Sejumlah pengungsi di beberapa pos pengungsian memaksa pulang. Bahkan 35 dari 57 pengungsi di Ngaglik, Sleman kabur membawa barang yang disewa pemerintah desa (Joglosemar, 15/11). Fenoman tersebut dapat terjadi karena dua hal. Pertama, kondisi telah membaik sehingga pengungsi berani pulang, atau kedua, pengungsi merasakan ketidaknyamanan akut sehingga memaksa pulang. Kondisi psikologis ini tentu dapat dimaklumi, sebab pos pengungsi yang selama ini digunakan, seperti gedung olahraga, pendopo, maupun sekolah memang jauh dari layak.
Jangankan area pribadi, kebutuhan pokok semacam makanan, pakaian, bahkan rasa aman sekalipun belum tentu terpenuhi secara layak. Selain bisa membuat kesehatan memburuk, tekanan psikologis akibat suasana tidak nyaman sangat rentan membuat pengungsi stress dan trauma.
Karena itulah perlu digagas penanganan pengungsi yang lebih humanis. Menyelematkan nyawa mereka memang prioritas, namun menjaga mereka agar tetap nyaman juga agenda yang tidak boleh ditinggalkan. Betapapun darurat kondisnya, pengungsi adalah manusia yang harus ditangani dengan sentuhan yang ngewongke.
Sepekan setelah erupsi pertama besar pertama, pengunsgi masih terpusat di posko-posko darurat. Sebagian ditampung di pendopo kabupaten, gedung olaharga, dan sekolah. Kondisi mereka jelas tidak dalam kondisi baik. Selain lelah fisik, pikiran mereka juga tidak dalam kondisi prima. Perlu diciptakan kondisi yang menyenangkan agar pengungsian tidak menjadi “neraka”.
Ada dua pola yang penulis yakini efektif agar pengungsi dapat diperlakukan dengan lebih mansiawi. Pertama, sistem tetangga asuh, yakni dengan menitipkan satu keluarga pengungsi kepada keluarga di daerah yang aman. Kedua, jika pola pertama tidak memungkinkan sementara erupsi terus terjadi, privatisasi gedung-gedung publik, yakni dengan menyekat gedung publik layaknya kontrakan.
Penderitaan akibat bencana letusan Merapi telah menjadi duka nasional. Karena itu, rasanya tidaklah keberatan jika sebuah keluarga menampung satu keluarga pengungsi. Jika dalam satu rumah umumnya terdapat dua hingga tiga kamar, tuan rumah tidak akan keberatan menyediakan satu kamarnya. Bahkan bisa jadi, pemiliki rumah akan dengan senang hati menyokong konsumsi keluarga pengungsi dalam beberapa hari.
Meski di Sleman, Boyolali, dan Magelang suasana sama tidak kondusifnya, pola “tetangga asuh” ini bisa membantu pengungsi. Sebab, baik pemerintah maupun badan penanggulangan bencana belum bisa memastikan kapan situasi tersebut akan berakhir. Jika terus menerus ditampung dalam pos pengungsian, pengungsi dikhawatirkan mengalami tekanan mental yang dahzat.
Pola ini memang memerlukan banyak waktu. Pertama, petugas harus melakukan pendataan secara rinci jumlah keluarga pengungsi. Data tersebut bisa bertambah dari ke hari jika kondisi Merapi semakin buruk. Meski demikian, jumlah petugas dari TNP, Polri, dan relawan yang juga terus bertambah akan memungkinkan kerja pendataan berlangsung lebih cepat.
Langkah kedua, petugas harus mendata warga yang bersedia menampung pengungsi. Sosialisasi pola ini dapat segera dilakukan supaya masyarakat proaktif menawarkan bantuan dengan cara menjemput satu keluarga di posko-posko pengungsian. Selain itu, petugas bisa lebih proaktif dengan mendata rumah warga yang dipastikan dalam kondisi aman supaya dijadikan tempat penampungan.
Meski daerah aman terus diperluas, wilayah yang bisa dijadikan tempat pengungsian sebenarnya masih cukup besar. Di Sleman dan Boyolali misalnya, ada beberapa kecamatan yang masih aman sehingga bisa dijadikan daerah pengungsian. Meski demikian, pengungsian dengan memanfaatkan rumah penduduk bisa memanfaatkan rumah warga di luar daerah. Warga Sleman misalnya bisa dimobilisasi ke kabupaten lain di Yogyakarta, Warga Boyolali ke Sukahorarjo, sedangkan warga Magelang ke Purworejo.
Bencana alam, apapun bentuknya, adalah cobaan hidup. Bencana membawa sejumlah guncangan yang bisa memporakporandakan kehidupan seseorang atau bahkan masyarakat. Namun, kita bisa amati bahwa bencana juga telah menghapus sekat-sekat sosial. Kepedulian yang terpantik oleh bencana mampu menembus hierarki sosial yang dalam kehidupan normal tampak begitu kuat. Buktinya, bantuan dalam berbagai rupa terus mengalir melalui sejumlah kegiatan penggalangan.
Tidak hanya kerekatan sosial yang terasah akibat bencana. Pada kasus Merapi masyarakat juga diajak berpikir bijak dengan mengakrabi gejala alam. Tesis anthoposentrisme, bahwa manusia adalah pusat kehidupan jagat raya tebukti keliru. Manusa bukan pemain tunggal dalam sistem kehidupan di muka bumi. Alam bukan tambang yang bisa dieksploitasi habis-habisan untuk kepentingan (kepuasan?) manusia. Alam adalah mitra.
Dalam situasi seperti saat ini, memang tidak bijak mengatakan manusia sebagai penyebab munculnya berbagai becana. Apalagi, letusan gunung adalah fenomena vulkanis yang terjadi, barangkali jauh hari sebelum peradaban manusia dimulai. Karena itulah, tenaga kita sudah semestinya terfokus untuk membantu pengungsi. Mereka adalah saudara, rekan, dan keluarga yang tak layak ditinggalkan ketika menderita.
Surahmat
Pegiat Komunitas Nawaksara Banjarnegara
Monday, 22 November 2010
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment