Friday 8 August 2014

Mereproduksi Bahasa Persahabatan

BAGAIMANA bisa umat Muslim di Indonesia maaf-memafkan secara massal saat Idul Fitri? Terus terang, saya tidak akan sanggup melakukan itu.

Kawan berkebangsaan Amerika mengungkapkan rasa heran itu ketika saya bercerita tentang tradisi lebaran di Indonesia. Meski Andre Moller telah mengulas dan menyajikan Ramadan di Jawa kepada publik Barat, tradisi maaf-maafkan massal tampaknya bukan sesuatu yang lazim dalam ingatan kolektif mereka.

Argumennya bahwa maaf-memafkan adalah perkara yang tak enteng dilakukan, ada benarnya. Meminta maaf – dan begitu pula memaafkan – adalah peristiwa kejiwaan yang sakral. Saat peristiwa itu terjadi, di “dalam” sana pasti terjadi pergolakan. Kalau maaf-memaafkan hanya berlangsung di mulut, berarti maaf yang gombal. Gombal mukiyo, malahan.

Lalu, kenapa kebiasaan itu bertahan hingga beberapa abad dalam kehidupan umat Islam di Tanah Air? Saya teringat penjelasan Thomas dan Wareing. Bahasa, kata kedua ahli sosiolinguistik itu, tak hanya berfungsi menjadi penanda bagi sebuah petanda. Ada kalanya, ungkapan tak menandai apa pun, tapi menjadi pelumas hubungan sosial (social lubricant).

Di pedesaan, misalnya, seorang guru harus berkali-kali melayani pertanyaan “Tindak, Pak?” ketika ia berjalan kaki menuju sekolahan. Para penanya adalah orang-orang tua yang kebetulan berpapasan di jalan atau tak sengaja berpaut pandang saat sedang menyapu halaman. Si penanya, entah siapa pun, sebenarnya tak memerlukan jawaban spesifik. Dia toh sudah tahu, pak guru akan berangkat ke sekolah.

Tapi, penggunaan ungkapan semacam itu bukan sesuatu yang sia-sia. Dua orang itu merasakan keakraban. Si penanya berkesempatan mengungkapkan perhatian dan rasa hormat. Adapun pak guru berkesempatan menunjukkan keramahan.

Lawan dan Kawan

Ketika hubungan kompetitif menjadi kian dominan, belakangan ini bahasa permusuhan banyak sekali diproduksi. Di arena politik misalnya, bahasa permusuhan membanjiri media sosial melalui caci, maki, sarkasme, juga ironi. Adapun dalam bentuk visual, ungkapan permusuhan mewujud dalam bentuk meme atau gambar plesetan. Meski kerap menggelikan, meme sejatinya menguarkan aroma perang. Ngejak gelut –dalam ungkapan cah Semarang.

Di arena politik misalnya, muncul kata “lawan” dalam frasa “lawan politik”. Dalam ingatan penutur dan mitra tutur, “lawan” memberi pesan negatif. Pesan ini akan direspon negatif pula secara kognitif. Jika direproduksi terus-menerus, semangat komunikasi yang melingkupinya akan berubah menjadi semangat perlawanan. Tidak heran jika suasana arena politik kita selalu panas.

Di arena olahraga, ungkapan bernuansa konfrontatif juga menjamur. Saat Jerman menang atas Brazil dengan skor 7-1, contohnya, ada media yang menyebut “Jerman hancurkan Brazil”. Media lain menyebut “Jerman Luluh  Lantakkan Brazil”. Ada pula yang menggunakan kata “gilas”, “pecundangi”, dan “permalukan”. Ungkapan-ungkapan hiperbolis tersebut merupakan ekspresi kecongkakan yang bernuansa konfrontatif.

Para linguis dapat memandang bahasa permusuhan (begitu pula dengan persahabatan) sebagai kreativitas berbahasa semata. Namun, jika produksi bahasa permusuhan berlangsung terus menerus, akan ada efek sosial yang buruk. Pasalnya, bahasa adalah representasi pikiran. Ungkapan bernuansa permusuhan bisa jadi awal lahirnya permusuhan yang sebenarnya.

Ketika orang terus menerus menggunakan bahasa tertentu, maka persepsi-persepsi yang terkodekan dalam bahasa itu akan tertanam kuat dalam pikiran sehingga sulit untuk dipertanyakan lagi. Mekanisme ini terkadang berjalan di luar kesadaran penutur bahasa itu sendiri.

Sejuk dan Berkeadilan

Atas realitas semacam itu, rasanya kita beruntung memiliki tradisi maaf-memaafkan saat lebaran. Meski terkesan sekadar formalitas, ungkapan yang lahir dalam tradisi itu dapat melahirkan kesejukan hubungan sosial.

Akan menarik jika ungkapan-ungkapan bersahabat semacam itu dapat direproduksi pada arena lain. Di arena politik, misalnya. Dengan bahasa persahabatan, relasi kompetitif yang panas bisa menjadi sejuk. Hubungan personal yang tegang bisa menjadi lebih cair.

Rekayasa sosial melalui bahasa bukan mission imposible. Para aktivis di pernah menggelorakan Political Corectness (PC). Salah satu upaya yang dilakukan adalah “memperbaiki” istilah yang dinilai diskriminatif. Terhadap para penyandang cacat, mereka menyodorkan “impairment” untuk mengganti “disability”.

Pembedaan istilah dilakukan untuk menggambarkan realitas supaya lebih berkeadilan. Dengan menyebut “impairment” kita diajak supaya peka, orang dengan ketajaman pandangan lemah bukan berarti tidak bisa membaca, tapi karena belum tersedia buku dengan ukuran huruf yang cukup besar. Dengan cara yang sama, kita akan tahu, orang lumpuh bukan tak bisa naik ke lantai dua, tapi karena belum tersedia eskalator atau lift.

Selamat hari raya Idul Fitri. Berjabat erat, mari bersahabat.

No comments:

Post a Comment