Frasa “kedua tangannya putus” yang digunakan dalam beberapa pemberitaan mengenai kerusuhan di Jalan Ampera Jakarta Selatan mestinya sudah cukup membuat bulu kuduk berdiri. Kengerian yang disajikan, apalagi jika diakibatkan oleh tebasan senjata tajam yang disengaja, sudah mencapai batas toleransi kengerian manusia. Tetapi mengapa belakangan kata-kata semacam itu tidak menghadirkan sensasi kekejian apa pun? Bahkan media massa menggunakannya dengan begitu gamblang seolah tidak ada pilihan eufimisme?
Peristiwa saling melukai tampaknya telah menjadi bagian dari peradaban bangsa ini. Peperangan menjadi ekspresi yang dianggap masih laku untuk menunjukkan kedigdayaan kelompok. Maka, hukum perang “yang paling bengis adalah pemenang” berlaku, sekalipun masyarakat ini hidup di negara hukum. Ketika tangga sosial tidak mampu mengakomodasi sebuah kelompok melakukan mobilisasi, kekerasan menjadi pilihan.
Hipotesis Aristoteles bahwa manusia adalah binatang yang berpolitik tampaknya tidak keliru. Ia tidak hendak mengatakan bahwa anatomi tubuh manusia mirip dengan binatang, namun berusaha menyadarkan bahwa manusia menyimpan potensi kebengisan. Sejarah mencatat manusia adalah makhluk paling bengis melebihi makhluk apa pun. Hasrat meletup-letup disertai kecerdasan yang secara alamiah telah dimiliki berpadu dalam perilaku kebinatangan. Kebengisan manusia bahkan berlipatganda karena diorganisasi melalui pengetahuan, pengalaman, dan imajinasi yang tidak terbatas.
Orang sudah kepalang tahu, entah melalui lingkungan atau buku, golok mampu merobek jaringan tubuh manusia. Orang juga sudah tahu bahwa seseorang dipastikan akan mati jika kehilangan darah terlalu banyak. Namun tidak semua orang mampu mengorganisasi cara supaya tindakannya merobek jaringan tubuh musuh dengan golok adalah salah satu cara mengangkat pamor diri dan kelompok. Orang-orang yang tahu, jelas karena diberitahu; oleh lingkungan, tontonan, maupun doktrin komunitas.
Kebengisan manusia tidak akan pernah terekspresi kecuali jika ada dorongan dan kesempatan. Sugesti muncul lewat doktrin dan penguatan, sedangkan kesempatan muncul karena sistem sosial yang ada tidak mampu menjadi pengawas. Negara abai pada perilaku agresif yang ditunjukkan warganya karena merasa sudah cukup melaksanakan tugas dengan hanya menjadi penghukum. Akibatnya, indikasi-indikasi kebengisan tidak dapat diredam.
Ada dua alasan, yakni psikologi dan sosial, yang membuncahkan kebengisan manusia menjadi perilaku agresif yang sulit dibayangkan. Pada tingkat internal, manusia yang mengalami kemampatan berpikir cenderung menempuh jalan kekerasan untuk mendudukkan eksistensi dirinya. Orang-orang semacam ini mengamini fatwa bahwa kekerasan hanyalah cara, yang ketika tidak ada jalan lain, sah digunakan. Inilah pilihan mengenaskan karena seseorang tidak lagi memiliki pilihan akibat ruang sosial yang kejam dan tidak memberi penghargaan pada nilai toleransi.
Kondisi psikologis semacam itu kerap masih dikuatkan oleh penyakit sosial yang tidak kunjung tersembuhkan. Frustasi sosial akibat beban hidup yang semakin berat menjadi semacam legitimiasi seseorang melakukan tindak kekerasan. Toh kekerasan telanjur menjadi bahasa komunikasi yang dapat dilihat saban hari pada tayangan berita kriminal, juga diimajinasikan melalui film dan sinetron. Bahkan di media itu, kekerasan kerap dibungkus sebagai solusi.
Di tengah kondisi serba sulit akibat tekanan sosial-ekonomi seperti saat ini, keadaban memang menjadi barang murah. Kesantunan hidup tidak laku dijual. Apalagi nalar hukum kita sudah tidak mampu mengakomodasi keadilan. Sistem pemerintahan yang korup, hukum negara yang tidak berwibawa, juga ketidakadilan sosial yang menganga telah mendorong manusia berbuat brutal untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Bagi pribadi yang frustasi kekerasan menjadi solusi.
Pilihan hidup seperti ini sesungguhnya jauh dari watak personal dan sosial manusia, hanya saja keadaan yang memaksa. Setap orang lebih suka memperoleh rizki yang halal, jika kesempatan terbuka. Setiap orang lebih suka hidup berdampingan daripada harus saling serang. Bahkan kecuali psikopat dan orang gila, tidak ada manusia yang menghendaki melihat darah sesama manusia bercucuran karena ulahnya. Krisis sosial, pemujaan terhadap harta, serta terkikisnya ruang toleransi yang membuat jalan kekerasan hingga kini masih ditempuh.
Di tengah masyarakat yang “sakit” tindakan waras justru bisa dianggap kelainan. Ketika masyarakat terbiasa menyelesaikan masalah melalui kekerasan, dialog dianggap cara cengeng yang tidak bermartabat. Ya, di tengah komunitas yang telanjur memilih kebengisan sebagai ikhtiar menyelesaikan persoalan, jalan damai tidak memperoleh legitimasi. Orang kemudian lebih percaya pengadilan jalanan sebagai jalan memperoleh keadilan daripada pengadilan. Orang kemudian lebih percaya preman daripada polisi.
Meski demikian, potensi manusia untuk hidup saling mencintai sesungguhnya tetap ada. Ketika manusia sadar bahwa jalan kekerasan hanya menciptakan keresahan baru, kita akan berpaling mencari jati diri manusia yang penuh cinta. Pada saatnya orang akan menemukan bahwa tegur sapa jauh lebih membahagiakan dari syak wasangka, dan kehidupan yang harmoni akan diperoleh melalui toleransi. Masalahnya, kapan? Sebab rasanya sudah terlalu banyak korban kebengisan (kita).
Surahmat
Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia Unnes
Pegiat Komunitas Nawaksra Banjarnegara
Monday, 22 November 2010
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment