Wednesday, 13 January 2010

Interaksi Sosial Warga Perumahan

Hampir di seluruh kota di Jawa Tengah perumahan mulai bermunculan. Kebutuhan masyarakat terhadap tempat tinggal yang nyaman tanpa mau repot memikirkan proses pembangunannya dimanfaatkan pengembang sebagai ceruk usaha yang potensial. Berbagai jenis cluster perumahan pun berdiri, baik di kota maupun kawasan pinggiran.

Sayangnya tren tinggal di perumahan juga memunculkan kakhawatiran terkait tren pergaulan antar penghuninya. Masyarakat yang tinggal di sana seringkali terbatasi ruang interaksi sosialnya karena desai perumahan kurang mendukung.

Sebagai barang dagangan, perumahan dibangun dengan pertimbangan efektif dan efisien. Sebab, efsisiensi lebih menguntungkan pengembang. Selain itu, selera masyarakat modern pada sesuatu yang instan, praktis dan efisien membuat pengembang menyediakan perumahan yang didesain untuk memenuhi kebutuhan dasar tempat tinggal.

Desain yang praktis dan menonjolkan kepentingan masing-masing pemilik membuat interaksi antarpenghuni perumahan sulit dibangun. Mereka cenderung bersikap eksklusif dan menjaga jarak dengan penghuni lain. Meski biasanya memiliki teras sebagai tempat leyeh-leyeh, pemilik rumah biasanya memasang pagar teralis atau gerbang yang membatasi eksesibilitas rumah.

Perumahan yang umumnya dihuni masyarakat dari beragam latar belakang memaksa penghuninya untuk tetap menjaga jarak. Mereka tidak saling kenal sebelumnya sehingga belum saling percaya. Mereka enggan bertamu atau menerima tamu kecuali untuk keperluan tertentu. Padahal, menurut Siagian (2004; 216), interaksi positif hanya terjadi apabila terdapat suasana saling mempercayai, menghargai, dan saling mendukung.

Desain perumahan yang minim membuat hubungan yang terbangun antarpemilik rumah hanya hubungan lahiriah karena mereka tinggal di tempat yang sama. Hubungan yang terjalin hanya kosnkuensi logis dari persinggungan yang tidak disengaja. Sedangkan tradisi tegur sapa, urun rembug, dan rewang-rewangan tidak terbentuk karena mereka merasa madniri secara ekonomi.

Sikap permisif yang terbangun di perumahan punya dampak besar terhadap rapuhnya struktur sosial masyarakat. Kerekatan sosial yang sejak ratusan tahun menjadi ciri khas entitas kebudayaan Jawa pudar. Masing-masing pemilik rumah tenggelam dalam keasyikan mengurus keperluan pribadi tanpa peduli urusan warga lain.

Tata ruang
Tidak terbangunnya interaksi sosial yang sehat di perumahan juga merupakan kesalahan pengembang. Karena terlalu sibuk dengan hitung-hitungan untung-rugi mereka luput menyediakan ruang interaksi yang memadai. Ruang sosial yang sehat tidak menjadi bagian penting dalam rencana usaha mereka sehingga terabaikan. Padahal, ruang sosial yang dapat mempertemukan sesama warga adalah kebutuhan prinsip untuk menjaga kesejahteraan ruhani mereka.

Untuk mengetahui minimnya ruang sosial di perumahan kita bisa badningkan dengan perkampungan Jawa pada tahun 1990-an. Rumah di tempat itu biasanya memiliki pekarangan terbuka yang luas untuk berbagai keperluan. Selain sebagai penyeimbang lingkungan, pekarangan dimanfaatkan sebagai ruang interaksi sesama warga. Mereka saling sapa saat bertemu tetangga, baik yang sama-sama di pekarangan atau yang lewat di jalan.

Pekarangan punya andil segnifikan sebab kerap dijadikan tempat menumpahkan berbagai persoalan, dari urusan kecil seperti tegur sapa hingga rembug warga. Ibu rumah tangga memanfaatkannya untuk menjemur pakaian, menanam obat herbal dan sayur, juga tanaman hias, sedangkan anak-anak bisa memanfaatkan pekarangan untuk bermain. Mereka bermain kasti dengan anak-anak lain, sepak bola mini, bermain sondamanda, membuat ayunan, atau main pasar-pasaran.

Berbeda dengan kampung Jawa, perumahan modern cenderung mengeliminasi keberadaan ruang interaksi. Dengan alasan efisiensi, rumah di perumahan dibangun berhimpitan, bahkan dengan sistem satu tembok. Halaman belakang dipagari supaya aktivitas wingking tidak dilihat orang lain. Sedangkan halaman depan biasanya dipagar teralis besi yang tinggi dan kokoh sehingga tidak terjamah orang luar.
Selain pekarangan, perumahan juga kerap tidak menyediakan ruang terbuka yang bisa dimanfaatkan secara massal oleh warga. Ruangan terbuka seperti alun-alun yang tersedia selama ini kurang proporsional. Luasnya tidak seberapa dan terletak di pinggiran.

Minimnya ruangan terbuka, khususnya pada perumahan kelas menengah ke bawah, membuat warga tidak bisa menyelenggarakan tradisi massal. Akhirnya, tradisi semacam grebek, syawalan, atau selamatan bumi tenggelam dalam kesibukan individual yang tidak ada habisnya. Warga pun kehilangan kesempatan mengenal, di kenal, dan berinteraksi dengan warga lain.

Mencermati pembangunan perumahan dewasa ini, kecenderungan di atas agaknya akan bertahan lama. Sebab, berdasarkan pengamatan penulis, hingga kini belum ada perumahan yang menyediakan teras dan halaman luas sebagai ajang sosialisasi, atau alun-alun representatif yang luas dan rindang di tengah tengah komplek. Belum ada juga perumahan yang menggagas grebek, syawalan, atau festival dolanan sebagai katalisator interaksi sosial penghuninya.

Surahmat, mahasiswa BSI Unnes, bergiat di komunitas Nawaksara
Dari Forum Kompas Jawa Tengah, 12 Januari 2010
http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/01/12/15584357/interaksi.sosial.warga.perumahan

No comments:

Post a Comment