Thursday 5 June 2014

Apresiasi untuk "The Supper Club" karya Wiwien Wintarto

TIDAK ada yang unik dengan perempuan cantik yang kerja jadi sekretaris. Dia memiliki kehidupan yang normal. Dia berkawan dengan teman-teman satu kos, dia jatuh cinta, dan wajahnya memerah saat bertemu pujaan hati. Seperti perempuan kelas menengah lain, dia senang pergi ke mall dan nongkrong di kafe. Itulah Ciara. “Aku”.

Laki-laki kaya, kerja di perusahaan keluarga sebagai managing director, kemudian tertarik dengan perempuan cantik, juga karakter biasa dalam realitas imajiner. Sebagaimana pria terpelajar lain, dia menampilkan diri sebagai pria baik-baik, bersikap santun, sebelum akhirnya mendapatkan sesuatu yang diinginkannya dan lantas pergi. Itu juga sifat yang biasa. Dialah Sena.

Membangun narasi dengan tokoh-tokoh biasa adalah pilihan berisiko pagi pengarang. Si pengarang, ibarat perancang bangunan, ditantang membangun rumah bagus dengan material berkualitas sedang. Tapi, justru kondisi inilah yang akan menguji kepiawaian perancang. Jika dia berhasil mewujudkan bangunan idaman, berarti dia perancang jenius.

Wiwien Wintarto, entah mengapa, mengambil risiko itu saat menulis The Supper Club, novel kedua belasnya. Tokoh-tokoh yang dimainkannya berkarakter as usuall – pada awalnya. Dengan menggunakan tokoh begitu, ia melepaskan sebuah kesempatan membuat narasi prosa yang menarik. Konskuensinya, dia harus memanfaatkan kesempatan lainnya, baik melalui konflik atau plot.

Dalam struktur prosa, tokoh merupakan unsur segmental yang dominan – meski bukan satu-satunya. Tokoh adalah awal sekaligus akhir. Tokoh adalah lahir sekaligus batin. Pada tokoh lah alur dirangkai, baik dalam nalar kronologi maupun nalar kausalitas. Pada tokoh pula latar dilekatkan. Dan, pada tokoh pula amanat kerap disembulkan. Tokoh tak bisa mengelak untuk menjadi pusat perhatian cerita.
Berangkat dari asumsi itu, banyak pengarangyang mengeksplorasi tokoh dengan melekatkan karakter unik, aneh, dan nyelenah sebagai penopang keindahan karyanya. Strategi ini dapat membantu pengarang menyita perhatian calon pembaca. Sebab, pembaca lazimnya memiliki ketertarikan khusus terhadap tokoh dengan karakter unik dan langka. Tokoh-tokoh unik memantik rasa penasaran pembaca karena menjanjikan pelarian sudut pandang dari keseharian yang menjenuhkan.

Seno Gumira Ajidarama (SGA),misalnya, dalam Sepotong Senja untuk Pacaraku menggunakan Sukab, pria “sakti” yang bisa memotong senja untuk dihadiahkan kepada pacar. Ia, pada contoh lain, menggunakan pria yang bisa berjalan di atas air pada Dodolitdodolitdodolibret. Adapun untuk memunculkan konflik batin yang wah, ia menggunakan karakter anak pelacur pada Pelajaran Mengarang. Denga tujuan estetis, tidak sedikit bahkan memilih membangkitkan tokoh yang mati: gelas, pensil, matahari, bahkan highheels. Tokoh yang tak akrab menjanjikan pembaca pada penjelajahan sudut pandang yang tak tertebak.

Meski sebagai penulis Wiwien memiliki otoritas melahirkan karakter yang unusual, ia tak menggunakan haknya itu – setidaknya pada ¾ awal The Supper Club. Namun, tampaknya, itu justru strategi yang secara sadar dilakukan agar ia bisa menghadirkan twist yang tak terduga pada  bagian akhir novelnya. Dengan cara itu, pembaca yang mendapat surprise berupa perubahan identitas tokoh akan sangat girang. Rasa girang itu akan mendorong pembaca menghabiskan seperempat akhir novel ini dengan kecepatan jauh lebih tinggi dibanding tiga perempat bagian awal.

Bermain dengan Ekspektasi

Pembaca novel, seperti para pendengar dongeng, biasanya memiliki harapan-harapan tertentu dengan ending cerita yang dibaca atau didengarnya. Dengan pengetahuan yang dikumpulkannya pada bagian-bagian awal, ia akan menyusun ekspektasi bagaimana kisah itu (semestinya) akan berakhir. Ini sebuah aktivitas kognitif yang tak terhindarkan – bahkan kerap tidak disadari.

Horizon harapan – meminjam istilah Jauss – bersifat unik antara satu pembaca satu dengan pembaca lain. Horizon harapan terbentuk berdasarkan pengalaman personal persentuhannya dengan teks sastra yang telah dibacanya. Dalam hal ini, aktualitas teks pada benak pembaca tidak bergantung pada organisasi fakta-fakta literer tetapi dibangun oleh pengalaman kesastraan yang dimiliki pembaca atas pengalaman sebelumnya.

The Supper Club dimulai dengan narasi diafan tentang perempuan muda urban bernama Ciara. Dalam imajinasi penulis – perempuan ini digambarkan ideal. Selain memiliki kehidupan finansial yang mapan, ia hidup pada lingkungan sosial yang menyanangkan dan menerimanya di Semarang. Dengan kemampuan bergaul, “kerendahhatian”, dan kebaikan hati, Ciara diterima semua kalangan. Ia hidup bersahabat dengan sopir taksi, akrab dengan satpam, sekaligus menembus lingkaran pergaulan para jet set.

Dengan model penceritaan yang demikian, saya menduga, pengarang sedang mengarahkan pembaca agar berharap cerita akan dihiasi cerita cinta khas anak muda kota. Itu terbukti pada bagian 1 sampai 20, konflik berpusat pada hubungan asmara Ciara dan Sena. “Pengondisian” itu dilakukan agar kejutan yang disiapkan di seperempat bagian akhir “mendarat cantik dan mengesankan pada benak pembaca”.

Memang, pada beberapa bagian penulis sudah memberikan “peringatan dini” bahwa cerita percintaan ini tidak akan diakhiri sebagai cerita cinta. Kode itu antara lain diberikan dengan mendeskripsikan Toga sebagai pria berperawakan tinggi besar, berwajah garang, bak polisi. Nyatanya, dia memang polisi. Pada bagian lain, penulis membuat deskripsi yang hiperbolis tentang kenikmatan tak tertandingi menyantap hidangan tertentu. Pembaca diarahkan untuk menduga, makanan seperti apa sih yang bisa membikin penyantapnya melem merek seperti orang orgasme pada adegan film porno. Namun, kode-kode ini ternyata hanya sebuah strategi pengarang agar ending yang unexpected itu menjadi rasional dan tak dipaksakan.

Apakah seluruh upaya itu berhasil? Sebagian berhasil. Beberapa lainnya tidak.

Beban Kata Sifat

Salah satu “ketidakberhasilan” menggiring ekspektasi pembaca adalah pada caranya menghadirkan ketokohan yang kuat. Pada beberapa bagian, tokoh memanggul “beban” kata sifat yang terlalu berat. Penggunaan kata sifat membuat karakter tokoh tidak mengalir pada benak pembaca, namun seperti dipaksakan oleh pengarang. Ini sebuah transaksi yang tidak menguntungkan, saya kira – baik bagi pengarang maupun pembaca.

Saat menggambarkan tokoh Pak Wisnu sebagai Presdir Helman Comms yang kapabel, bukan menjabat karena sindrom AO, pengarang – melalui tokoh aku – membuat judgment.
“Jadi, jabatan sebagai Presdir Helman Comms murni dipegang karena kapabelitas dan kapasitas kemampuan, bukan semata-mata karena sindorm AO, anak owner. Hlm 25.

Narasi di atas adalah judgment yang tergesa dan tidak sabar. Pengarang ingin melekati tokoh tertentu dengan sifat-sifat tanpa bersusah payah mendeskripsikan lebih detail, bagaimana “kapabelitas” dan “kemampuan” tokoh Wisnu ini. Apakah karena berhasil membuat perusahaan go public? Membuat aset perusahaan meningkat berkali-kali lipat? Berpengalaman menempuh karier dari bawah? Pernah melewati masa krisis?

Ketidaktekunan pengarang membangun ketokohan juga saya temukan saat pengarang coba membangun karakter Sena sebagai pribadi highclass dan terpelajar. Pengarang menggunakan simbol-simbol ke-highclass-an yang banal dan bersifat material. Misalnya, pengarang menyebut Pajero Sport berkali-kali untuk mendukung citraan bahwa Sena adalah pria kaya. Penyebutan berulang terasa radudant. Pesannya sampai sih, tapi dengan kasar.

Hal serupa terjadi ketika Sena pertama kali mengajak Ciara ke rumahnya (Hlm. 211). Sena menyebut alamat rumahnya lengkap dengan embe-embel estate. Ini menjadi aneh karena membuat Sena justru terkesan show off. Bukankah bagi dua orang yang bertahun-tahun tinggal di Semarang, penyebutan nama komplek saja sudah cukup spesifik? Menyebut komplek perumahanya dengan embel-embel estate justru memunculkan sensasi keangkuhan.

“Pemaksaan” juga terjadi saat Ciara dan Sena baru selesai nonton film di Jakarta (Hlm. 171). Bagi pasangan yang lagi jatuh cinta, saya bisa terima bahwa mereka spontan ke Jakarta hanya untuk nonton film. Harga tiket penerbangan Semarang-Jakarta tentu tak mahal bagi managing director sekelas Sena. Tapi, ketika Sena mengatakan bahwa ia dan keluarganya bisa menginap gratis di JWMarriot, ini terasa agak berlebihan. Benarkah hotel berjaringan internasional ini memberi compliment pada mitra kerja seperti Sena – yang pengusaha lokal Semarang, yang kantornya di Banyumanik – bukan di pusat bisnis terbaik di Semarang, dan kantornya hanya gedung berlantai 3?

Tentang Ambisi Manusia

Lepas dari persoalan teknis produksi itu, The Supper Club mewartakan banyak hal tentang ambisi manusia. Sejak masih bercawat kulit kayu hingga menggunakan Iphone, manusia ternyata kesulitan berkompromsi dengan tiga kebutuhan purbanya: seks, uang, dan kekuasaan. Nyaris seluruh tindakan manusia dilatari motif-motif purba itu.

Pada The Supper Club Wiwien menyampaikan peringatan itu. Tokoh Pak Nuri, misalnya, yang awalnya tampil alim dan altruis, ternyata menghadapi persoalan birahi yang merepotkan. Sebagai pria normal, ia tak kuasa mengendalikan ketertarikannya pada Ciara. Ketertarikan seksual itu disimpan, diekspresikan dengan curi pandang. Sebegitu tak bisa berkomprominya Pak Nuri dengan persoalan itu, ia sampai harus “mencuri” foto Ciara di Facebook dan menyimpannya. Ini sebuah mekanisme kompensasi yang menarik, meski ganjil.

Oleh tokoh Ciara, Sena dideskripsikan sebagai pria kaya dan terpelajar. Secara agak hiperbolis, atribut itu masih ditambah dengan sifat lain yang profetis, misalnya, baik dan rendah hati. Namun, ia juga tak kuasa mengendalikan persoalan birahi. Toh, pada akhirnya, yang ingin diperoleh Sena dari Ciara adalah hubungan seksual. Bahwa Sena memainkan strategi yang lebih elegan daripada Fendi, itu memang cara khas kelas terpelajar. Ia memainkan peran sebagai “playboy kerah putih”.

Toga juga punya persoalan serupa – atau bahkan lebih ekstrim. Ia rela menggadaikan integritas profesinya sebagai polisi agar bisa hidup berdampingan dengan perempuan yang disukainya. Hasrat yang besar menyublim menjadi kenekatan dan mendorongnya melakukan tindakan-tindakan ganjil dan berisiko. Selain tak melaksanakan tugas, Toga berinisiatif membawa lari Ciara agar bisa dimiliki sebagai asset pribadi.

Bagaimana dengan Ciara? Tokoh innocent ini justru tampak paling kewalahan berkompromi dengan ambisinya, terutama ambisi memiliki kekayaan dan kekuasaan. Keiriannya pada Dewi, sekretaris direksi yang kemudian dipersunting Pak Wisnu, sejak awal menunjukkan ambisi materalistiknya yang besar. Meski menolak predikat sebagai perempuan materalistis, ambisi materalistis ternyata telah menjadi latar bagi tindakan-tindakannya.

Mengapa Ciara lebih tertarik pada Senia daripada, Toga, Ganjar, atau Fendi? Pada tokoh Ciara, ambisi materalistik itu bahkan mengendap demikian dalam hingga masuk pada ruang bawah sadarnya. Sebagaimana gejala kejiwaan dunia bawah sadar, Ciara tak kuasa meredamnya, meski sempat beberapa kali mempertanyakan.

Kecuali pribadi altruis yang telah moksa, tiap orang memiliki kehendak dan ambisi. Untuk mendapat sesuatu yang dikehendakinya, orang-orang punya dua pilihan cara. Pertama, mengikuti naluri baiknya, mendapat sesuatu dengan cara baik – meski lama dan harus berdarah-darah. Kedua, mengikuti ambisinya, mendapat sesuatu dengan mengabaikan bisikan hati, menerabas norma. Dua dorongan itu selalu bersengketa dalam pikiran manusia.

Karena itulah, saya justru menilai, tokoh terbaik pada The Supper Club adalah Fendi. Dia laki-laki baik. Beruntunglah perempuan yang bisa mendapatkan playboy kelas menengah ini.

*) Tulisan disajikan saat peluncuran buku di Gramedia Amaris, Semarang, 15 Mei 2014

No comments:

Post a Comment