Ketika memperkenalkan elpiji sebagai pengganti minyak tanah konon pemerintah memiliki itikad untuk menghemat uang negara. Sebab, saat itu terdapat renggang yang sangat jauh antara harga keekonomian minyak tanah dengan gas. Logikanya, jika masyarakat beralih menggunakan gas, pemerintah bisa mengamankan dana subsidi bahan bakar minyak dan menggunakannya untuk alokasi pembangunan lain.
Sepintas, ikhtiar ini bisa dinilai efektif. Sebab, jika subsidi BBM bisa dikurangi akan lebih banyak program pembangunan yang bisa dijalankan. Namun jika kita cermati, terdapat berbagai kontradiksi yang dengan sendirinya menganulir niat baik pemerintah itu. Itikad untuk menghemat uang negara tidak tercapai karena pada saat yang sama pemerintah dan DPR terus menerus melakukan pemborosan.
Usulan dana percepatan pembangunan daerah yang diusulkan Fraksi Golkar misalnya, adalah salah satu bentuk pemborosan sebab bisa menyebabkan tumpang tindih dengan pembangunan yang diagendakan pemerintah. Perencanaan yang tidak matang bahkan bisa menyebabkan proyek pembangunan terhenti di tengah jalan sehingga dana yang disalurkan sia-sia.
Potensi keborosan serupa rentan terjadi jika usulan rumah aspirasi direalisasikan. Berdasarkan hitungan Panja Rumah Aspirasi DPR, setiap anggota akan menerima uang Rp 374 juta pada APBN 2011. Artinya, lebih dari Rp 209 miliar uang negara yang akan disedot anggota dewan yang terhormat itu sekadar memanjakan kerjanya. Padahal, jika anggota dewan bersungguh-sungguh menyerap aspirasi konstituen, ia bisa menggunakan sebagian gaji dan tunjangan yang mereka terima. Buktinya, jauh hari sebelum wacana dana aspirasi digulirkan, di Purwokerto Budiman Sudjatmiko sudah memiliki rumah aspirasi yang dikelola secara mandiri.
Tidak hanya lembaga legislatif, pemborosan uang negara ternyata juga dilakukan oleh pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah. Presiden misalnya, sejak 2005 hingga 2009 sudah menghabiskan Rp 813 miliar untuk membiayai kunjungannya ke luar negeri. Jumlah itu sama dengan Rp. 162 milar per tahun atau Rp. 13,5 miliar per bulan.
Pemborosan massal menunjukkan telah terjadi kekeliruan pengelolaan uang subsidi yang sangat mendasar oleh DPR dan elit pemerintahan. Mereka barangkali merasa wewenang membelanjakan uang negara karena merasa berjasa menghemat dan subsidi. Padahal mestinya dana efesiensi itu dialokasikan pada pos lain yang lebih urgen, seperti jeminan kesehatan dan subsidi pendidikan masyarakat miskin.
Tanpa Kompensasi
Konversi minyak tanah ke gas, jika memang dilakukan untuk menghemat anggaran negara, mestinya berefek positif pada program kerakyatan. Dana yang ‘diamankan’ mestinya bisa dialihkan pada program lain. Namun nyatanya, rakyat tidak mendapat kompensasi apa pun. Justru setahun sejak konversi digulirkan kenaikan harga sejumlah kebutuhan pokok seperti sembako dan tarif dasar listrik (TDL) terjadi.
Kenyataan tersebut memantik pertanyaan nakal; sebenarnya untuk apa dana subsidi dihemat? Penghematan dana subsidi yang tidak sejalan dengan akselerasi pembangunan justru menimbulkan syak wasangka akan memicu tindak pidana korupsi. Pasalnya, daya serap sejumlah kementerian dinilai rendah.
ICW melaporkan, korupsi pada semester I tahun 2010 meningkat dua kali lipat dari periode yang sama tahun 2009. Sektor yang paling rentan, masih berdasarkan laporan ICW, adalah pemerintah daerah. Bukan tidak mungkin fenomena ini memiliki korelasi dengan buruknya pengelolaan dana subsidi. Pemerintah daerah terjebak pada tindakan korup karena tidak mampu mengelola curahan dana subsidi dari pemerintah yang biasanya diberikan dalam paket Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK).
Mental Proyek
Saya mengidentifikasi nalar wakil rakyat dan pejabat pemerintahan telah disesatkan oleh mental proyek. Mereka menganggap uang negara adalah harta karun yang bisa diperoleh dengan prinsip siapa cepat ia dapat. Karena itulah mereka merancang mekanisme yang dapat mengalirkan uang negara ke rekening pribadi mereka.
Kondisi demikian barangkali akibat logis dari sistem politik yang serba pragmatis. Masyarakat menjadi korban sistem politik yang telah mengubah demokrasi menjadi transaksi. Dulu, pada masa kampanye, kita melihat calon anggota legislatif jor-joran membelanjakan uangnya. Maka sekarang, ketika mereka memiliki kekuasaan, ‘wajar’ jika mereka bersikeras mendapatkan modalnya kembali. Dasar nasib!
Surahmat
Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia Unnes
Saturday, 4 September 2010
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment