Nana Eres, penyair muda yang sedang menempuh pendidikan di Universitas Negeri Semarang, barangkali satu-satunya mahasiswa yang berkesempatan menempatkan puisinya pada Kumpulan Puisi Pena Kencana 2008 yang diklaim berisi 60 puisi Indonesia terbaik 2008. Dengan begitu ia berkesempatan menyejajarkan puisinya dengan puisi-puisi lain karya penyair besar seperti Timur Sinar Suprabana, Ikranegara, atau bahkan Sutardjo Calzoum Bachri, meski capaian esetetisnya tetap berbeda. Sayangnya, sebagai mahasiswa ia tidak mendapat suplai kritik sastra yang cukup dari perguruan tinggi tempatnya belajar.
Meski produktif berkarya Nana Eres seperti linglung ke mana harus membawa puisi-puisinya. Di tengah hingar bingar kehidupan akademis ia justru merasakan kesepian di tengah belantara sastra. Karena itulah sekali waktu penyair ini berselingkuh dengan karya ilmiah dan jurnalistik, dunia yang sebenarnya cukup berjarak dengan dunia kepenyairan.
Persoalan Nana Eres adalah miniatur kondisi kritik sastra akademis kita beberapa tahun belakangan ini. Perguruan tinggi ternyata tidak mampu menumbuhkan iklim kritik sastra yang baik meski lembaga ini dikenal sangat getol pada pengembangan keilmuan. Lebih ironis lagi karena kondisi ini tidak melulu terjadi pada mahasiswa tetapi juga pada dosen-dosen fakultas atau jurusan sastra.
Realitas ini terjadi karena mahasiswa dan dosen terjebak pada rutinitas keilmuan yang profan. Dosen, bahkan di fakultas sastra sekalipun, terjebak rutinitas mengajar, sedangkan mahasiswa terjebak rutinitas kuliah. Dosen terjebak kesibukan mencari matapancaharian, sedangkan mahasiswa terjebak keasyikan mencari nilai supaya mendapatkan ijazah yang dapat melegitimasi gelar kesarjanaannya.
Sudah sejak lama fakultas dan jurusan sastra dikritik karena tidak mampu menghasilkan sastrawan. Kritikan tersebut patut terus ditujukan mengingat kondisi fakultas sastra memang demikian sampai sekarang. Sastrawan-sastrawan besar yang lahir, setidaknya dalam satu dekade terakhir, kebanyakan justru lahir dari disiplin ilmu lain.
Untuk membela diri, fakultas sastra biasanya berdalih bahwa kurikulum fakultas sastra memang tidak didesain untuk menghasilkan sastrawan melainkan kritikus sastra. Namun jika dicermati, dalih itu rasanya juga kurang dapat dipertanggungjawabkan mengingat iklim kritik sastra di perguruan tinggi juga redup, untuk tidak dibilang mati suri.
Musabab persoalan ini dapat diidentifikasi melalui tiga perspektif. Pertama, ada kekeliruan mendasar dalam pengajaran sastra di perguruan tinggi. Hingga kini masih saja ada anggapan bahwa sastra adalah karya yang diciptakan melalui keterampilan imajinasi dan intuisi belaka sehingga tidak mungkin dipelajari. Padahal keterampilan mencipta karya sastra adalah proses yang bisa ditempuh melalui latihan.
Memang harus diakui, pencapaian estetis dalam proses penciptaan karya sastra awalnya memang melalui imajinasi dan intuisi. Namun penjelamaan intuisi dan imajinasi dalam karya sastra sudah barang tentu berupa struktur bahasa yang dapat dipelajari. Misalnya, pencapaian estetis melalui gaya bahasa, diksi, dan topografi adalah hal yang tampak dan tentu saja bisa dipelajari. “Wahyu dan wahyu ada dua. Tidak semua wahyu adalah wahyu,” kata Chairil Anwar. Wahyu dalam proses penciptaan karya sastra pertama berupa imajinasi dan intuisi, sedangkan wahyu kedua adalah tahap penjelmaan wahyu pertama, berupa teknik.
Kekeliruan kedua, para akademisi tampaknya terhegemoni oleh filsuf dan pujangga lama yang menempatkan sastra dalam tahta agung intelektualitas. Dosen sastra masih menganggap sastra sebagai jenis seni yang luhur sehingga tidak bisa disentuh oleh sembarang orang. Demikian pula kritik sastra, masih dianggap sebagai ilmu para empu sehingga tidak patut jika dimiliki siapa saja.
Realitas ini dapat kita lihat pada tradisi kritik sastra yang selama ini hanya melibatkan sastrawan dan kritikus di kalangan ekslusif. Untuk mengkritik puisi karya Sapardi Joko Damono yang telah sohor, misalnya, hanya bisa dilakukan oleh kritikus sekelasnya. Dalam contoh lain, cerpen-cerpen Triyanto Trikromo yang dua diantaranya masuk dalam Kumpulan Cerpen Terbaik Kompas 2008, seolah-olah hanya patut dikritisi Linda Christanty atau Rocky Gerung yang sama sohornya.
Ketiga, terdapat renggang yang sangat lebar antara kehidupan sastra di perguruan tinggi dengan dinamika kesusasteraan yang sebenarnya. Sebagai sebuah produk budaya, sastra mengalami akselerasi setiap saat. Bahkan karena pencapaian estetis karya sastra sering dilakukan dengan mendobrak pakem-pakem lama, pembaruan terus menerus terjadi. Sedangkan kehidupan sastra di perguruan tinggi dapat dikatakan lamban karena terkungkung ketentuan akademis-ilmiah yang kaku.
Mau tidak mau kita harus mengakui bahwa cara berpikir akademis-ilmiah adakalanya menjebak dosen dan mahasiswa pada pola pikir struktural. Semua hal, termasuk kritik sastra, harus dilakukan dengan prosedur yang telah ada sesuai struktur karya sastra. Kondisi ini membuat hanya kritik sastra strukturalis yang berkembang di perguruan tinggi. Semua jenis karya sastra, baik puisi, prosa, maupun drama, seolah hanya patut dikritisi dengan pendekatan struktural yang cenderung linear dan menyerupai anualitas bongkar-pasang karya sastra. Padahal, tulis Acep Iwan Saidi dalam Matinya Dunia Sastra (2006), kritik sastra mestinya bergerak bebas ke segala arah.
Jarak yang terlalu lebar membuat akademisi sastra seperti hidup dalam keasyikan dunia teori tanpa persinggungan dengan dinamika sastra yang sesungguhnya. Mahasiswa sastra pun terlalu asyik berkelana dari teori sastra satu ke sastra lain tanpa aktualisasi yang memadai. Hmmm, begitulah kondisi yang saya lihat.
Surahmat
Pegiat Komunitas Nawaksara
Thursday, 14 January 2010
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment