Saturday, 4 August 2012

Menyemai Jiwa-jiwa Merdeka

PENGUMUMAN hasil Ujian Nasional SMA Mei lalu kembali disambut dengan seremoni yang mewah; corat-coret seragam dan konvoi. Ini tradisi buruk yang tak hilang bahkan oleh aneka nasihat. Siswa tetap menjadikan hari kelulusan untuk berpesta, merayakan kemenangan, dan kemerdekaan. Pantas jika kemudian muncul pertanyaan, apakah selama ini mereka tak bebas, atau bahkan terpenjara?

Pengamatan penulis, setidak-tidaknya siswa terbelenggu 3 hal sekaligus. Pertama, mekanisme akademik, berupa jadwal ketat masuk pagi dan pulang sore. Kedua, aturan ketat, menggunakan seragam, sepatu hitam, kaos kaki putih, dan aturan lain. Ketiga, represi pikiran, antara lain keharusan bertindak santun, mengafirmasi instruksi guru, mengejar nilai minimal, dan menghindari hukuman.

Kondisi psikologis inilah yang membuat tradisi konvoi dan corat-coret pascaujian nasional (UN) langgeng. Kelulusan dimaknai sebagai hari pembebasan. Hari itu seluruh beban hilang, tekanan berkurang, dan aturan memberatkan tak perlu dipatuhi. Pasalnya, harus diakui, belakangan sekaolah mewujud menjadi institusi yang penuh aturan. Dengan pamrih disiplin aturan jadi hukum yang mengikat.

Relasi Mekanis
Aturan telah menjadi sistem yang dominan. Aturan menjadi rujukan elemen sekolah memainkan perannya. Sayangnya, aturan kerap merepresentasikan hasrat kuasa sekolah dan guru. Kalaupun tidak, aturan sekolah kerap terjebak pada ekspektasi menjadikan sekolah sebagai sekolah unggul. Aturan mengukuhkan aturan itu sendiri sehingga gagal mengarusutamakan siswa.

Kondisi ini telah disadari sejak periode Frieire dan Ilich. Secara ekstrim Ilich bahkan mengatakan sekolah sebagai penjara baru. Alih-alih membebaskan, di sanalah jiwa-jiwa bebas terkurung. Ekspresi unik humanis tersubordinasi aturan. Karena itu, penting bagi sekolah untuk merumuskan kebebasan siswa dan mengaturnya secara proporsional. Oleh Frieire cara ini popular disebut  sebagai manusia yang terbebaskan (liberated humanity). Pijakan filosofisnya adalah, setiap manusia memiliki otoritas atas dirinya.

Wacana pembebasan tak banyak diulas dalam teori pembelajaran di tanah air. Kelas, satuan pendidikan paling kecil, pun agaknya luput dari diskusi tersebut. Akibatnya, sejak sekolah rakyat pada prakemerdekaan hingga saat ini tak ada perubahan berarti. Pemandangan siswa duduk di bangku mendengarkan guru berceramah masih lumrah ditemukan.

Kondisi agak berbeda dapat ditemukan di sejumlah sekolah alternatif. Pengelola umumnya telah memberi definisi ulang terhadap kelas. Tidak lagi berpusat pada ruang, kelas adalah satuan gagasan. Pada “kelas gagasan” tersebut siswa tidak tersatukan oleh ruang, tapi minat. Proses belajar bisa berlangsung di mana pun dan siswa boleh mengusulkan materi yang akan dipelajarinya.

Kebebasan siswa pada “kelas gagasan” muncul karena inisiatif sekolah. Pada sekolah yang tidak memiliki beban pertangungjawaban adminsitratif berat kepada pemerintah, model kelas ini sangat mungkin dilakukan. Persoalannya, seberapa besar guru dan sekolah perlu memberi kebebasan kepada siswa? Apa dampak yang ditimbulkan jika siswa diberi kebebasan lebih?



Kebebasan Individual
Sistem kebudayaan Indonesia membagi kebebasan dalam beberapa jenis, antara lain kebebasan individual dan sosial. Jenis pertama menekankan hak-hak individu sebagai makhluk Tuhan dan anggota komunitas. Jenis kedua menekankan harmoni. Istilah kebebasan bertanggung jawab muncul dari negosiasi keduanya.

Selama ini sekolah punya konsep unik soal kebebasan siswa. Pada satu sisi sekolah hendak memberi ruang kebebasan yang luas supaya siswa berkreasi, di sisi lain sekolah tak rela jika aturannya dilanggar. Sekolah mendorong inovasi, menghargai gagasan-gagasan baru, namun teguh pada aturan yang mapan. Sekolah menghargai kritik namun risih pada ide liberal.

Sikap canggung sekolah mestinya disokong dengan dialog. Dialog adalah situasi pedagogis ketika guru dan siswa menyelami kondisi batin satu sama lain. Dialog dapat berupa tukar gagasan, negosiasi pelajaran, pemecahan masalah bersama, dengan menghindari justifikasi. Dialog diperlukan supaya guru tak terjebak asumsi dan siswa tak terbelit ketakutan terhadap hukuman.

Siswa bukan manusia kecil. Mereka memiliki kehendak, proses berpikir, dan pertimbangan sendiri. Pada sisi tersebut mereka berhak memutuskan sendiri. Di sisi lain, siswa adalah manusia berkembang, tidak mapan, bahkan kerap tak rasional. Pada situasi tersebut siswa perlu panduan bersikap berupa nasihat. Kedua kondisi inilah yang kerap membuat guru gamang.

Di sinilah penyadaran memegang peran strategis. Penyadaran adalah ikhtiar pedagogis untuk mengenalkan siswa pada situasi diri dan lingkungannya. Dengan begitu mereka bisa mengambil sikap paling tepat. Siswa berhak menuliskan sejarahnya sendiri, sebagai pribadi merdeka.

Surahmat, Pegiat Komunitas Nawaksara Banjarnegara

No comments:

Post a Comment