Friday 28 January 2011

MENCARI BUPATI PEDULI PETANI

Pilkada Banjarnegara pertengahan 2011 mendatang akan menjadi pertarungan pejabat, politikus, dan pengusaha. Padahal, mayoritas calon pemilih yang ditaksir KPUD akan mencapai 750 ribu pemilih adalah petani. Tantangan bagi nama-nama seperti Budhi Sarwono, Syamsudin, Soehardjo, Waluyo, dan Sudewi M yang sejauh ini telah mengemuka untuk merumuskan visi yang nyengkuyung kepentingan petani.

Publik sudah tahu bawha Banjarnegara mendeklarasikan diri sebagai daerah pertanian. Oleh bupati saat ini Djasri, kegiatan pertanian menjadi prioritas pembangunan dengan dijadikan rencana strategis utama. Sayangnya, hingga kini kesejahteraan petani di kota dawet ayu ini masih memprikhatinkan. Mereka bahkan masih menghadapi masalah mendasar seputar infrastruktur, keterjangkauan pupuk, pemasaran, dan ketersediaan teknologi pertanian.

Karena itulah, warga Banjarnegara sebenarnya perlu bupati yang memahami persoalan petani. Tidak hanya mampu menunjukkan kehendak untuk membela petani tetapi juga mampu memahami kebijakan pertanian. Potensi pertanian Banjarnegara, seperti lahan yang luas dan subur, suhu, serta ketersediaan sumber daya manusia terlalu sayang jika dibiarkan. Pertanian bisa menjadi generator yang menggerakan kegiatan ekonomi di sektor lain. Sektor perdagangan akan bergairah jika produksi produk pertanian meningkat, demikian pula industri pengolahan.

Nama bakal calon bupati yang telah muncul memang tidak ada yang memiliki latar belakang ilmu pertanian. Budhi Sarwono dikenal publik sebagai pengusaha bidang konstruksi. Syamsudin adalah penjabat Sekretaris Daerah, Soehardjo penjabat wakil bupati, Waluyo mantan kepala dinas pendidikan, sedangkan Sudewi M aktivis di beberapa organisasi perempuan. Latar belakang karir mereka patut menjadi pertimbangan untuk menilai kemampuan mengatasi persoalan tani.

Dua Masalah
Jika diurai, ada dua persoalan pertanian mendasar yang wajib mendapat perhatian. Pertama, dukungan infrastruktur baik fisik maupun nonfisik. Jalan sebagai syarat lancarnya distribusi barang masih banyak yang rusak. Luas dan kontur tanah yang berbukti-bukit belum diimbangi dengan dana pembangunan yang memadai. Akibatnya, jalan penghubung antardesa banyak yang rusak dan belum diperbaiki. Bahkan, cerita sumir tentang warga yang menanam pohon pisang di jalan karena kesal jalannya tidak diperbaiki masih sering terdengar.

Infrastruktur fisik juga harus ditunjang oleh birokrasi yang “ramah” petani. Kelompok petani yang tersebar di berbagai wilayah belum diberdayakan maksimal. Pendampingan oleh Petugas Penyuluh Lapangan (PPL) yang kurang membuat aktivitas kelompok tani hanya berdenyut jika menerima bantuan. Padahal, kelompok tani berpotensi menjadi pusat kegiatan yang lebih memberdayakan. Selain bisa menjadi focus discussion group (FGD) tentang pertanian kelompok tani bisa menjadi juru lobi untuk membangun kemitraan dengan kalangan industri dan pemerintah.

Masalah kedua, alokasi APBD untuk sektor pertanian masih sangat kecil. Dari realisasi belanja APBD pada tahun 2009 sebesar Rp. 735 miliar, 90 persen di antaranya digunakan untuk belanja operasional. Dalam catatan DPKAD Kabupaten Banjarnegara, belanja pegawai menyedot anggaran terbesar yakni Rp.449,176,956,799 atau 68,36% dari keseluruhan realisasi belanja. Belanja barang sebesar Rp.84,278,577,572 atau 12.83%, belanja Hibah sebesar Rp.42,738,640,000 atau 6.50%. Belanja Bantuan Sosial sebesar Rp.14,280,921,715 atau 2.17% dan belanja bantuan keuangan sebesar Rp. 66,645,144,502 atau 10.14%.

Memang belum dipetakan secara pasti berapa jumlah ideal yang mestinya digelontorkan Pemkab Banjarnegara untuk sektor pertanian. Namun kenyataan bahwa banyak petani yang belum diberdayakan optimal menuntut perhatian lebih. Anggaran diperlukan petani untuk mengembangkan produk pertanian supaya memiliki nilai ekonomis tinggi.

Teknologi pengolahan misalnya, dipastikan akan sangat membantu. Banyak komoditas tani dari Banjarnegara yang dikirim ke luar kota dalam bentuk mentah sehingga harganya rendah. Kayu sengon glondongan masih ada yang dikirim ke Wonosobo, kentang Dieng ke Jakarta, salak ke kota-kota di sekitar, bahkan pisang hampir setiap hari dikirim ke Magelang dalam bentuk tendenan.

Dua Syarat

Maka, siapapun figur yang akan mencalonkan diri menjadi bupati harus memenuhi dua syarat, yakni mau dan mampu. Selain menunjukkan komitmen, bupati juga harus memahami persoalan pertanian. Besarnya cakupan masalah tidak cukup diatasi dengan mengandalkan birokrasi yang tambun dan cenderung tidak lincah, tetapi perlu sikap tegas pemimpin.

Karena itulah, langkah kerja paling realistis yang harus dilakukan bupati adalah memotong disparitas alokasi anggaran pembangunan untuk wilayah desa dan kota. Proyek-proyek gigantis seperti pembangunan pasar, stadion, atau terminal jangan sampai menghambat laju pembangunan desa. Selain karena mayoritas warga Banjarnegara bermukim di desa, di desalah pulalah potensi pertanian menumpuk.

Surahmat
Petani di Petuguran, Banjarnegara, Pegiat Komunitas Nawaksara Banjarnegara

2 comments:

  1. saya sependapat dengan mas rahmat,untuk pembangunan banjarnegara masih sangat mengecewakan baik itu,infrastruktur,pertanian,pendidikan,pariwisata,contoh aja di desa berta kecamatan susukan,ada satu 1 kadus yang belum tersentuh aspal 1 cm pun,untuk kebalai desa aja sekitar 20 km,padahal daerah itu pengasil gula merah,cengkeh dan hasil kebun lainnya,jalan yang dilalui pun sangat sulit,itu salang satu contoh ja,mudah mudahan ada bupati yang dapat membawa banjarnegara gilar gilar sesungguhnya bukan hanya slogan,mari kita tetap berharap dan terus berharap.

    ReplyDelete
  2. Terim kasih, Mas/Mba, ini informasi yang menarik. Tapi, menuruku, berharap akan ada bupati yang menyejahterakan masyarakat adalah mimpi di siang bolong. Mereka tidak akan ambil pusing urusi hal yang "remeh-temeh" itu. Karena itu, yang perlu kita bangun adalah jejaring kewargaan supaa warga memiliki daya tawar lebih kuat.

    ReplyDelete