Thursday 14 August 2014

Karena Rumput Ada di Mana-mana

Awalnya hanya desisan, tapi lama-lama suara itu terdengar jelas. Burhan yang sedang menyandarkan punggungnya di bawah pohon mahoni, kaget. Seperti ada dua orang yang sedang bertengkar.
 “Sumpah. Bukan aku!”
Burhan tersentak. Ia menduga, siapa pun yang mengucapkan kata-kata itu pasti sedang amat kesal. Menghentak. Tapi suara siapa itu, Burhan bertanya-tanya.
Bosan menghabiskan sore di kontrakan, Burhan berniat jalan-jalan. Ia meninggalkan anak laki-lakinya bermain bola sendiri. Mengenakan kaos pendek dan sandal jepit ia berencana ke bukit di utara kampung. Di sanalah Burhan biasa menghabiskan senja. Menurutnya itu lebih asyik daripada tiduran di kontrakan yang luasnya hanya dua kali meja tenis.
Bukit tempat Burhan duduk tampak tak terpelihara. Rumput liar menjalar ke mana-mana. Beberapa warga memanfaatkannya untuk membuang kertas bekas. Yang membuatnya tampak sebagai lahan milik adalah karena tumbuh kayu-kayuan di sana. Paling banyak adalah mahoni. Jati bisa dihitung dengan jari, namun besar dan tampaknya sudah sangat tua. Sengon yang baru dia tahun ditanam sudah tumbuh seukuran paha orang dewasa.
“Sumpah, bukan aku!”
Suara itu terdengar lagi. Burhan kebingungan. Ia merasa sendirian di bukit, tapi suara itu terdengar amat jelas. Seperti hanya tiga atau empat meter dari telinganya.
“Halah, ngaku saja lah. Sudah ada buktinya kok,” sahut suara kedua. Tak kalah keras.
“Apa buktinya? Jangan ngarang cerita bohong. Ini fitnah.”
Semakin penasaran, Burhan bangkit memandang kesana kemari. Ia juga melongok ke tebing. Ia pikir ada dua orang yang bertengkar di sana. Tapi ketika ia melihatnya, tidak ada siapa-siapa.
“Apa perlu kamu aku bawa ke pengadilan? Biar hakim yang pastikan kalau kamu adalah koruptor.”
“Silakan. Silakan lapor polisi. Aku siap disidang.”
Tak putus asa, Burhan menengok ke sisi tebing lainnya. Tapi yang ia lihat hanya tanah cadas yang terjal. Tidak mungkin ada orang di sana.
“Kenapa kamu nuduh aku korupsi?”
Suara semakin meninggi. Burhan mengira, suara itu milik pria muda. Selain lantang, penekanannya jelas. Ada hentakan. Ada amarah.
“Sudah lama aku dengar kabar itu. Dan lagi, fotomu juga ada di koran. Pantas sekarang badanmu gemuk. Makan uang haram rupanya?”
“Hei, sekali lagi aku ingatkan, jangan sembarang tuduh. Kita berteman sudah lama. Kamu tahu siapa aku. Tidak mungkin aku korupsi.”
Beberapa detik pertengkaran terhenti. Burhan menduga, dua orang  yang sedang bertengkar sengaja mengambil jeda. Ia masih berputar-putar di atas bukit. Pandangannya terlempar ke sana kemari namun tak melihat seorang pun. Hanya ada rumput dan pohon-pohon.
“Hei, ada apa kalian? Kenapa bertengkar?”
Tiba-tiba suara ketiga terdengar. Burhan kaget. Suara itu tak terlalu keras tapi dalam dan bergetar.
“Bapak lihat kenapa belakangan tubuhnya gemuk? Ternyada dia korupsi.”
“Anjing kamu! Aku sudah bilang, aku bukan koruptor. Kalau masih sebut aku koruptor, ku penggal lehermu!”
Pertengkaran makin keras. Tapi suara ketiga seperti coba menengahi.
“Hei, hei, hei. Jangan seperti anak-anak. Sebenarnya apa masalah kalian? Hah?”
“Ini, Pak. Kemarin aku temukan sobekan koran. Ada wajah dia di halaman depan. Bapak bisa baca keterangannya, Si Sengon ternyata membawa kabur uang proyek pembangunan waduk.”
“Kapan kamu dapat koran ini?”
“Dua hari lalu. Aku tidak sengaja menemukannya.”
Terdengar helaan nafas panjang.
“Jangan mudah percaya. Tidak semua yang ditulis di sini benar.”
“Akh, Bapak jangan bercanda. Ini sobekan koran, Pak, bukan komik atau novel.”
“Iya, tapi apa kamu melihat dengan mata sendiri Si Sengon benar-benar korupsi? Kamu lihat dia bawa uang?”
“Tidak.”
Sekali lagi, terdengar suara helaan nafas.
 “Begini saja. Kita tanya saja pada rumput. Karena dia ada di mana-mana, mestinya dia tahu soal ini,” saran suara ketiga.
“Ya, Pak. Silakan Bapak saja yang tanya.”
Suara-suara itu menghilang beberapa lama. Burhan masih memutari bukit. Ia menyibak rumput, menduga obrolan itu dari telefon genggam atau radio yang ditinggal orang. Tapi ia tak menemukan apa pun.
“Hei rumput. Mahoni menuduh Si Sengon korupsi. Tapi aku sendiri tidak begitu percaya. Apa kamu tahu duduk persoalannya?”
“Hahahaha...” terdengar gelak tawa. “Hahahahaha....”
“Hei rumput. Aku tanya pada kamu, kenapa kau malah tertawa?”
“Maaf, Pak Jati. Aku tidak bisa menahan tawa. Pertanyaan Bapak lucu sekali.”
“Iya, aku tahu ini aneh. Tapi apa kamu tahu, sebenarnya siapa yang korupsi?”
“Aku punya banyak telinga. Tentu saja aku tahu.”
“Siapa? Ceritakan pada kami.”

***

Rencana pembangunan waduk sebenarnya terdengar sejak enam tahun lalu. Puluhan kali warga demo minta pemeritah membangunnya. Mereka tidak tahan karena tempat tinggal mereka selalu banjir saat hujan. Sebaliknya, saat kemarau sumur makin dalam. Air berish harus dibeli tiga ribu rupiah per kubik.
Mereka berpikir, jika ada waduk aliran air dari hulu bisa ditahan sehingga tidak mengalir melewati selokan dan meluap masuk rumah. Jika air tertahan di waduk dan meresap, air juga tidak langka sekalipun kemarau panjang.
Ketika warga mendatangi balaikota awalnya Pemkot menolak. Walikota mengaku tak punya cukup anggaran. Warga kemudian ganti berdemo ke kementerian. Mereka berduyun-duyun menggunakan empat truk ke Jakarta. Burhan turut serta, berdiri delapan jam di bak truk.
Pertama datang mereka diusir petugas lantaran tak mengantongi izin. Pada aksi kedua mereka dibiarkan. Mereka baru bertemu Dirjen pada pertemuan ketiga. Tapi Dirjen hanya bisa mengatakan akan menyampaikan tuntutan warga pada Pak Menteri.
Atas bantuan LSM, warga akhirnya bertemu menteri. Hanya dua dari 134 warga yang boleh menemui menteri. Itu pun belum membuahkan hasil. Menteri bilang, tidak ada anggaran tahun itu. “Musti nunggu APBN tahun depan,” katanya.
Pada tahun keenam tuntutan warga akhirnya dipenuhi. Proses lama itu, katanya karena harus lewat proses legislasi yang panjang. Namun begitu warga merasa amat lega. Bayang-bayang air sungai penuh lumpur yang menyerang seisi rumah bisa terlupakan. Mereka bisa tetap tidur nyenyak walaupun hujan malam-malam.
Proyek dimulai awal Juli saat masuk kemarau. Warga bersorak gembira. Atas inisatif kepala desa, mereka menggelar syukuran dengan memotong seekor sapi. Sayangnya, pertengahan Desember proyek terhenti. Truk dump tak hilir mudik lagi, buldozer terparkir di garasi, dan mes pekerja tak lagi dihuni. Warga menduga proyek dihentikan sementara karena saat itu musim hujan. Sungai Baringin memang besar. Saat hujan alirannya amat deras, cukup menghanyutkan beberapa truk sekaligus.
Namun, musim kemarau tahun berikutnya pekerjaan tak dilanjutkan. Orang-orang berbisik di warung kopi bahwa uangnya dikorupsi. Tapi mereka tak tahu siapa. Setahu mereka, orang-orang yang bekerja di sana baik semua. Pak menteri orang baik. Dia berasal dari partai Islam. Kontraktor yang mengerjakan juga punya reputasi bagus. Anggota DPR dari Dapil itu bahkan sering membagikan beras jelang Idul Fitri. Dua kilogram per kepala keluarga.
“Tidak mungkin dia. Dia orang baik. Buktinya, kita masih diberi sembako,” kata salah seorang warga.
Pertanyaan warga terjawab dua hari lalu. Hampir seluruh koran memberitakan koruptor itu. Fotonya bahkan terpajang hampir setengah halaman di bagian depan. Foto sebatang pohon sengon.

***

“Ayo rumput. Ceritakan yang sebenarnya,” pinta Pohon Jati. Dia tampak penasaran.
Sambil menahan angin sore yang menerpanya, Rumput memulai cerita.
“Tujuh bulan lalu aku lihat tiga orang rapat di hotel. Mereka bicara soal uang waduk. Dua triliun mereka ambil. Tiap orang dapat 500 miliar.”
“Kamu yakin?” Pohon Jati tak tak begitu percaya.
“Ayolah Pak Jati. Pendengaranku bagus. Lagipula, rumput sepertiku ada di mana-mana.”
“Tapi kenapa Si Sengon yang dituduh korupsi?”
“Aku juga tidak menyangka rencana tiga orang itu. Mereka bingung cari kambing hitam. Mau nuduh kawan tidak mungkin, tapi kalau nuduh lawan politik bisa bahaya. Akhirnya mereka menuduh pohon sengon.”
“Akh, gila mereka! Terus, kenapa foto Si Sengon yang ada di koran?”
 “Hahahaha...” rumput kembali tertawa.
“Kau pikir apanya yang lucu?”
“Menurutmu, lima ratus miliar cukup untuk memborong berapa perusahaan, hah?”

Semarang, Juli  2014

No comments:

Post a Comment