Yang terpenting, saat itu aku merasakan Adam begitu sayang kepadaku. Dia punya inisiatif menggunakan tangannya untuk melindungiku dari hujan. Dia melindungiku semampunya. Begitu pula aku: akan melindunginya semampuku.
“Anak baik, semoga kau selalu sehat. Tumbuhlah menjadi orang baik,” batinku sambil terus lari di bawah rintik hujan.

Monday 8 February 2016

Postdikotomik

Era kita hidup dan masa-masa seseudahnya, barangkali, tidak akan memberi ruang yang layak lagi bagi pikiran-pikiran dikotomik. Cara bernalar memisahkan sesuatu pada dua kubu yang seolah-olah berseberangan, tidak akan lagi diterima. 

Sikap itu muncul karena kerumitan-kerumitan relitas mulai terurai. Dan, realitas terbaca tidak sesederhana seperti apel yang dibelah. Sesuatu yang tampak seperti dua hal yang berhadap-hadapan, ternyata adalah satu. Atau, dua hal yang tampak saling meliyankan, ternyata hanya sebagian dari sebagian jumlah besar lainnya.

Logika dikotomik, sangat mungkin, muncul karena bahasa lahir secara dikotomik. Orang perlu membedakan sesuatu dengan sesuatu yang lain. Tanda baru diperlukan untuk menyebut “sesuatu yang lain dari yang telah ada”. Dari proses itu, hubungan tanda baru dengan tanda lain yang pernah ada tampak bersandingan, berkonforntasi, atau menegasikan.

Dalam bahasa, logika antonimi adalah contoh logika dikotmik yang populer. Baik berelasi secara dikotomik dengan buruk sebagimana benar berelasi dengan salah. Bahkan hitam disepakati secara kolektif berantonim dengan putih, tanpa penjelasan fisis yang mencukupi sekalipun.

Logika dikotomik dalam bahasa melatih pikiran manusia sebagai alat memilah yang efisien untuk menempatkan sesuatu sebagai oposan, bivalensi, atau lawan bagi sesuatu yang lain. Logika demikian dipakai sekadar menyederhana sesuatu yang jauh lebih rumit namun tak tertuturkan.

Dalam banyak riset sosial, logika semacam ini telah banyak terbukti tidak memadai lagi untuk menggambarkan realitas. Misalnya, sudah tidak relevan lagi menghubungan kapitalisme dan sosialisme sebagai dua ha lyang berdiri di ujung yang lain. Kedua paham itu bisa menemukan kesatuan fundamental. Atau, bisa jadi, kapitalisme dan sosialisme justru hanya hiponim bagi konsep yang lebih besar.

Sudah tidak relevan pula menyebut tua dan muda dalam relasi dikotomik yang kaku. Ada sesuatu yang muda namun sejatinya tua. Demikian sebaliknya.

Faktor penyebab sesuatu, dulu, kerap dipilah ke dalam dua kotak: internal dan eksternal. Dalam pembagian itu, internal dan eksternal tampak seperti dua kamar hotel yang bersekat tembok. Padahal dalam banyak hal, sekat itu seperti jaring dari linen yang lembut.

Subjektif dan objektif juga kerap didikotmikan sebagai sesuatu yang berlainan dan berhadap-hadapan. Tapi kini telah ada subjektivisme objektif atau objektivisme subjektif untuk menunjukkan betapa cair kebutuhan itu.

Pun demikian dengan cara kebanyakn orang memilah waktu. Lazimnya, waktu dieklompokan menjadi dua: yang lampau dan yang mendatang. Dua hal itu disekati secara ketat oleh yang kini. Tapi tesis Suhail Inayatullah soal poisble future justru menunjukkan dialektika dan agaknya kemenyatuan antara masa lalu dan masa depan.

Tegal 8 Februari 2016

Monday 20 April 2015

Teks dalam Teks pada Iklan



 
Salah satu ciri bahasa iklan adalah adanya teks dalam teks. Inilah yang membuat bahasa iklan memiliki daya persuasi besar meskipun wujud gramatikalnya sederhana. Pembuat iklan memanfaatkan “teks” berupa pengalaman kolektif, mitos, atau pengetahuan umum sebagai bahan untuk mengonstruksi teks iklannya. Pada beberapa iklan, teks yang diberdayakan adalah pengetahuan-pengetahuan yang tersimpan di luar kesadaran.

Dalam studi kesusasteraan, fenomena teks dalam teks kerap disebut sebagai intertekstualitas. Pendekatan intertekstualitas menganggap bahwa sebuah teks tidak berdiri sendiri. Terdapat teks-teks lain yang menopang eksistensi teks bersangkutan. Teks “dalam” turut memberi arti dan kebermaknaan  teks “luar”. Interteksualitas juga sering disebut sebagai dialog antarteks karena memungkinkan teks-teks terbaca pola dan relasinya.

Dalam teori intertekstualitas teks diasumsikan seperti kain yang ditenun dengan benang pengetahuan. Perhatian pembaca semestinya tidak hanya tertuju pada hasil akhir kain. Perhatian terhadap jenis dan sifat benang diyakini akan membantu pembaca dapat membaca isi dan karakter kain. Karena pengetahuan berisfat ideologis dan memiliki motif, intertekstualitas dapat digunakan pembaca untuk memahami motif di balik teks.  

Menurut Kristeva  (dalam Worton, 1990: 1) tautan antarteks dapat terjadi karena dua alasan. Pertama, sebelum menulis teks, setiap pengarang adalah pembaca teks. Karya seorang pengarang tidak bisa dihindarkan dari berbagai jenis rujukan, kutipan, dan pengaruh teks yang sebelumnya telah dibaca. Kedua, sebuah teks tersedia hanya melalui proses pembacaan. Kemungkinan adanya penerimaan atau penentangan terletak pada pengarang melalui proses pembacaan.

Kajian tentang interteksualitas awalnya hanya populer di wilayah kesusasteraan. Prinsip intertekstualitas digunakan untuk memberi  makna berbagai cara yang terdapat dalam teks sastra, atau yang berhubungan dengan teks lain, baik secara terbuka, tertutup, tersamar dalam kiasan-kiasan atau dengan asimilasi dari karya tersebut. 

Menurut Amertawengrum (2010) prinsip intertekstualitas diterapkan di Indonesia pertama kali oleh Teeuw. Teeuw membuktikan bahwa dalam sastra Indonesia modern prinsip-prinsip interteks dapat diterapkan dengan baik. Ia mencontohkan hubungan intertekstual antara sajak “Berdiri Aku” karya Amir Hamzah dengan sajak “Senja di Pelabuhan Kecil” karya Chairil Anwar.

Sebuah versi iklan asuransi yang diproduksi Allianz dapat menjadi contoh yang relevan penggunaan intertekstualitas dalam dunia periklanan. Dalam iklan outdoor yang ditayangkan di beberapa kota Allianz menggunakan tagline “Solusi asuransi dari A sampai Z”. Tagline itu berdaya persuasi tinggi karena dapat mengarahkan pembaca pada simpulan bahwa Allianz menyediakan layanan asuransi lengkap.

Pesan  sebagai asuransi “lengkap” memang tidak muncul secara eksplisit pada teks tagline. Namun, di luar teks tagline ada teks lain berupa pengetahuan bahwa frasa “Dari A sampai Z” berarti lengkap. A merupakan huruf pertama dalam sistem alfabetis latin yang populer di di berbagai belahan dunia. Adapun Z adalah huruf terakhir pada sistem alfabetis tersebut. Rentang antara A sampai Z mencakup keseluruhan huruf yang ada dalam sistem alfabetis. Oleh karena itu, frasa “dari A sampai Z” bersinonim dengan kata “lengkap”.

Apakah perusahaan asal Jerman ini benar-benar memiliki produk asuransi lengkap dalam arti komplit? Allianz barangkali memang memiliki diversifikasi produk yang beragam, mulai dari asuransi jiwa, kendaraan, rumah, tenaga kerja, asset, dan lainnya. Namun, tidak berarti mereka memiliki seluruh jenis produk asuransi. Frasa “Dari A sampai Z” yang dijadikan tagline Allianz bisa jadi hanyalah game karena nama perusahaan itu memang dimulai dengan huruf A dan diakhiri dengan huruf Z.

Rahmat Petuguran, dosen Bahasa Indonesia Universitas Negeri Semarang (Unnes)

Tulisan Terbaca dan Tulisan Terabaikan

Di sebuah kelas, saya pernah minta mahasiswa membuat kata atau kalimat pendek yang menggambarkan Ir Soekarno. Mereka boleh buat kata atau kalimat apa pun sesuai pengetahuan mereka. Namun, sebisa mungkin kata itu mewakili keseluruhan impresinya terhadap presiden pertama RI itu.

Beberapa kata awal yang mereka sampaikan mudah ditebak: presiden pertama, proklamator, orator hebat, istrinya banyak, marhaenisme, dan pemimpin pergerakan. Informasi itu saya kira telah kita ketahui sejak kita masih kelas lima SD. Kemudian, ada mahasiswa yang mengungkapkan satu kata bernuansa negatif: kemproh!

“Kok bisa?” begitu sergah teman-teman mahasiswa. Beberapa hari usai Proklamasi kemerdekaan, Soekarno, Hatta, dan Sjahrir berkunjung ke Hanoi, Vietnam. Perjalanan pulang, mereka naik pesawat perang.

Ketika nyaris mendarat di Jakarta, Soekarno kebelet pipis. Padahal tak ada toilet di pesawat bekas perang itu. Tapi dia tak ambil pusing. Dia pergi ke salah satu sudut pesawat dan “thuuuuur”. Tiba-tiba angin masuk lewat lubang dinding pesawat bekas peluru. Air seninya terbawa angin membasahi Hatta dan Sjahrir.

Penilaian bahwa Soekarno “kemproh”  mendapat perhatian dari kelas. Menurut saya, informasi itu memiki tiga keunggulan sekaligus. Pertama, baru – setidaknya bagi mayoritas mahasiswa di kelas. Kedua, tak tertebak. Ketiga, kontras , karena nuansa maknanya sama sekali berbeda dengan penilaian tentang Soekarno lain.

Pakar pengembangan diri John Maxwell pernah berhipotesis, dalam sehari seseroang menerima sekitar 35 ribu pesan. Saat bangun tidur ia melihat jam atau handphone. Di sana tertera merk tertentu. Saat menuju kamar mandi ia melihat merk pasta gigi. Saat menyalakan keran ia melihat logo American Standard. Semua itu bersifat visual yang  membawa pikirannya pada persepsi tertentu.

Kondisi demikian membuat seseroang, entah secara sadar atau tidak, membuat prioritas untuk memahami satu pesan sekaligus mengabaikan pesan lain. Jika pesan itu menarik dan berguna, ia mungkin mengingatnya sepanjang hari. Tapi jika pesan itu biasa-biasa saja, tak menarik, seseroang cenderung mengabaikan begitu saja.

Jika kondisinya benar demikian, agar bisa mendapat perhatian audience, sebuah pesan berrkompetisi dengan puluhan ribu pesan lain.

Demikian pula tulisan, pada sebuah koran atau majalah, misalnya. Ada satu berita yang sukses mendapat perhatian pembaca, dibaca sejak kalimat pertama hingga kalimat terakhir, didiskusikan, bahkan jadi bahan perbincangan. Tapi pada saat yang sama, ada tulisan yang dilirik pun tidak.

Lalu, bagaimana membuat tulisan yang menarik dan terbaca? Saya akan menyampaikan tiga teori kebahasaan yang barangkali membantu Saduara membuat tulisan lebih menarik.

Informasi Baru

Salah satu tabiat yang dapat kita temukan pada hampir setiap orang adalah kecintaan pada sesuatu yang baru. Anak-anak menyukai sepatu baru, siswa bersuka cita menyambut tahun ajaran baru, bahkan (diam-diam) para suami mendambakan istri baru. Sesuatu yang baru menjanjikan petualangan, tantangan, dan keseruan.

Saat berbelanja buku, para pembaca biasanya berkeliling dari rak ke rak untuk melihat koleksi yang tersedia. Buku dengan judul yang belum pernah mereka dengar biasanya lebih menyita perhatian daripada buku yang telah mereka dengar atau baca.

Membaca, pada dasarnya juga aktivitas belanja. Barang yang dicari adalah informasi. Adapun paragraph adalah raknya. Saat menjumpai paragraf dengan konten informasi jadul, mata akan bergerak lebih cepat berpindah ke paragraph berikutnya.

Dari ketiga informasi mengenai Kota Semarang berikut ini, menurut Anda mana informasi yang lebih menarik: (1) Simpang Lima terletak di pusat Kota Semarang; (2) Kecamatan Semarang Utara paling rawan terkena rob; atau (3) Dalam sepekan, 14 ribu kondom habis di Sunan Kuning?

Kebaruan tak selalu berkaitan dengan informasi. Kebaruan juga bisa diperoleh dengan menjajaki cara ungkap.

Pada umumnya, penulis menggunakan pola kalimat deduktif saat mengembangkan gagasan. Jika pola ini digunakan terus menerus, akan membosankan. Maka, sebaiknya tulisan boleh dikreasi dengan pola pengembangan paragraf induktif.

Sejak lama kita diajari bahwa pola kalimat yang baku adalah SPOK. Subjek proedikat objek dan keterangan. Sebagaimana pembakuan lain, pembakuan struktur kalimat itu uga membosankan. Maka, sesekali perlu kreasi KSPO atau struktur lain yang memungkinkan.

Dulu, para wartawan punya satu jenis tulisan untuk memberitakan berbagai hal. Strightnews. Lama-lama orang mulai jengah dengan gaya tulisan yang itu-itu saja. Maka, para jurnalis berinovasi memperkenalkan cara bercerita baru: feature. Kini setidaknya sudah ada 5 jenis laporan jurnalistik.

Hemat, Ringkas

Di sebuah seminar, kita kerap mendapati peserta yang bertanya ke narasumber. Namun, ia justru menyampaikan intro pertanyaan yang jauh lebih panjang dari inti pertanyaannya.

Pertanyaan jenis ini barangkali cocok jika kita ingin pamer pengetahuan. Tapi, risikonya adalah pertanyaan justru jadi tampak rumit dan membingungkan.

Wartawan Pantau Andreas Harsono membuat panduan sederhana mengenai kalimat yang baik.  Menurutnya, kalimat yang antara 3 sampai 8 kata adalah kalimat paling mudah dimengerti. Kalimat 9 sampai 12 masih terhitung cukup mudah. Kalimat 13 sampai 18 mulai sulit. Adapaun kalimat di atas 18 kata termasuk sangat sulit dipahami.

Kalimat yang ringkas membuat informasi dapat diserap lebih cepat. Sebab, kalimat demikian biasanya memiliki satu informasi pokok. Pembaca tidak perlu mengaitkan variabel informasi satu dengan variabel lain.

Cobalah bandingkan dua kalimat ini:
1.    Pendaftaran SNMPTN 2015 dibuka 22 Februari hingga 15 Maret.
2.    Kalau kamu siswa kelas tiga SMA yang berencana mendaftarkan diri ke perguruan tinggi negeri, sebaiknya tahu bahwa pendaftaran SNMPTN 2015 dibuka sejak 22 Februari 2015 dan akan ditutup pada 15 Maret 2015 mendatang.

Kebutuhan untuk membuat kalimat majemuk biasanya muncul karena kebutuhan tertentu. Ada kalimat majemuk perbandingan, ada kalimat majemuk pertentangan, ada pula kalimat majemuk relasional.

Jika memang benar-benar diperlukan, tidak ada salahnya membuat kalimat majemuk yang kompleks dan panjang bak kereta. Tapi, sebaiknya itu dihindari.

Para blogger dan sjeumlah editor majalah menggunakan Flesch–Kincaid readability tests untuk menguji apakah tulisannya cukup atau justru terlalu panjang.  Secara sederhana, tes ini digunakan untuk mengukur keterbacaan sebuah kalimat.

Reader's Digest memiliki skor keterbacaan 65. Majalah Time memiliki skor sekitar 52. Itu artinya, kalimat yang digunakan pada dua majalah ini termasuk mudah dipahami oleh penutur bahasa Inggris. Harvard Law Review, sebuah jurnal akademik di Harvard, punya skor keterbacaan hanya 30. Artinya, jurnal itu memang hanya lebih cocok dibaca oleh mahasiswa dan pakar hukum.

Kata Sederhana
Ada rumor – entah benar atau tidak – para penulis pemula suka menggunakan istilah asing yang canggih. Itu dilakukan untuk membuat tulisannya tampak akademik dan berbobot. Kata-kata canggih digunakan sebagai kompensasi lantaran ide mereka masih sederhana. Belakangan gelaja itu kerapkita sebut sebagai Vickinisasi, yaitu gejala menggunakan istilah-istilah yang canggih supaya tampak pintar.

Kondisi ini agak berkebalikan dengan penulis senior seperti Malcolm Gladwell. Ia menulis hal-hal tak sederhana dengan kata dan pola gramatikal sederhana. Barangkali itu salah satu faktor yang membuat bukunya laris – David Versus Goliath salah satunya.

Dalam pengertian yang sederhana, menulis adalah ikhtiar menyempaikan pesan kepada pembaca. Pesan akan lebih mudah dipahami jika pembaca dapat memahami pesan gramatikalnya. Adapun pesan gramatikal lebih mudah dipahami jika tiap-tiap kata dapat dicerna maknanya.

Saat membaca teks, mata pembaca bergerak melompat dari satu kata ke kata lain, bukan menelusuri deretan huruf. Saat pandangan terfokus pada kata yang mudah ia akan bergerak lebih cepat. Tapi saat mata fokus pada kalimat panjang, asing, dan ambigu mata akan tertahan beberapa lama untuk mencernanya.

Rahmat Petuguran, dosen Universitas Negeri Semarang, penulis buku Melawan Kuasa Perut (2014)