Saturday 29 November 2014

Kebenaran: Antara Informasi dan Negasi

Tidak ada diskusi yang lebih berkepanjangan melebihi diskusi tentang kebenaran. Benda itu – kebenaran – adalah kebaikan sempurna yang didambakan sekaligus diragukan keberadaannya. Oleh karena itu, setidaknya bagi saya - kebenaran tetap saja berkabut. Kebenaran ada tapi tak dapat dijangkau. Kebanaran adalah catatan yang tak pernah berakhir.


Lantaran status kebenaran tidak pernah mapan, “salah” juga sulit didefinisikan. Bagaimana sesuatu dapat dikatakan benar atau salah? Apakah kebenaran dan kesalahan terdapat pada keyakinan, proposisi, realitas, atau apa?

Kirkham (2014) berupaya mengaitkan “kebenaran” dan “pembenaran” untuk merumuskan kebenaran menjadi lebih sederhana. Sesuatu bisa menjadi benar karena mendapati pembenaran.

Meski demikian, hubungan keduanya tidak sesederhana itu. Pembenaran bisa menjadi tidak bermakna apa-apa kalau kemungkinan penyangkalannya sama besar. Kebenaran bahkan bisa batal begitu saja jika status penyangkalan lebih kuat dibandingkan pembenarannya. Sesuatu bisa benar sekaligus salah, bergantung kekuatan pembenaran dan penyangkalan.

Saya menyerah mengikuti penjelasan Kirkham yang bertele-tela menganai kebenaran pada tingkat keyakinan. Pada tingkat itu, segalanya menjadi abstrak. Bayangkan, saya yang meyakini bahwa membunuh orang adalah salah bisa disangkal dengan keyakinan Jack The Ripper bahwa membunuh adalah benar. Status benar yang saya yakini dan sama besarnya dengan status keyakinan si pembunuh. Mana yang lebih benar?

Agak lebih mudah menguraikan kebenaran pada tingkat linguistik. Proporsi yang benar adalah yang memperoleh pembenaran logis. Untuk urusan itu, saya terbantu dengan keberadan tiga proyek yang cukup populer mengenai kebanaran, yakni proyek korespondensi, koherensi, dan deflasioner.

Dalam teori korespondensi (Widyarsono, 2013) pernyataan dikatakan benar jika berkorespondensi dengan sesuatu yang ada di luar pernyataan tersebut, yakni fakta. Pernyataan “adalah benar kucing itu ada di matras” bisa dikatakan benar jika berkorespondensi dengan fakta. Ini berarti kebenaran bukanlah sesuatu yang internal pada peryataan itu, melainkan kebenarannya terletak pada relasi khusus dengan sesuatu yang lain.

Awalnya, itu terasa masuk akal dan berterima. Namun, teori korespondensi mendapat kritik dari teori koherensi yang menganggap kesuaian antara pernyataan dengan kenyataan yang dijadikan kebenaran teori korespondensi hanyalah sebuah ilusi. Jika seseorang harus menilai kebenaran “kucing itu ada di atas matras” maka segala sesuatu mengenai dunia yang relevan dengan pendapat itu harus diungkap pula. Lagipula, pernyataan “di atas” hanyalah implikasi jika seseorang melihatnya dari arah tertentu saja.

Para penganut kebenaran koherensi kemudian berpendapat bahwa kebenaran pernyataan tidak dapat dipahami sebagai suatu relasi dengan sesuatu yang berbeda bentuk eksistensinya, melainkan relasi antara pendapat itu dengan yang setara, yaitu pendapat-pendapat lain. Maka dalam teori koherensi dinyatakan kebenaran sebuah pendapat terletak pada koherensinya dengan pendapat-pendapat lain.

Teori deflasioner punya pandangan yang bertolak belakang dengan teori yang lain. Hal yang dikritik oleh teori deflasioner adalah klaim kebenaran dalam pernyataan “adalah benar kucing itu ada di atas matras”. Menurut teori ini, klaim “adalah benar” (is true) tidak diperlukan karena tidak membuat pernyataan baru di luar atau melebihi bentuk “kucing itu ada di atas matras”. Klaim “adalah benar” hanyalah bentuk afirmasi kembali atas bentuk “kucing itu ada di atas matras”.

Hidup dengan “Benar”

Di sejumlah kelas yang saya ampu, saya bertanya kepada mahasiswa “Kebenaran seperti apa yang mereka jadikan pedoman hidup – sejauh ini?” Pertanyaan ini menjadi semacam pemanasan di bahaasan mengenai karya ilmiah dan kebenaran ilmiah. Jawaban mereka – sebagaimana saya duga – beragam. Namun, tampaknya, tidak ada yang pernah secara serius mempersoalkan hal itu.

Bahwa mereka melakukan sesuatu hal dan tidak melakukan satu hal lain, mereka dapat memberikan penjelasan. Namun ketika saya kejar, mengapa satu alasan lebih mudah diterima daripada alasan lain, kelas menjadi hening.

Misalnya, “Seroang muslim, selama ini, menyisihkan 2,5 persen penghasilannya agar diberikan kepada fakir miskin dan anak yatim. Kenapa itu dilakukan? Padahal, itu kan hasil jerih payahnya?”

Pertanyaan lainnya, “Kalau saya ajak Anda main ke Parangtritis untuk dus-dusan, maukah kalian memakai pakaia serba hijau?” Kenapa mau? Kenapa tidak?

Saya kira, lumrah saja orang memberi argumen sesuka hati atas keputusannya. Barangkali manusia memang dibekali kemampuan instingtif untuk melakukan sesuatu yang “benar” menurutnya. Kalau “kebenaran” memang sudah mengurat nadi, tidak perlu untuk diverbalisasi menggunakan pilihan kata dan susunan gramatikal yang terbatas itu kan?

Dulu, yang diyakini sebagai “kebenaran” adalah teori bahwa bumi menjadi pusat tata surya. Benda-benda langit berputar mengelilingi bumi. kebanaran ini diwariskan secara doctrinal dari generasi satu ke generasi berikutnya.

Namun, teori itu runtuh setelah Copernicus mengajukan teori tandingan, heliosentris. Menurut teori ini, bukan bumi yang jadi tata surya, melainkan matahari. Konon, teori Copernicus ini sempat merepotkan gereja yang selama ini menyosiaalisasikan kebenaran geosentris.

Dari kasus itu, tampak bahwa kebenaran dialektis, mungkin cair, mungkin dinamis, mungkin berarak. Kebenaran satu bisa dibantah kebenaran lain. Bahkan, kebenaran satu bisa menjadi salah karena disangkal kebenaran yang lebih berterima. Artinya, ada orang-orang yang hidup dengan mengimani “kesalahan” sebagai “kebenaran” seumur hidupnya dan mati dengan membawa “iman” yang ternyata salah itu.

Informasi dan Kebenaran

Pokok persoalannya, saya kira, terletak pada informasi. Jenis informasi yang dikonsumsi seseroang menentukan bagaimana cara dia melihat persoalan. Cara seseorang melihat persoalan, menentukan standar moral yang dipakainya. Standat moral yang digunakan, pada akhirnya, menentukan standar penilaian yang digunakannya. Adapun kebenaran, sangat bergantung pada bagaimana cara seseorang mengukurnya.

Bagi prajurit yang sejak kecil terlatih perang, tiada kebenaran yang lebih mulia daripada membunuh lawan. Kematian lawan, kesengsaraannya saat sekarat, terpenggalnya bagian-bagian tubuh tertentu adalah proses menuju kebenaran itu.

Ini, barangkali, yang dirasakan oleh prajurit semacam Achiles dalam film Troy garapan Wolfgang Petersen. Dia tidak dilatih untuk menyayangi. Ia dilatih menggunakan pedang untuk menewaskan sebanyak mungkin lawan. Membunuh lawan adalah kemuliaan.

Beda dengan para sukarelawan Palang Merah yang dihimpun Henry Dunant. Bagi mereka, tidak ada perbuatan yang lebih benar dibanding menolong dan menyelematkan orang lain. Entah dalam peperangan, entah dalam situasi normal, orang-orang yang terluka harus ditolong. Dan orang yang nyaris mati harus bisa diselamatkan.

Itu sebuah perbandingan yang simplifikatif karena sampelnya saya ambil dari “sudut” yang sama sekali berlainan. Tapi, kebenaran ganda semacam itu, bisa jadi terhimpun dalam satu pribadi. Ya, pada saat tertentu seseorang memiliki pembenaran untuk membunuh, dan pada waktu lain dia memiliki pembenaran untuk menyelamatkan orang lain.

Variabel yang sangat menentukan keduanya, saya kira, adalah informasi. Dengan informasi tertentu, seseroang bisa meyakini bahwa membunuh orang lain adalah benar. Jaringan teroris, misalnya. Mereka bahkan punya basis argumen aqli dan naqli untuk meyakini bahwa pembantaian yang dilakukannya adalah pekerjaan mulia.

Bagi aktivis mahasiswa, kekerasan polisi terhadap buruh, demonstran, dan rakyat adalah kejahatan besar. Sebab, sejak lama dia telah mencecap informasi bahwa institusi kepolisian didirikan dengan tujuan mulia melindungi masyarakat. Namun, lain waktu, aktivis mahasiswa telah lulus dan menduduki posisi penting sebagai think tank pejabat, ia justru menggunakan polisi untuk melancarkan proyek pemerintah yang digagasnya. Baginya, polisi yang memukul ibu-ibu yang demonstrasi menentang pembangunan pabrik semen, adalah perkara wajar.

Rahmat Petuguran



No comments:

Post a Comment