
Mekanisme politik yang berjalan di negeri ini telah membuka kemungkinan hal-hal yang dulu dianggap mustahil untuk terjadi. Bahkan kadang mekanisme politik menghasilkan keputusan yang sulit dinalar. Atas nama keuntungan politis, kalkulasi untung rugi dibolak-balikkan dengan rumus lobi. Pada saat itulah kemasalahatan bersama yang menjadi esensi demokrasi tidak terlalu dipedulikan.
Mekanisme politik pula yang memunculkan kekhawatiran ketika tuntutan reformasi Polri dibenturkan dengan praktik mafia hukum di lingkungan korp Bhayangkara. Pada satu sisi Polri dituntut menjadi lembaga independen, namun kenyataan menunjukkan ia selalu diliputi berbagai intervensi. Baik masyarakat, pemerintah, maupun elit politik memiliki kepentingan terhadap Polri berbeda-beda. Masyarakat menuntut Polri total menjalankan fungsi pengamanan sebagai pengayom, pemerintah berkepentingan menggunakannya untuk meligitimasi kekuasaan, sedangkan elit politik bermaksud menggunakannya sebagai pengawal kepentingan-kepentingan politisnya.
Pengangkatan Kapolri yang selama ini dilakukan presiden barangkali terkesan sebagai peristiwa pemerintahan biasa. Namun jika kita mencermati betapa banyak pihak yang menaruh kepentingan di sana, pengangkatan Kapolri ternyata telah berubah menjadi peristiwa politik. Momentum pengangkatan Kapolri menjadi ajang bagi segenap kekuatan politik menunjukkan hegemoninya. Mereka bermanuver supaya proses berjalan sesuai kehendaknya.
Prerogratif Semu
Sebagai pemilik kewenangan pengangkatan Kapolri, presiden sebenarnya memiliki peran yang sangat dominan. Namun karena saat ini presiden sudah tersandera oleh berbagai kepentingan politik hak prerogratifnya ternyata semu. Tindakannya bisa jadi sakadar ikhtiar menjaga stabilitas politik supaya jabatannya aman.
Sekretariat gabungan partai koalisi dipastikan akan membisikkan nama orang yang menurut mereka patut menduduki posisi Polri 1 . Setgab, yang dimotori Golkar dan Demokrat, akan mengarahkan presiden suoaya memilih sosok yang dianggap loyal kepada partai-partai pemerintah. Mereka menghendaki Kapolri terpilih adalah sosok yang bisa diajak rembugan untuk mengamankan kepentingan politik mereka. Sebaliknya, sosok yang memiliki idealisme dan konsisten menjalankan tugas sebagai pengayom masyarakat barangkali akan dihindari.
DPR, baik sebagai lembaga maupun perseorangan, juga punya kepentingan dengan Kapolri terpilih. Karena itulah, pada acara feet and proper test nanti DPR dipastikan akan memunculkan sejumlah kriteria. Anggota DPR ingin Kapolri terpilih bisa diajak bernegosiasi mengamkan kursi mereka sebagai wakil rakyat. Kandidat Kapolri yang selama ini kritis mengungkap pelanggaran anggota legislatif agaknya akan kesulitan memperoleh restu ‘gedung nusantara’.
Hal seperti itu sempat terjadi dalam proses uji kelayakan gubernur Bank Indonesia beberapa hari lalu ketika. Darmin Nasution dinyatakan lulus dengan catatan. Besar kemungkinan, ‘catatan’ yang dimaksud adalah pranata politik yang digunakan elit partai di DPR sebagai alat tawar terhadap Darmin. Politisi DPR menggunakannya sebagai jebakan tikus supaya mantan Dirjen Pajak tidak ‘macam-macam’ kepada mereka.
Besar kemungkinan akal-akal politik seperti itu terjadi saat calon Kapolri mengikuti uji kelayakan nanti. Jabatan Kapolri akan dipolitisasi sehingga mudah diintervensi. Polri yang memiliki kewenangan sangat besar berusaha dikendalikan untuk mengukuhkan kekuatan sekaligus melindung bagi mereka.
Tim Independen
Untuk menghindari hal tersebut, presiden sebaiknya tidak bekerja sendiri. Ia perlu membentuk tim independen yang terdiri dari berbgai kalangan untuk menetapkan kriteria sekaligus merekomendasikan nama calon Kapolri. Selain perwakilan dari Polri tim ini harus diisi oleh perwakilan LSM pemantau polisi, praktisi hukum, dan Kompolnas.
Mekansime ini patut dipertimbangkan untuk menghindari subjektifitas presiden yang berlebihan. Apalagi sebagaimana selama ini terjadi, SBY kerap kesulitan menolak bisikan dari kolega-koleganya.
Memang, nama seperti Nanan Sukarna, Oegroseno, maupun Ito Sumardi belum memiliki catatan hitam. Namun mereka adalah ‘orang lama’ yang telah terbiasa dengan cara kerja Polri selama ini. Supaya reformasi Polri yang saat ini mandek bisa berjalan lebih progresif ada baiknya tim independen merekomendaskan nama dari luar kepolisian. Asal, sosok yang direkomendasikan tidak memiliki kaitan dengan salah satu kekuatan politik sehingga dapat dipastikan bukan orang titipan.
Surahmat
Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia Unnes
Dari Halaman Opini Koran Sore Wawasan, 27 Juli 2010
No comments:
Post a Comment