Monday 31 January 2011

MENUNGGU GILIRAN MENJADI GAYUS TAMBUNAN

Kata “andai” dalam lantunan lagu Bona Papatungan memang hanya satir sarkastik. Kata itu lahir berkat kekecewaan seorang warga negara atas laku bejad aparat penegak hukumnya. Namun, “andai”- terutama jika kita kaitkan dengan makna lekiskalnya - juga representasi sebuah harapan. Gayus menjadi wujud ideal manusia yang diidamkan banyak orang. Benarkah?

Bayangkan, di tengah kondisi ekonomi serba sulit, ada seorang yang bisa menghamburkan uang 900 juta untuk membuat paspor. Terlebih, mantan pegawai Dirjen Pajak ini memanfaatkan paspornya untuk jalan-jalan ke Singapura, Kuala Lumpur, dan Makau; tiga tempat yang bagi sebagian besar anggota masyarakat hanya pernah di didengar dalam film dan tayangan dunia dalam berita. Maka tidak heran jika sosok Gayus diidamkan banyak orang.

Di Indonesia, kini setidaknya ada 30 juta warga miskin, dan 40 juta lainnya hampir miskin. Mereka masih menghadapi persoalan mendasar seputar makanan, pakaian, dan tempat tinggal. Dengan sistem ekonomi semi liberal, sangat sulit warga miskin melakukan mobilitas sosial. Kemiskinan akan menjadi persoalan, karena akses terhadap resourches lokal justru telah ditutup negara. Akhirnya, yang miskin akan teta miskin dan yang kaya semakin kaya.

Ada dua jalan yang bisa dilakukan orang miskin di Indonesia untuk meningkatkan taraf hidupnya. Pertama, membangun usaha dan berharap bisa membesarkannya. Jalan kedua, masuk dalam lingkaran birokrasi dan mengambil kesempatan untuk meraup uang negara.

Jalan pertama, yang relatif lebih halal, akan sangat sulit dilakukan tanpa modal memadai. Membangun bisnis besar akan menemui banyak kendala. Modal semkain sulit diakses sekalipun pemerintah menggulirkan program Kredit Usaha Rakyat (KUR). Bahkan, sekalipun modal bisa diperoleh, usaha kecil akan berhadapn dengan korporasi raksasa. Akibatnya, terjadi pertandingan tidak sehat yang kerap membuat usaha kecil keok bahkan saat baru memasang sarung tinju.

Contoh ini dapat kita perhatikan di kota-kota kecil. Toko kelontong, bentuk usaha paling populer bagi pengusaha pemula, harus berhadap dengan Indomaret dan Alfamaret yang dikelola pengusaha nasional. Terang saja toko kelontong kalah, karena tidak mampu menandingi inovasi dan resourches Indomaret. Di bidang perbengkelan, sebagai contoh lain, teknisi-teknisi muda yang berencana membangun bisnis mandiri harus berhadap dengand elaer yang tersebar hingga kecamatan. Jaringan bengkel resmi menyedot calon pelanggan mereka. Karena itu, tidak mengherenkan jika bengkel yang menjamur hanyalah tambal ban; bisnis yang mengandalkan “kesialan” orang sebagai sumber “keuntungan”. Hahahaha.

Mekanisme pasar memang tidak pernah berpihak kepada masyarkat kelas bawah. Sebab, pemerintah terlalu lapang memberi tempat kepada industri. Keran investasi dibuka lebar-lebar sebagai jalan praktis menyerap tenaga kerja. Akhirnya, tenaga terampil lokal akhirnya diarahkan menjadi pekerja rendah di sektor industri sebagai buruh. Di kota-kota “emperan” Jakarta seperti Tangeran, Depok, dan Bekasi, tenaga lokal lebih banyak yang terserap menjadi buruh. Bandung dan Jogjakarta lebih beruntung karena perlahan bisa bangkit melalui industri kreatif.

Kondisi semacam inilah yang membuat impian anak muda Indonesia menjadi pengusaha besar berakhir menjadi impian “sinetronis”. Akhirnya, anak muda Indonesia mencari jalan aman dengan menjadi pegawai atau Pegawai Negeri Sipil. Padahal komintas dan sekolah bisnis sudah banyak berdiri di berbagai kota. Ciputra University misalnya, atau Young Rich Comunity di Semarang contoh lainnya.

Buruknya iklim usaha akibat regulasi yang memihak modal membuat posisi aman sebagai pegawai negeri sipil banyak diidamkan. Jaminan gaji, kenaikan pangkat secara berkala, juga pristise adalah pelarian yang nyaman. terlebih, posisi itu juga memberi kesempatan berimprovisasi bermain nakal. Jalan inilah yang menjadi pilihan jutaan orang menjadi sarana mobilitas sosialnya.

Mengapa Gayus justru menempati posisi istimewa dalam kelas sosial kita? Bahkan sekilpun pasca vonis ia layak kita sebuat sebagai garong? Pertama, publik tampaknya sudah mafhum, Gayus bukan orang jahat. Ia orang yang terjahatkan. Birokrasi memberinya banyak kesempatan bermain curang sekalipun ia telah berkecekupuan. Ia kesulitan mengendalikan potensi keserakahan, sesuatu yang sebenarnya dimiliki setiap manusia, ketiak bergaul dengan kalangan birokrat yang sama korupnya.

Dengan uang yang dimilikinya, Gayus bisa mengelabuhi (aparat penegak) hukum. Ia coba menghindari hukuman negara. Untuk ukuran garong kelas kakap, ia bahkan hanya dihukum 7 tahun penjara. Ia juga coba menghindari hukuman sosial dengan membangun persepsi baru tentang korupsi. Ia mencitrakana dirinya sebagai korban sistem sehingga tidak malu menampilkan wajah inoccent. Selepas menjalani masa hukukan ia akan kembali membaur dengan masyarakat sebagai orang terpandang. Bahkan, bisa jadi ia akan memanfaatkan relasi-relasinya untuk membangun bisnis sehingga akan tetap berkecukupan sekalipun secara resmi telah dipecat dari Dirjen Pajak.

Kondisi serba uenak itulah yang membuat Gayus sebenarnya tetap diuntungkan. Sekalipun kini ia ditempatkan sebagai penjahat, kalkulasi matematis dan sosiologis tetap memberinga keuntungan. Terlebih jika kekhawatiran banyak orang bahwa ia masih menyimpan miliaran uang terbukti. Setelah melakoni masa hukuman, Gayus akan menjadi juragan. Tidak heran jika banyak mengidamkan dirinya menjadi Gayus. Ya, “andai” aku Gayus Tambunan...

Surahmat
Pegiat Komunitas Nawaksara Banjarnegara

No comments:

Post a Comment