Thursday 20 January 2011

Sukisno, pemiliki Warung Bakso dengan Omzet Rp 9 Juta Per Hari


SEBAGAI tentara berpangkat rendah, Sukisno tidak pernah membayangkan bisa memegang uang hingga 1 miliar. Gaji sebagai kopral kepala jelas tidak sebesar itu. Tapi berkat kerja kerasnya, Sukisno bisa. Itu setelah ia membuka warung bakso Pak Gendhut. Omzetnya bisa mencapai Rp 9 juta per hari.

RAHMAT PETUGURAN

Angka Rp 9 juta memang fantastis. Tapi itulah yang Sukisno hasilkan dari warung bakso Pak Gendhut miliknya di Sumurejo, jalan Ungaran-Gunungpati. Warungnya nyaris tidak pernah sepi. Pembeli datang silih berganti. Pada akhir pekan bahkan warung berkapasitas 100 tempat duduk itu hampir selalu penuh. Dalam sehari sekitar 700 mangkuk bakso dan 300 mangkuk mi ayam pun terjual.

Sukisno adalah tentara berpangkat kopral kepala di Kodim Semarang. Ia membuka warung itu 3 tahun silam dengan uang pinjaman. Berkat disiplin tinggi dan perancanaan yang matang usahanya berkembang pesat. Omzetnya mencapai Rp 6,5 per hari pada hari biasa, dan Rp 9 juta pada Sabtu dan Minggu.

Ia memang membawa disiplin militernya di warung. “Setiap hari saya bangun jam setengah empat nggiling daging di Ungaran,” katanya. Selain soal waktu ia disipilin mengatur anggaran. Ia membukukan pendapatan dan pengeluaran setiap hari. “Soal keuangan istri saya yang nangani,” lanjutnya.

Ketika pertama kali membuka warung Sukisno mengaku hanya modal nekat. Modal awal sebesar Rp 37 juta ia pinjam dari bank. Saat itu, istrinya bahkan sempat kurang setuju karen takut. “Tapi waktu itu saya nekat saja,” ujar laki-laki berputra tiga ini.

Keterampilan memasak ia peroleh ketika bertugas menjadi juru masak di Batalyon 401 Srondol. Selama tiga tahun ia dan tiga rekannya harus memasak untuk 400 prajurit. “Dari situlah saya paham masakan. Jenis-jenis bumbu saya jadi hafal. Selain itu saya juga pernah ikut kursus masak (keprajuritan) di Bandung selama 4 bulan,” katanya .

Cita rasa, bagi Sukisno, adalah hal prinsip. Karena itu, hingga kini ia tetap mengawasi penuh proses produksi bakso dan mi yang dijualnya. Meski telah memiliki 12 karyawan, Sukisno turun sendiri meracik bumbu-bumbu. Ayam yang digunakan pada mie juga ia sendiri yang pilih. “Karyawan tugasnya melayani pelanggan saja. Mereka tinggal jual,” katanya.

Sebagai pengusaha kuliner, Sukisno tahu cara mememanjakan pelanggan. Meski tidak pernah belajr psikologi, ia punya teknik membuat pelanggannya nyaman. Menurutnya, kepuasan pelanggan tidak hanya ddilakukan dengan menyajikan hidangan yang lezat. Detail lain juga perlu diperhatikan.

Pertama, supaya pelanggan betah, ia membeli LCD 42 inch. Awalnya hanya satu. Namun setelah menerima sms dari pelanggan bahwa faislita situ kurang, ia langsung menambahnya.”Tempat duduknya kan berhadap-hadapan, jadi kalau televisinya Cuma satu, yang bisa melihat hanya sebelah,” katanya.

Ia juga mendekati pelanggan dengan uang kembalian. Ya, menurutnya, pelanggan ternyata senang jika menerima kembalian uang baru. Sebaliknya, pelanggan kurang nyaman kalau uang kembalian yang diterimanya sudah lecek.

“Saya tahu, karena saya ngamati. Saya kan juga merasakan sendiri,” kata Sukisno. Karena itulah, dua kali sepekan ia pergi ke Bank Indonesia untuk menukarkan uang lamanya dengan lembaran uang baru. “Dari uang ribuan, lima ribu, puluhan, sampai dua puluh saya punya stoknya,” lanjut Sukisno.

Usaha itu tidak percuma. Semakin hari, pelanggannya terus bertambah. Tidak hanya warga sekitar dan orang-orang yang melintas, tapi juga orang yang penasaran setelah mendengar cerita dari teman. “Banyak yang lewat jalan raya ungaran sengaja mampir ke sini dulu,” katanya. Karena itulah, tempat parkir warungnya juga selalu disesaki mobil.

Perencanaan matang, juga hal yang menurutnya vital. Ia mengibaratkan usaha layaknya perang. Medan, musuh, dan perlengkapan harus dianalisis dengan matang. “Biar pangkat kopral, pemikiran harus jenderal dong,” katanya seraya tertawa.

Sebagai bahan analisis ia sering berkunjung ke Dinas Bina Marga. Ia ingin tahu perkembangan jalan raya Sumurejo supaya bisa segera mengantisipasinya. Dari situlah ia tahu bahwa dalam waktu dekat warungnya perlu lahan parkir sendiri. Sebab, “Kalau jalan ini dilebarkan, tempat parkir saya kan habis,” katanya.

Untuk mengantisipasinya, ia sedang mempersiapkan lokasi usaha baru di tiga tempat. Uang Rp 1,4 miliar sudah ia siapkan. Sebagian uang itu berasal dari tabungan laba usaha, sedangkan sebagian lainnya pinjaman dari bank. “Uangnya sih sudah siap. Kita tinggal mempersiapkan tenaganya saja,” katanya.

Pernah Dinas Nyambi Jual Ayam

Kesuksesan yang Sukisno nikmati tidak diperoleh dengan mudah. Beberapa tahun lalu ia harus kerja keras banting tulang. “Soal rekoso saya sudah pernah rasakan semuanya,” katanya.

Sebelum mejadi tentara Sukisno pernah menjadi buruh bangunan. Pekerjaan sebagai tukang panjat kelapa, tukang panjat rembutan, kuli bangunan, sampai tukang gali kabel optik pernah ia lakoni. “Bapak saya petani, itupun petani buruh,” katanya. Karena itu ia musti memenuhi kebutuhan sendiri.

Keadaan tidak lantas membaik sekalipun ia diterima sebagai prajurit pada tahun 1989. Gaji sebagai tentara berpangkat prajurit dua diakuinya tidak cukup. Bahkan, karena gajinya harus digunakan untuk mencicil rumah, yang ia terima hanya Rp 200 per bulan. “Uang segitu untuk memenuhi kebutuhan saya saja sudah tidak cukup,” kenangnya.

Karena itu, sekalipun sudah menjadi tentara, Sukisno sering mencari pekerjaan sampingan. Ketika musim duren tiba ia berjualan duren. Namun, musim duren tidak berlangsung sepanjang tahun. Saat tidak berjualan duren itulah ia berjualan pakaian. Ia belanja pakaian dari Bandung lantas menjualnya di Semarang. Namun, usaha ini ternyata tidak lancar. “Banyak penjual yang saya titipi tidak mau bayar. Mungkin nilainya ada Rp 40 juta,” katanya.

Merasa kurang hoki berjualan pakaian, Sukisno menjajal profesi lain. Ia memanfaatkan hubungan baik dengan para peternak ayam di sekitar tempatnya berdinas. “Saya beli ayam-ayam yang cedera dari kandang. Sitilahnya ayam BS. Biasanya saya beli lima ribu, lalu saya jual keliling kampung dengan sepeda motor. Lumayan, kadang ada yang laku Rp 8 ribu kadang ada yang Rp 10 ribu,” kenangnya.

Karena pekerjaan sambilannya itulah salah seorang rekannya sesama tentara pernah mengejeknya. “Kamu itu jadi tentara ngisin-isini wae,” ucap Sukisno menirukan ucapan rekannya. Namun ucapan itu tidak membuatnya patah arang. “Saya nggap itu main-main saja. Justru saya semain termotivasi,” lanjutnya.

Tapi kini kondisi sudah berubah. Selain bungah karena bisa menciptakan lapangan kerja bagi orang lain, ia mulai menikmati kelimpahan materi. “Sekarang saya sudah punya lima motor. Biaya pendidikan anak sudah saya siapkan. Apalagi yang sulung nenar lagi kuliah. Sambil nunggu kesiapan tenaga, saya bernecana membuka cabang baru di tiga tempat. Saya siapkan 1,4 miliar untuk beli tanah,” katanya.

Selain mengandalkan pelayanan, Sukisno punya dua jurus ampuh untuk menggaet pelanggal Menurutnya, ada dua prinsip sederhana yang harus dipegang pengusaha kuliner. “Dodol kudu murah tur enak,” pungkasnya.

1 comment:

  1. hebat...saya benar-benar kagum dengan usaha bapak.mudah2an sy bs mengikuti jejak usaha bapak
    sy org semarang asli,tp lbh sering dpt proyek di gorontali
    sy sedang persiapan buka usaha warung bakso di gorontalo krn dsana peluang usaha tsb msh terbuka luas.
    bisa nggak pak, sy belajar dr njenengan?

    ReplyDelete