Monday 13 October 2014

Mental Kerumunan Wakil Rakyat



Sidang perdana Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan agenda pemilihan ketua DPR menyisakan sejumlah keganjilan. Di luar intrik politik yang melingkupinya, sidang itu telah menggambarkan identitas mental anggota DPR. Clemongan, interupsi, hingga penggerudukan yang berlangsung selama sidang menunjukkan bahwa DPR juga memiliki sifat kerumunan.


Dalam terminologi ilmu sosial, kerumunan adalah bentuk kelompok yang paling rendah. Ikatan emosional antaranggota kerumunan sangat rendah. Kerumunan lahir karena ketidaksengajaan, bersifat spontan, dengan pembagian peran yang tidak jelas.

Sosiolog Perancis Gustav Le Bon (1841-1931) memperkenalkan kerumunan sebagai konsep akademik. Menurutnya, ada dua jenis kerumunan, yakni kerumunan heterogen dan kerumunan homogen. Yang menarik, Le Bon telah berhasil membuat analisis karakter psikologi kerumunan.

Dalam kerumunan, kepribadian personal luruh menyatu menjadi kepribadian kolektif. Identitas personal menjadi tidak penting. Proses ini, menurut Le Bon, terjadi dalam tiga tahap. Pada tahap pertama, anonimitas, orang-orang bergabung pada sebuah gerakan dan mulai kehilangan sensibilitas individualnya. Kemampuan kritis personal diganti oleh semacam gairah yang meluap. Pada tahap kedua, penularan (contagion), emosi menyebar memenuhi suasana yang tercipta dalam kerumunan sehingga individualitas hilang. Pada tahap ketiga, sugesti, orang-orang akan terbuka untuk mengikuti apa yang diucapkan secara berulang-ulang oleh pemimpin kerumunan.

Tuduhan bahwa DPR adalah kerumunan memang lebih menyerupai satire. Namun, tuduhan ini mendapat pembuktian jika direfleksikan pada perilaku mereka saat sidang paripurna DPR, baik saat pengesahan undang-undang pilkada maupun saat pemilihan ketua.

Clemongan dan Hasrat

Mentalitas kerumunan anggota DPR dapat ditelusuri melalui performa linguistiknya. Metode ini dapat dilakukan karena bahasa adalah representasi kepribadian. Kata, sebagai tanda, adalah petanda bagi konsep yang hidup dalam pikiran manusia. Bahasa dalam bentuk kata merupakan penampakan isi, batin yang ada di dalam.

Searle (1969) mengemukakan, ada tiga bentuk tindak tutur (speech act) yang banyak dipraktikkan masyarakat, yaitu lokusi (locutionary acts), ilokusi (illocutionary acts), dan perlokusi (perlocutionary acts). Tiga kategori tindak tutur ini menjelaskan bahwa sebuah kalimat yang sama dapat digunakan untuk tujuan yang sama sekali berbeda.

Tindak tutur lokusi digunakan penutur bahasa untuk menyatakan sesuatu. Maksud penutur bahasa sama persis dengan yang terutara secara eksplisit pada kata, frasa, atau kalimat yang diutarakan. Tindak tutur ilokusi, selain berfungsi untuk mengatakan sesuatu dapat juga dipergunakan untuk melakukan sesuatu. Dalam praktiknya, ilokusi dapat berupa perintah, larangan, deklarasi sikap, dan pernyataan. Adapun perlokusi merupakan tindak tutur yang memiliki pengaruh terhadap publik pendengarnya, baik yang sengaja dikreasi maupun akibat tambahan.

Dalam arena politik, setiap perkataan dapat diasumsikan sebagai tindakan politik. Si penutur berupaya menjadikan perkataannya untuk mendukung tindakan politiknya. Pada praktiknya, tindakan politik dapat berupa serangan, pertahanan, atau klarifikasi.

Meski anggota DPR memiliki rekam jejak sebagai pribadi terpelajar, performa bahasa mereka ternyata berkarakter lowbrow (kelas rendah). Identitas lowbrow, setidak-tidaknya, dapat dibaca dari clemongan yang muncul. Clemongan merupakan ekspresi lisan yang biasa muncul spontan dalam kerumunan. Dalam perhelatan kesenian rakyat, clemongan sangat sering muncul. Dalam lenong, misalnya, penonton bebas berkomentar selama pertunjukan. Begitu pula dalam pentas tari tayub, reog, dan lengger.

Karena bersifat spontan, clemongan bukan tindak tutur lokusi. Oleh penuturnya, clemongan justru dijadikan sebagai pelampiasan atas hasrat yang tersimpan dalam batinnya. Clemongan digunakan agar penuturnya dapat melepas beban persepsi yang tidak dapat dilepas dengan kalimat normal.
Saat Popon Djunjunan memimpin sidang, misalnya, salah satu anggota DPR nylemong “Sudah malaaam neneeek.” Secara pragmatik, clemongan itu berisi permintaan agar rapat segera diakhiri. 

Namun, permintaan itu bukan satu-satunya hal yang ingin disampaikan. Penutur clemongan ini juga menyatakan sikap politiknya untuk merendahkan pimpinan sidang. Pada tataran tertentu, ejekan semacam ini merupakan strategi mendelegitimasi kepemimpinan lawan.

Clemongan juga hadir dalam sidang paripurna pengesahan RUU Pilkada. Saat anggota fraksi Partai Demokrat walkout, 11 orang memilih bertahan. Saat itu seorang anggota DPR nylemong “Yang ini penghuni surga.” Si penutur clemongan menggunakan clemongan untuk meluapkan kemarahan terhadap kelompok yang berbeda sikap politiknya.

Juru Bicara Hening

Apakah profil mental semacam ini memengaruhi kinerja legislasi anggota DPR selama lima tahun ke depan? Pertama-tama, perlu diklarifikasi bahwa tiap-tiap anggota DPR sebenarnya memiliki hak bersuara. Mereka bebas menyatakan sikap sesuai pandangan politiknya. Namun, kebebasan semacam ini kerap kali dirampas fraksi dengan ancaman pergantian antarwaktu (PAW). Realitas politik inilah yang membuat anggota DPR terus memelihara mentalitas kerumunannya.

Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) pernah mem-PAW Lily Wahid dan Efendi Choirie karena keduanya memilih sikap berbeda dengan partainya tentang kasus Bank Century. Tindakan PKB menjadi terapi kejut bagi anggota DPR lain agar berpikir dua kali sebelum menyatakan sikap. Akibatnya, meski memiliki sikap politik personal, mereka akan menyimpannya rapat-rapat.

Kondisi tidak ideal ini akan membuat anggota DPR jadi juru bicara yang hening. Meski secara konstitusional memiliki hak bicara, mereka tidak memiliki keberanian. Layaknya bebek, mereka akan berkerumun mengikuti instruksi politik pemimpin partai. Dalam kondisi ini, pemimpin partai berperan sebagai pemimpin kerumunan.

Surahmat, dosen Bahasa Indonesia Universitas Negeri Semarang (Unnes), penulis buku Melawan Kuasa Perut (2014)

No comments:

Post a Comment