Sidang perdana Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan
agenda pemilihan ketua DPR menyisakan sejumlah keganjilan. Di luar intrik
politik yang melingkupinya, sidang itu telah menggambarkan identitas mental anggota
DPR. Clemongan, interupsi, hingga
penggerudukan yang berlangsung selama sidang menunjukkan bahwa DPR juga
memiliki sifat kerumunan.
Dalam terminologi ilmu sosial, kerumunan adalah bentuk
kelompok yang paling rendah. Ikatan emosional antaranggota kerumunan sangat rendah.
Kerumunan lahir karena ketidaksengajaan, bersifat spontan, dengan pembagian
peran yang tidak jelas.
Sosiolog Perancis Gustav Le Bon (1841-1931)
memperkenalkan kerumunan sebagai konsep akademik. Menurutnya, ada dua jenis
kerumunan, yakni kerumunan heterogen dan kerumunan homogen. Yang menarik, Le
Bon telah berhasil membuat analisis karakter psikologi kerumunan.
Dalam kerumunan, kepribadian personal luruh menyatu menjadi
kepribadian kolektif. Identitas personal menjadi tidak penting. Proses ini,
menurut Le Bon, terjadi dalam tiga tahap. Pada tahap pertama, anonimitas, orang-orang
bergabung pada sebuah gerakan dan mulai kehilangan sensibilitas individualnya.
Kemampuan kritis personal diganti oleh semacam gairah yang meluap. Pada tahap
kedua, penularan (contagion), emosi
menyebar memenuhi suasana yang tercipta dalam kerumunan sehingga individualitas
hilang. Pada tahap ketiga, sugesti, orang-orang akan terbuka untuk mengikuti
apa yang diucapkan secara berulang-ulang oleh pemimpin kerumunan.
Tuduhan bahwa DPR adalah kerumunan memang lebih
menyerupai satire. Namun, tuduhan ini mendapat pembuktian jika direfleksikan
pada perilaku mereka saat sidang paripurna DPR, baik saat pengesahan
undang-undang pilkada maupun saat pemilihan ketua.
Clemongan dan Hasrat
Mentalitas kerumunan anggota DPR dapat ditelusuri
melalui performa linguistiknya. Metode ini dapat dilakukan karena bahasa adalah
representasi kepribadian. Kata, sebagai tanda, adalah petanda bagi konsep yang
hidup dalam pikiran manusia. Bahasa dalam bentuk kata merupakan penampakan isi,
batin yang ada di dalam.
Searle (1969) mengemukakan, ada tiga bentuk tindak
tutur (speech act) yang banyak
dipraktikkan masyarakat, yaitu lokusi (locutionary
acts), ilokusi (illocutionary acts),
dan perlokusi (perlocutionary acts).
Tiga kategori tindak tutur ini menjelaskan bahwa sebuah kalimat yang sama dapat
digunakan untuk tujuan yang sama sekali berbeda.
Tindak tutur lokusi digunakan penutur bahasa untuk
menyatakan sesuatu. Maksud penutur bahasa sama persis dengan yang terutara
secara eksplisit pada kata, frasa, atau kalimat yang diutarakan. Tindak tutur
ilokusi, selain berfungsi untuk mengatakan sesuatu dapat juga dipergunakan
untuk melakukan sesuatu. Dalam praktiknya, ilokusi dapat berupa perintah,
larangan, deklarasi sikap, dan pernyataan. Adapun perlokusi merupakan tindak
tutur yang memiliki pengaruh terhadap publik pendengarnya, baik yang sengaja
dikreasi maupun akibat tambahan.
Dalam arena politik, setiap perkataan dapat
diasumsikan sebagai tindakan politik. Si penutur berupaya menjadikan
perkataannya untuk mendukung tindakan politiknya. Pada praktiknya, tindakan
politik dapat berupa serangan, pertahanan, atau klarifikasi.
Meski anggota DPR memiliki rekam jejak sebagai
pribadi terpelajar, performa bahasa mereka ternyata berkarakter lowbrow (kelas rendah). Identitas lowbrow, setidak-tidaknya, dapat dibaca
dari clemongan yang muncul. Clemongan merupakan ekspresi lisan yang
biasa muncul spontan dalam kerumunan. Dalam perhelatan kesenian rakyat, clemongan sangat sering muncul. Dalam
lenong, misalnya, penonton bebas berkomentar selama pertunjukan. Begitu pula
dalam pentas tari tayub, reog, dan lengger.
Karena bersifat spontan, clemongan bukan tindak tutur lokusi. Oleh penuturnya, clemongan justru dijadikan sebagai pelampiasan
atas hasrat yang tersimpan dalam batinnya. Clemongan
digunakan agar penuturnya dapat melepas beban persepsi yang tidak dapat dilepas
dengan kalimat normal.
Saat Popon Djunjunan memimpin sidang, misalnya,
salah satu anggota DPR nylemong
“Sudah malaaam neneeek.” Secara pragmatik, clemongan
itu berisi permintaan agar rapat segera diakhiri.
Namun, permintaan itu bukan
satu-satunya hal yang ingin disampaikan. Penutur clemongan ini juga menyatakan sikap politiknya untuk merendahkan
pimpinan sidang. Pada tataran tertentu, ejekan semacam ini merupakan strategi
mendelegitimasi kepemimpinan lawan.
Clemongan
juga hadir dalam sidang paripurna pengesahan RUU Pilkada. Saat anggota fraksi
Partai Demokrat walkout, 11 orang
memilih bertahan. Saat itu seorang anggota DPR nylemong “Yang ini penghuni surga.” Si penutur clemongan menggunakan clemongan
untuk meluapkan kemarahan terhadap kelompok yang berbeda sikap politiknya.
Juru
Bicara Hening
Apakah profil mental semacam ini memengaruhi kinerja
legislasi anggota DPR selama lima tahun ke depan? Pertama-tama, perlu
diklarifikasi bahwa tiap-tiap anggota DPR sebenarnya memiliki hak bersuara.
Mereka bebas menyatakan sikap sesuai pandangan politiknya. Namun, kebebasan
semacam ini kerap kali dirampas fraksi dengan ancaman pergantian antarwaktu
(PAW). Realitas politik inilah yang membuat anggota DPR terus memelihara
mentalitas kerumunannya.
Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) pernah mem-PAW Lily
Wahid dan Efendi Choirie karena keduanya memilih sikap berbeda dengan partainya
tentang kasus Bank Century. Tindakan PKB menjadi terapi kejut bagi anggota DPR
lain agar berpikir dua kali sebelum menyatakan sikap. Akibatnya, meski memiliki
sikap politik personal, mereka akan menyimpannya rapat-rapat.
Kondisi tidak ideal ini akan membuat anggota DPR
jadi juru bicara yang hening. Meski secara konstitusional memiliki hak bicara,
mereka tidak memiliki keberanian. Layaknya bebek, mereka akan berkerumun
mengikuti instruksi politik pemimpin partai. Dalam kondisi ini, pemimpin partai
berperan sebagai pemimpin kerumunan.
Surahmat,
dosen Bahasa Indonesia Universitas Negeri Semarang (Unnes), penulis buku Melawan Kuasa Perut (2014)
No comments:
Post a Comment