Monday 31 January 2011

KECONGKAKAN "SHALEH" S SUHARIANTO

Waktu telah menjadi pembeda yang ampuh antara akan dan telah. Waktu menjadi pembatas yang jelas antara mulai dan usai. Karena itu, waktu terasa berharga. Waktu tidak menjadi ketidakterhinggaan yang absurd dan mubadzir.

Dosen kita, S. Suharianto yang juga mendedikasikan sebagian besar hidupnya sebagai kritikus sastra Indonesia, telah berhasil mengeja waktu dalam definisi mulai dan usai. Setidaknya ada dua catatan. Episode pertama, ia mulai mengajar dan purna tugas. Episode kedua, ia lahir kemudian meninggal. Ya, Rabu 15 Desember lalu ia berpulang.

Bagi saya, S. Suharianto telah membuat batas yang jelas antara mulai dan usai. Pertama, ketika bicara dengan gaya yang menggebu-gebu dalam seminar revolusi pembelajaran sastra pada hari purna tugasnya beberapa bulan lalu. Ia berceramah di Unnes, tempatnya mengajar sebelum puluhan tahun lalu ia belajar. Kedua, ketika berpulang, ia meninggalkan duka mendalam bagi kita.

Membaca S. Suharianto, baik dalam laku maupun teks yang dihasilkannya, adalah membaca kesendirian. Ia bergerliya menembus alam pikiran yang sunyi. Konsisten memutar haluan dalam kesesatan labirin kritik sastra. Dan syukurlah, agaknya ia menemukan jalan keluar dari labirin itu.

Gao Xingjien, peraih nobel sastra, mengatakan bahwa berbicara dengan diri sendiri adalah awal mula bersastra. Agaknya memang jalan ‘berbicara dengan diri sendiri’ itulah yang ditempuh S. Suharianto dalam bersasastra. Ia berkata tiada kawan. Ia menantang tiada lawan. Dan, ia memilih untuk tidak memilih keduanya.

Pilihan S. Suharianto menyusuri titian kritik sastra tak pernah lepas dari jalur pendidikan. Hal itu tidak lepas dari kenyataan bahwa ia seorang guru, dalam arti ia mengajari pembaca teksnya, juga dalam arti ia mengajari mahasiswanya. Maka akibatnya, kritik sastra yang dibangunnya, mau tidak mau, dikonstruksi dari teori yang khas dari seorang akademisi. Ia berceramah dalam bahasa yang telah dimamah.

Teori dan Apresiasi Puisi
Ceramahnya yang paling dikenal, meski tak lantas melahirkan Yes We Can! ala Obama, tentu aja melalui buku berjudul Teori dan Apresiasi Puisi. Di sinilah ia menuangkan kegigihan dan apresiasinya terhadap sastra. Ia menguatkan citra sebagai ahli teori, akademisi!

Korie Layun Rampan (Kesusasteraan Tanpa Kehadiran Sastra, 1984) menyebutkan buku Teori dan Apresiasi Puisi sebagai telaah global terhadap sebuah seni bernama puisi. Sebab puisi adalah puisi, yang sejak awal hingga akhir penciptaannya tetap disebut pusi, maka telaah diakronis semacam itu patut kita percaya. Namun kenyataan bahwa puisi adalah sajak, yang pada tempo lainnya disebut gurindam, soneta, pantun, bahkan mantra pandangan S. Suharianto adalah pandangan yang terlampau umum. Ia berbicara tentang organ sastra ketika zaman telah akrab dengan sel, kromosom, bahkan DNA.

Meski demikian, patutlah buku ini disejajarkan dengan Masyarakat dan Sastra Indonesia karya Jakob Sumardjo dan Apresiasi Prosa dan Puisi gubahan Putu Arya Tirtawirya.

Pada bagian pertama buku ini S. Suharianto menyuguhkan tujuh tema pokok, mulai dari Pemakaian Simbol dalam Puisi hingga Puisi yang Indah dan Menyenangkan. Sebagaimana penjelasan yang bersifat teoritik ketujuh bagian ini bermaksud menjelaskan segala sesuatu hingga terang benderang. Tidak hanya membuka lapisan berduri pada nangka, tapi juga memecah putih isi bijinya.

Bagian kedua bukunya mulai menyatakan keberhasilannya mengapreasiai karya sastra secara terbuka. Ada tujuh bagian pula dalam bagian kedua, meliputi Sekali-kali Perlu juga Kita Membaca Puisi, Menanti bersama Yus Rusyana, Mata Bejo Purwodikarta yang Memesona, Kaulihat Saya, Menyaksikan Ikan-ikan dalam Akuarium Miliki Ajip Rosidi, Dari Kebun binatang sampai Surga Bersama Sapardi joko Damono, dan Sejenak Merenungkan Hidup ini Lewat Puisi.

Selain buku Teori dan Apresiasi Puisi, S. Suharianto sebenarnya melahirkan buku lain berjudul Kompas Bahasa, Angkatan 66 ; Pengarag dan Karyanya, Berkenlan dengan Karya Seni, juga Seni Membaca Puisi. Namun buku-buku itu (tampaknya) kalah populer dengan Teori dan Apresiasi Puisi.

Mengenai fenomena itu barangkali S. Suharianto sadar, bahwa kritik yang dibangunnya adalah kritik akademis. Maka pandangan akademisi / guru / dosen / pengajar lebih banyak muncul dari teksnya daripada pandangan seorang penikmat sastra. Itulah yang membuat kritiknya terhadap puisi Indonesia selalu meninggalkan lubang intertekstual.

Guru yang Menggurui
Bahkan karena citranya sebagai pengajar sudah terlampau lekat, S Suharianto tampaknya bangga memposisikan diri sebagai guru yang menggurui. Ia guru dalam arti profan sekaligus filosofis. Ia mengajar sastra dan mendidik (perihal sastra) kepada murid-muridnya.

Sebagai guru yang menggurui S. Suahranto membayarnya dengan setimpal. Ia membuktikan diri dengan menjadi tempat yang tepat untuk bertanya. Maka tidak heran, sebuah dukungan moral terutara melalui ucapnya yang pedagogik. Ia berani mengatakan mahasiswanya goblog karena ia nyata-nyata lebih cerdas. Ia lantang mengatakan mahasiswanya ‘tidak tahu apa-apa’ karena ia tahu banyak hal. Bahkan ia berani membentak mahasiswanya ‘untuk pulang kampung dan jualan Dawet Ayu’ karena nalar kitikusnya tak pernah membawanya pulang ke Purworejo, tempat kelahirannya 25 Agustus 1944 lalu.

Kecongkakan S. Suharianto dalam mengajarkan sastra kepada mahasiswanya adalah kecongkakan yang shaleh. Sejatinya, dengan mendongak ia sedang membenamkan kepala sedalam-dalamnya. Dalam kecongkakakannya ia menunjukkan diri sebagai pribadi yang amat rendah hati. Bahkan dalam ucap pesimistisnya ia, sejatinya, tengah menggelorakan optimisme.

Metode ‘mendongak ke bawah’ tentu saja berbeda dengan pengajar (yang tentu saja belum tentu pendidik) lain. Sebab S. Suharianto memiliki kecongkakan yang shaleh, tampaknya kecongkakan itu akan menjadi ibadah. Bagi orang sepertinya, tidak ada bedanya antara kedua hal itu jika mampu memaknainya secara benar. Toh desing-desing peluru tak ada bedanya dengan ketukan gamelan, kecuali pada volume, ritme, dan nada.

S. Suharianto pernah berujar, puisi ataupun sastra selalu bersifat konotatif, mempunyai kemungkinan poly interpretable, dan menunjung tinggi keragaman tafsir. Ia memiliki kemampuan menimbulkan aneka rupa perasaan; haru, sedih, marah, benci, belas, hingga romantis. Dalam arti itulah saya menerjemahkan laku S. Suharianto, baik dalam laku mengajar, laku bersastra, laku mengkritik, laku menjadi hamba, juga laku hidupnya, sebagai puisi yang estetis yang patut diberi judul ‘pilihan untuk tidak memilih’.

S. Suharianto, dosen Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia yang suka mengumpat itu telah berpulang. Ia membiarkan dirinya “dihina” oleh tradisi akademis yang banal karena memilih tetap menjadi doktorandus bahkan saat mantan mahasiswanya telah menjadi guru besar. Ia membiarkan dirinya dilecehkan. Ia membiarkan dirinya dipinggirkan. Tapi, melalui buku-buku yang dituulisnya, ia tidak membiarkan dirinya dilupakan. Selamat jalan Pak Har, Mbah Har, Eyang Har. Semoga Khusnul Khotimah.

Surahmat
Penulis, mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia Unnes

No comments:

Post a Comment