Thursday 5 June 2014

Sastra Didaktis dalam Sayembara Penulisan Buku Pusbuk

PUSAT Perbukuan (Pusbuk) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) memiliki agenda rutin menyelenggarakan Sayembara Penulisan Buku Pengayaan. Salah satu jenis buku yang disayembarakan adalah kumpulan cerpen, kumpulan pantun, naskah drama, novel selain buku keterampilan (kriya) dan pengetahuan umum. Menurut panitia, sayembara ini digelar untuk membangun tradisi menulis di kalangan pendidik. Dari sudut pandang kesusastraan, program tahunan itu menarik dikaji karena telah melahirkan – atau setidaknya memelihara – sastra didaktis.


Secara sederhana, sastra didaktis dapat dipahami sebagai sastra yang dibuat untuk tujuan pendidikan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2004) didaktis artinya bersifat mendidik. Oleh karena itu, pada frasa “sastra didaktis” bermakna pendidikan dalam arti luas, baik yang bersifat teknis untuk keterampilan tertentu, pengetahuan, atau nilai-nilai moral yang diyakini kebaikannya. Menurut Abrams (dalam Sumiyadi, 1998) sastra didaktis dibatasi sebagai karya sastra yang didesain utuk menjelaskan suatu cabang ilmu, baik yang bersifat teoretis maupun praktis, atau mungkin juga untuk mengukuhkan suatu tema atau doktrin moral, religi, atau filsafat dalam bentuk fiksional, imajinatif, persuasif, dan impresif.

Kehadiran sastra didaktis berkaitan erat dengan sifat sastra menurut Horace, yakni dulce et utile. Sastra bersifat menghibur dan berguna. Di antara banyak kegunaan sastra adalah sebagai sarana pendidikan. Merujuk pada kategori ini, sastra yang baik adalah sastra yang dapat memberikan pengetahuan, keterampilan, pemahaman, atau nilai-nilai kehidupan bagi pembacanya.

Dalam kehidupan masyarakat di Nusantara, pendayagunaan sastra sebagai sarana pendidikan bukan sesuatu yang baru. Masyarakat sudah sering menggunakan dongeng dan cerita rakyat untuk menyampiakan pesan moral tertentu kepada anak-anak. Dengan memanfaatkan cerita yang bersifat fantasi, anak diharapkan dapat mempelajari, memahami, dan menghayati nilai-nilai, norma-norma, dan kaidah-kaidah dalam kehidupan masyarakat. Penyampaian nasihat melalui dongeng dan cerita rakyat dipercaya lebih berterima dibanding cara langsung yang doktrinal.

Legenda Malin Kundang dari Sumatera Barat, misalnya, telah dituturkan dari generasi ke generasi sebagai sarana mengajarkan kewajiban anak untuk berbakti kepada orang tua. Dengan frame tertentu, legenda Malin Kundang, mengarahkan pembaca (dan pendengar) mengambil simpulan bahwa setiap anak harus berbakti kepada orang tua. Salah satu strategi penulis mengarahkan pembaca adalah dengan menempatkan Malin Kundang sebagai tokoh antagonis yang berakhir celaka.

Penelitian Akbar, dkk. (2013) menunjukkan sebagian besar masyarakat Lombok, khususnya Lombok Timur berdasarkan kacamata Salman Faris menganggap bahwa tuan guru merupakan sosok yang mampu memberikan garansi masuk surge, doa yang dipanjatkan tuan guru lebih cepat diijabah oleh Allah dibandingkan manusia lainnya dan masyarakat tidak memandang ada cela sedikit pun dari sosok tuan guru. Latar  belakang sosial budaya masyarakat mencakup adat dan kepercayaan, pekerjaan, pendidikan, agama, tempat tinggal, bahasa , dan suku. Adapun nilai-nilaip pendidikan yang terkandung adalah pendidikan sosial, moral, budaya, agama, ekonomi, politik, dan historis.

Penelitian Mufidah (2012) terhadap cerita rakyat Jawa Timur menunjukkan bahwa cerita rakyat mengandung lima yakni nilai pendidikan ketuhanan, nilai pendidikan moral (susila), nilai pendidikan kecakapan (intelektual), nilai pendidikan keindahan (estetis), dan nilai pendidikan kemasyarakatan.

Potensi dongeng, cerita rakyat, dan legenda untuk dijadikan sarana pendidikan pernah dieksplorasi oleh Penerbit Grasindo dengan menerbitkan secara massal cerita-cerita rakyat di berbagai daerah. Nuansa didaktis pada cerita ini semakin dikentalkan dengan dicantumkannya kesimpulan secara eksplisit pada bagian akhir tiap-tiap cerita. Simpulan itu mempertegas bahwa cerita rakyat diproduksi untuk mendidik pembaca pada tingkat remaja dan anak-anak.

SASTRA UNTUK PENDIDIKAN
Dalam konsep Warren dan Wellek, amanah adalah bagian penting dalam struktur prosa. Amanah tidak hadir secara eksplisit namun implisit dalam benak pembaca. Amanah ada pada setiap karya sastra, baik drama, puisi, maupun prosa karena setiap pengarang berupaya menyampaikan pesan tertentu kepada pembaca. Pada titik ini, pengarang bertindak layaknya guru dan pembaca bertindak layaknya siswa. Fungsi didaktis tidak pernah terpisah dari karya sastra.

Karya sastra sudah diciptakan manusia jauh sebalum manusia memikirkan apa hakikat sastra dan apa nilainya, karena sastra adalah bagian dari bagian dari pengungkapan yang benar atas kejadian dalam kehidupan, baik yang direnungkan maupun yang dirasakan berupa pengalaman pemikiran, perasaan, ide, semangat penulis atau pengarang di alam nyata. Hal ini disebabkan karena sastra bertujuan untuk menempatkan kodrat manusia itu sebagai manusia yang berbudaya, bersosial, berikesenian, sehingga dapat menampilkan tokoh-tokoh yang baik dalam kehidupan ini. Hal ini berarti karya sastra yang dapat dijadikan sebagai gambaran dari keinginan dan kehidupan yang ada dalam benak pengarang.

Dalam hal fungsi didaktis, sastra memiliki kesamaan dengan karya jurnalistik. Menurut Spring (2004: 4) sebelum koran dan sekolah lahir, masyarakat yang terpisah secara geografis hanya memiliki sedikit kesamaan pengalaman. Namun seiring dengan pertumbuhan koran dan sekolah pada abad ke-19, orang pun terhubung satu sama lain dengan berita tentang peristiwa yang sama, bacaan dan buku sekolah yang sama, dan pelajaran tentang sejarah dan karya sastra yang sama. Kesamaan pengalaman ini menjadi bahan baku intelektual bagi tumbuhnya bayangan tentang adanya ikatan kebersamaan (common bonds) pada orang atau kelompok yang berada dalam satu teritori.

Tjokrowinoto (dalam Haryadi, 2011) memperkenalkan istilah ”pancaguna” untuk menjelaskan  manfaat  sastra lama, yaitu (1)  mempertebal pendidikan agama dan budi pekerti, (2) meningkatkan rasa cinta tanah air, (3) memahami pengorbanan pahlawan bangsa, (4) menambah pengetahuan sejarah, (5) mawan diri dan menghibur. Haryadi (1994) mengemukakan sembilan manfaat yang dapat diambil dari sastra lama, yaitu (1) dapat perperan sebagai hiburan dan media pendidikan, (2) isinya dapat menumbuhkan kecintaan, kebanggaan berbangsa dan hormat pada leluhur, (3) isinya dapat memperluas wawasan tentang kepercayaan, adat-istiadat, dan peradaban bangsa, (4) pergelarannya dapat menumbuhkan rasa persatuan dan kesatuan, (5) proses penciptaannya menumbuhkan jiwa kreatif, responsif, dan dinamis, (6) sumber inspirasi bagi penciptaan bentuk seni yang lain, (7) proses penciptaannya merupakan contoh tentang cara kerja yang tekun, profesional, dan rendah hati, (8) pergelarannya memberikan teladan kerja sama yang kompak dan harmonis, (9) pengaruh asing yang ada di dalamnya memberi gambaran tentang tata pergaulan dan pandangan hidup yang luas.

Pendekatan didaktis sastra yang implisit menunjukkan bahwa sastra menjalankan kurikukulum tersembunyi. Pada narasi cerita tersembunyi nilai-nilai pendidikan. Nilai yang terkandung dalam karya sastra dapat diakuisi pembaca melalui prosesresepsi, yakni proses akuisisi nilai yang terkandung dalam teks sastra menjadi sebuah nilai baru pada diri pembaca. Respesi sastra pada anak dapat terjadi karena sastra menawarkan dua hal utama yaitu kesenangan dan pemahman.

Pertama-tama sastra hadir dengan hiburan yang menyenangkan karena menampilkan fantasi, kisah hidup penuh suspense, dan dikemas secara menarik. di sisi lain sastra selalu berbincang soal kehidupan, maka sastra memberikan pemahaman yang lebih baik pada pembaca tentang bentuk kehidupan, rahasia kehidupan, ragam karakter manusia, dan lain-lain.

Resepsi nilai sastra terjadi dalam dua proses yaitu proses kebahasaan dan proses psikologis. Pada proses kebahasaan pembaca menempuh proses kognitif dengan memahami tanda bahasa secara semantis dan semiotis, sedangkan pada proses psikologis pembaca meresepsi makna dan mengkonstruksikannya menjadi sebuah nilai baru.

Kurniawan (2008: 10) membagi proses akusisi nilai sebuah karya sastra dalam tiga tahapan, yaitu tahapan kognitif, tahapan emotif, dan tahapan evaluatif. Pada tahap kognitif faktor yang lebih dominan adalh intelektualitas pembaca dalam memahami unsur-unsur kesastraan, baik yang bersifat intrinsik maupun ekstrinsik. Proses tersebut pemahan unsur kesusastraan berlanjut pada proses emotif, yakni proses yang melibatkan emosi pembaca. Pada tahapan ini pembaca tidak memahami unsur sastra sebagai fakta mentah melainkan sesuai subjektivitasnya. Selanjutnya, pada proses evaluatif pembaca membangun makna karya sastra secara kritis. Pembaca membenturkan makna yang diperolehnya dengan pengalaman yang telah diperoleh sebelumnya.

Sebuah karya sastra baru punya makna bila ia hidup dalam diri pembacanya. Dalam teori horison harapan Jausz dan Iser berpendapat suatu karya sastra diterima pada suatu masa tertentu berdasarkan suatu horison penerimaan tertentu. Hanya dengan partisipasi aktif dari pembaca suatu karya sastra dapat hidup, sehingga konteks sejarah dari terciptanya suatu karya bukan suatu yang faktual, tetapi hanya rangkaian peristiwa yang berdiri sendiri-sendiri yang terpisah dari pembaca.

Dari penjelasan Jausz dan Iser dapat disimpulkan bahwa proses resepsi sebenarnya bertolak dari karya sastra, apa yang dikatakan penulisnya, dan bagaimana cara pembaca memahami karya sastra itu. Maka, resepsi yang berlangsung dipengaruhi oleh karya itu sendiri, latar belakang pembaca, dan kesanggupan pembaca untuk menggunakan imajinasi mereka. Hubungan ketiga unsur tersebut dapat diilustrasikan dalam proses berikut ini.


DIDAKTIS VERSI PEMERINTAH
Potensi demikianlah yang mendorong Pusat Perbukuan (Pusbuk) Kemdikbud menyelenggarakan sayembara penulisan buku pengayaan secara rutin, termasuk buku kumpulan cerpen dan novel untuk siswa SMP dan SMA.  Dalam rilis resminya, Pusbuk menjelaskan bahwa tujuan sayembara ini adalah menggali, mengembangkan, dan mendayagunakan potensi menulis di kalangan pendidik dan tenaga kependidikan serta mengarahkannya pada upaya memajukan pendidikan dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.

Sasaran penyelenggaraan sayembara ini adalah menghasilkan naskah buku pengayaan fiksi dan nonfiksi yang bermutu dan bermanfaat bagi siswa untuk jenjang pendidikan dasar dan menengah. Pelaksanaan Sayembara Penulisan Naskah Buku bacaan dari tahun 1988/1989 hingga tahun 2000 secara bertingkat yaitu penilaian di tingkat provinsi, dari hasil penilian tersebut dipilih naskah provinsi untuk dikirimkan ke tingkat pusat. Dari tahun 2001 hingga 2009 ini pelaksanaan sayembara dilakukan secara terpusat. Hal ini dikarenakan diberlakukan kebijakan otonomi daerah.

Latar belakang demikian membuat kriteria-kriteria naskah yang menang adalah naskah yang sesuai dengan nilai-nilai pendidikan versi pemerintah. Nilai-nilai tersebut antara lain nasionalisme, rajin belajar, cinta ilmu pengetahuan, berbudi pekerti luhur, dan riligius. Sastra dipersepsi sebagai komponen kurikulum yang harus berkontribusi untuk meraih tujuan pendidikan.

Undang-Undang Nomor 20 tahun 2013 menyebutkan, kurikulum disusun sesuai dengan jenjang pendidikan untuk 10 tujuan, antara lain peningkatan iman dan takwa; peningkatan akhlak mulia; peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat peserta didik; keragaman potensi daerah dan lingkungan; tuntutan pembangunan daerah dan nasional; tuntutan dunia kerja; perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni; agama; dinamika perkembangan global; dan persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan.

Pemenang Sayembara Penulisan Buku 2012 untuk kategori novel SMP adalah Senyum Di Balik Tifa (Radhite Kurniawan), Impian Tamam (Eko Saturyono), dan Pelangi di Atas Trotoar (Suprihatin). Adapaun untuk tingkat SMA, pemenang adalah Secercah Pelita Menembus Kegelapan (Rizka Ayu Damayanti) dan Kemilau Cinta dari Butiran Debu (Seni Purnama). Adapun pemenang untuk kategori cerpen SD/MI adalah Mantra Persahabatan (Siti Anisah), Hari Kemerdekaan (Pago Hardian), dan Dunia di Balik Bukit (Sri Rahayu).

Sudah barang tentu, tidak ditemukan karya-karya kritis yang mempersoalkan kuasa pemerintah, korupsi birokrasi, dan penindasan militer terhadap petani atas sengketa tanah. Sebaliknya, narasi mayor menempatkan pembaca sebagai bagian penting negara dan didorong berpartisipasi dalam pembangunan.

PERTARUNGAN KULTURAL
Sayembara buku pengayaan Pusbuk sekaligus membuktikan bahwa arena sastra telah menjadi arena pertarungan ideologi. Pemerintah menjadi aktor aktif dengan memanfaatkan arena sastra sebagai ajang penyeberan ideology pemerintah. Melalui sastra, pemerintah hendak mengukuhkan ideologi pembangunanisme sebagai ideologi yang mapan dan diakui rakyat.

Sebagai sebuah produk kreatif, karya sastra mengandung nilai-niai tertentu yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca. Dalam kajian tentang unsure intrinsik Warran dan Wellek, nilai disebut sebagai amanat. Dalam analisis Bourdieu, sastra adalah sebuah arena tempat reproduksi kultural dan nilai-nilai.

Produksi kultural, yang termasuk di dalamnya adalah seni sebagai objek kultural, berbeda dari produksi objek-objek pada umumnya, karena di dalamnya kebudayaan harus memproduksi bukan hanya objek dalam dimensi materialitasnya, namun juga nilai dari objek tersebut, yakni pengakuan terhadap legitimasi artistiknya. Produksi kultural, dengan demikian, tidak bisa dipisahkan dari produksi seniman sebagai pencipta nilai (Bourdieu, 2010: 216).

Ringkasnya, dalam arena produksi kultural terdapat tiga produksi yang diproduksi, yaitu objek material (lukisan/sastra dengan segala kualitas terindranya), pencipta (dengan segala latar historis serta arena kulturalnya sendiri), dan nilai-nilai legitimasi yang ada di dalam (dan di regangan) objek akibat status penciptanya dan kekuatan luar. Kekuatan luar yang saya maksudkan ialah kritikus/kurator sebagai pengkaji; institusi pedagogis sebagai peletak hukum-hukum; lembaga-lembaga seni sebagai wadah (kawan sekaligus lawan) bagi para seniman; dan museum sebagai wadah legitimasi objek, yang kesemuanya memiliki kemampuan legitimasi di arena seni (dan arena kekuasaan secara tidak langsung).

Berdasar hal-hal di atas, maka ada beberapa terma yang perlu kita kuasai. Pertama, arena kekuasaan yang mendominasi arena seni. Arena adalah ruang yang terstruktur dengan kaidah-kaidah keberfungsiannya sendiri, dengan relasi kekuasaannya sendiri yang melingkupi berbagai arena seperti politik, ekonomi, kultural, dan seterusnya (Bourdieu, 2010: xvii). Setiap arena memiliki otonominya sendiri yang relatif, dan saling terkait satu sama lain. Keterkaitan antararena menimbulkan arena-arena terdominasi dan mendominasi karena perubahan posisi-posisi agen di dalamnya selalu memberikan kemungkinan pergeseran kekuasaan arena, sehingga lahir suatu arena kekuasaan.

Pada titik ini, penyelenggaraan Sayembara Penulisan Buku Pengayaan merupakan sebuah upaya produksi kultural yang memiliki motif ideologis. Agen-agen yang berpartisipasi dalam proses produksi kultural memiliki kepentingan ideologis dan pragmatis. Diperlukan analisis dan kajian lebih mendalam untuk mengungkapkan secara rinci, agen-agen yang bermain serta motif kultural yang mendorongnya.

SUMBER PUSTAKA
Pusat Bahasa. 2004. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Akbar, Syahrizal dkk. 2013. “Kajian Sosiologi Sastra dan Nilai Pendidikan dalam Novel tuan Guru Karya Salman Faris”. Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra UNS. Vol 1, No 1, 2013 Hlm. 54-68.
Bourdieu, Pierre. 2010. Arena Produksi Kultural: Sebuah Kajian Sosiologi Budaya. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Haryadi. 2011. Peran  Sastra dalam Pembentukan  Karakter Bangsa. Makalah. Tidak diterbitkan.
Junus, Umar. 1985. Resepsi Sastra Sebuah Pengantar. Jakarta: Penerbit Gramedia
Mufidah. 2012. Nilai-Nilai Didaktis Bacaan Anak tentang Cerita Rakyat Dari Jawa Timur. Hasil Penelitian. Tidak diterbitkan



No comments:

Post a Comment