Thursday 5 June 2014

Dampak Sastra: Dari Kepala, Lalu Mengubah Dunia

KARYA sastra adalah karya kreatif yang lahir dari “rahim” intelektual penulis. Sebagai karya kreatif, sastra adalah karya rekaan atau karya imajiner. Fakta-fakta yang tersaji dalam karya sastra semestinya tetap ditempatkan sebagai fakta imajiner. Meski demikian, hubungan sastra dengan masyarakat pembaca bukanlah fakta imajiner. Pengaruh sastra terhadap kehidupan pembaca dapat ditelusuri melalui penelitian dan dapat dibuktikan secara ilmiah. Dalam perspektif kajian sosiologi sastra, karya sastra dinilai sebagai sebuah peristiwa sejarah yang benar-benar ada dan bermakna bagi masyarakat pembaca.


Penyair Quintus Horatius Flaccus sudah memaklumkan dua sifat karya sastra yang dikenal dengan “dule et utile”. Dalam tulisannya yang berjudul  Ars Poetica penyair kelahiran Venosa Italia ini mengemukakan bahwa sastra berfungsi ganda, yakni menghibur (dulce) sekaligus makna (utile) terhadap.

Dalam pengertian yang sederhana, menghibur dapat berarti menyenangkan, membuat pembaca melepaskan diri dari realitas keseharian menuju realitas fiktif yang seru dan menegangkan. Hiburan pada karya sastra dapat terjadi karena bahasa sastra merupakan bahasa kedua (secondary language system) yang indah sekaligus karena isinya. Adapun manfaat (utile) karya sastra dapat berupa nasihat, nilai, makna, dan amanat yang baik secara sadar maupun tidak diperoleh pembaca.

Karya sastra dapat dipandang sebagai medium komunikasi. Pada pengertian ini sastra merupakan sarana bagi pengarang untuk menyampaikan informasi, gagasan, atau nasihat kepada para pembacanya. Sebagai dampak dari peristiwa ini, pembaca dapat merasakan dampak kognitif maupun relflektif. Dampak kognitif dapat berupa tambahan informasi baru, tambahan wawasan, atau pemahaman yang lebih baik terhadap dunia. Adapun dampak reflektif dapat berupa kesadaran, petualangan spiritual, atau peghayatan terhadap nilai-nilai tertentu. Manfaat tersebut tergantung pada jenis karya yang dibaca.

Pembaca A Jounrey to The Earth karya Jules Verne dimungkinkan akan memperoleh pengalaman kognitif berupa pengetahuan mengenai geologi. Pembaca Da Vinci Code karya Dan Brown dimungkinkan memperoleh pemahaman mengenai tradisi ritual umat Katolik. Adapun pembaca Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer dimungkinkan merasakan kecintaan pada Tanah Air.

Sementara itu, pembaca Khotbah di Atas Bukit karya Kuntowijoyo dimungkinkan memperoleh pengalaman batin tentang hubungan insan dengan Tuhan. Namun, relasi sastra dengan dampak sosial yang ditimbulkannya tidak dapat digeneralisasi karena dampak sastra bersifat sangat persolan dalam ruang kognitif masing-masing pembaca.

Menurut Pradopo (1995) perbedaan hasil pmbacaaan antara pembaca satu dengan pembaca lainnya dapat terjadi karea dua hal, yakni prinsip horizon harapan (erwartungs horizon) dan tempat terbuka (leerstelle). Horizon harapan adalan harapan-harapan pembaca karya sastra sebelum membacanya. Adapun tempat terbuka adalah sifat karya sastra yang multiintepretasi. Sebuah karya dapat diintepretasi bermacam-macam sesuai kapasitas intelektual dan pengalaman hidup pembacanya.

Dampak karya sastra terhadap masyarakat dapat dibuktikan dengan penelitian yang tepat. Dampak-dampak tersebut dapat berupa, antara lain, perubahan pengetahuan, perubahan pandangan, perubahan sikap, dan perubahan perilaku.  Perubahan pengetahuan dapat diukur melalui alat tes kognitif, perubahan pandangan dapat dibaca melalui analisis persepsi, adapun perubahan perilaku dapat diamati melalui observasi. Ketiga tahap tersebut juga dapat menjadi sebuah perubahan yang terangkai secara kronologis, mulai dari pengetahuan, persepsi, dan kemudian ke perubahan perilaku.

Segitiga Pengarang Sastra Pembaca

MH Abram (dalam Pradopo, 1995) berpendapat, sebuah karya sastra dapat diekati dengan empat cara, yakni secara mimetic, ekspresif, prgamatik, dan objektif. Perbedaan keempat pendekatn tersebut terletak pada point of view.  Dalam pendekatan mimetik, karya sastra dipersepsi sebagai tiruan (imitation) atas lingkungan sekitar. Fakta-fakta fiksional yang terdapat dalam karya sastra pun dinilai dapat menggambarkan realitas pada lingkungan sastra tersebut ditulis.

Pendekatan pragmatik yakni sebuah pendekatan yang menitikberatkan pada pembaca (audience). Karya sastra sebagian besar sebagai alat untuk menuju tujuan, sebagai instrumen untuk memperolah hasil yang dilakukan dan cenderung menimbang nilai-nilai sesuai kesuksesan dalam memperoleh maksud itu. Karena itu, kecenderungan dalam teori pragmatik adalah memahami sesuatu yang telah dibuat menurut pengaruh kebutuhan tanggapan (responses) pembaca (readers).

Pendekatan ekspresif yaitu pendekatan yang menitikberatkan pada penulis (artist). Secara esensi, sebuah karya sastra itu yang eksternal dibuat internal, yang dihasilkan dari sebuah proses kreatif; berasal dari gerak hati perasaan, dan terwujud dalam kombinasi dari persepsi penyair (penulis), pemikiran, dan perasaan. Karena itu sumber utama dan the subject matter sebuah syair (karya) adalah pertalian dan tindakan pemikiran penyair sendiri, atau jika subject matter aspek dunia luar, hal ini adalah dirubah dari fakta ke syair lewat perasaan dan penggunaan pemikiran penyair sendiri.

Adapun pendekatan obyektif adalah pendekatan yang menitikberatkan pada karya (work) itu sendiri. Secara prinsip, melihat karya sastra dapat dipisah dari semua referensi di luar karya, menganalisis karya sastra sebagai sebuah entitas yang sudah bisa dipahami dengan sendirinya yang tersusun dari bagian bagian hubungan internal, dan menilai karya sastra semata-mata dari unsur intrinsik.

Dampak sastra terhadap masyarakat secara teoritis ditelusuri menggunakan pendekatan pragmatik. Salah satu penjelasan untuk memahami bagaimana pengetahuan dan nilai dapat diterima oleh masyarakat pembaca adalah teori resepsi. Menurut Junus (1995) resepsi sastra dimaksudkan bagaimana 'pembaca' memberikan makna terbadap karya sastra yang dibacanya, sehingga dapat memberikan reaksi atau tanggapan terhadapnya. Tanggapan itu mungkin bersifat pasif. Yaitu bagaimana seorang pembaca dapat memabami karya itu, atau dapat melihat hakikat estetika, yang ada di dalamnya. Atau mungkin juga bersifat aktif yaitu bagaimana ia merealisasikannya.

Kesadaran tentang kemungkinan dampak sastra terhadap masyarakat telah menggerakan agen kebudayaan tertentu memanfaatkan karya sastra sebagai sarana menyampaikan pesan untuk mempengaruhi masyarakat.  Pemanfaatan karya sastra terbuka sangat luas dalam berbagai bidang, baik untuk tujuan baik seperti pendidikan, syiar keagamaan, penyebaran ideologi multikultural maupun untuk kepentingan yang “kurang baik” seperti propaganda, penghasutan, dan kampanye kekerasan. Kondisi ini bahkan telah membuat sastrawan menjadi pemain yang aktif mengampanyekan gagasan-gagasan tertentu melalui karya sastra agar kebenaran yang diyakininya dapat pula diyakini oleh orang lain.

Dampak Sastra: Sejumlah Kasus
Pada tahun 1998  Salman Rushdie menulis Satanic Verses yang menurutnya terinspirasi sebagian oleh kehidupan nabi Muhammad. Karya Rushdie ini memenangkan pujian dari kritikus di Inggris tetapi menimbulkan kemarahan di kalangan umat Islam, yang menganggap novel itu berisi fitnah dan pelecehan.

Kerusuhan mematikan terhadap buku tersebut meletus di Islamabad, Pakistan dan Mumbai, India, dan buku itu dilarang di Afrika Selatan, India, Pakistan, Bangladesh dan beberapa negara lainnya. Bahkan tokoh Syiah Iran Khomeini mengeluarkan fatwa pada tahun 1989 yang menyerukan kematian Rushdie, sehingga menyebabkan penulis novel itu hidup bersembunyi selama satu dekade. Meskipun Rushdie tidak pernah dirugikan secara fisik, penerjemah Jepang-nya ditikam sampai mati pada tahun 1991 dan penerjemah Italia-nya terluka dalam sebuah insiden penusukan.

Kekhawatiran tokoh-tokoh Muslim dunia terhadap dampak novel Satanic Verses ini beralasan karena novel tersebut dinilai menghina Rasulullah Muhamad SAW, tokoh paling dihormati oleh umat Islam. Para ulama juga khawatir novel ini menggoyahkan iman umat Islam karena deskripsi dan narasi novel ini cenderung menjelekkan kerasulan Muhammad. Meski tidak disertai penelitian resepsi sastra, larangan terhadap Satanic Verse adalah langkah protektif ulama untuk melindungi aqidah umatnya.

Pelarangan peredaran novel pernah dilakukan pemerintah Orde Baru terhadap buku-buku karya Pramoedya Ananta Toer.  Pemerintah memasukan buku-buku Pram ke dalam kategori buku yang “berbahaya” karena dinilai menyebarkan kebencian terhadap pemerintah. Lebih lanjut, kebencian yang dimunculkan dikhawatirkan dapat menumbuhkan bibit perlawanan dari hati rakyat.

Herlambang (2013) menganalisis sejumlah cerpen yang diterbitkan majalah Horison dan Sastra digunakan untuk merekayasa persepsi public terhadap komunis untuk melegitimasi kekerasan terhadap kelompok yang dinilai terlibat dengan Gerakan 30 September tersebut. Cerpen-cerpen tersebut antara lain Pata Titik Kulminasi (Saytagraha Hoerip), Perempuan dan Anak-anaknya (Gerson Poyk), Sebuah Perdjuangan Ketjil (Sosiawan Nugroho), Maka Sempurnalah Penderitaan Saya di Muka Bumi (Zuli Dahlan), Perang dan Kemanusiaan (Usamah), dan Ancaman (Ugati).

Menurut Herlambang, meskipun kelihatannya tema sentral pada cerpen-cerpen tersebut bertema humanism, pada kenyataannya cerita-cerita tersebut merepresentasikan proses manipulasi atas konsep humanism itu sendiri sebagai cara untuk meyakinkan pembaca agar bersimpati kepada para pelaku pelanggaran kemanusiaan ketimbang kepada korbannya.  Ia berargumen, kendati kelihatannya para penulis dan karakter cerita-cerita tersebut berupaya menegakkan hak-hak dasar kemanusiaan yang berlaku dalam segala situasi dan terhadap siapa pun, namun pada kenyataannya penulis cerita-cerita ini adalah sebuah afirmasi terhadap penghancuran komunisme. Strategi ini dipadu dengan strategi kebudayaan lain, menurut Herlambang, telah berhasil melegitimasi kekerasan terhadap komunis. Salah satu buktinya, hingga saat ini kebencian terhadap komunisme masih tersimpan dalam benak public.

Penutup
Berdasarkan uraian di atas dapat disimPulkan bahwa dampak karya sastra terhadap pembaca benar-benar ada dan dapat dibuktikan. Pembuktian dapat dilakukan dengan tiga strategi, yaitu membandingkan pengetahuan pembaca sebelum dan setelah membaca karya sastra, membandingkan pandangan (persepsi), serta membandingkan perilaku pembaca sebelum dan setelah membaca.

Bahkan, potensi adanya dampak sastra terhadap kehidupan masyarakat telah dimanfaatkan agen kebudayaan tertentu untuk menyiarkan pengetahuan dan pemahaman terhadap sesuatu. Untuk tujuan konstruktif, sastra dapat digunakan sebagai media pendidikan, merekonstruksi kesadaran multikultural, atau digunakan untuk mengampanyekan kedamaian. Adapun untuk tujuan “destruktif”, sastra dapat digunakan oleh penguasa sebagai alat propaganda, merakayas kesadaran public, hingga digunakan untuk melegitimasi tindakan kekerasan yan dilakukannya.

Daftar Pustaka
Pradopo, Rachmat Joko. 1995. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Herlambang, Wijaya 2013. Kekerasan Budaya Pasca 1965: Bagaimana Orde Baru Melegitimasi Anti-Komunisme Melalui Sastra dan Film. Yogyakarta: Marjin Kiri.

No comments:

Post a Comment