Wednesday, 19 December 2012

Merumuskan Ketleadanan di Sekolah

Euforia pendidikan karakter tak lantas membuat guru sergap, bahkan justru bingung. Kebingungan pertama muncul terkait karakter seperti apa yang hendak diinternalisasikan kepada siswa. Akhirnya, mau tak mau guru yang harus terjun menjadi teladan. Ia terjun menjadi model untuk mendemonstrasikan hal-hal yang baik dan patut ditiru siswanya.

Inilah gagasan utama Tri Marhaeni PA, guru besar Sosiologi Antropologi Unnes, melalui tulisan Ambiguitas Pendidikan Karakter (Suara Merdeka, 18/9). Tulisan ini menyiratkan optimism dan pesimisme sekaligus. Ekspresi pesimis terutara karena tantangan guru menginternalisasi karakter terpuji pada siswa semakin berat di tengah realitas sosial yang carut marut.

Keteladanan, sebagai strategi pembelajaran, telah dikenal sejak lama. Keteladanan mengasumsikan pembelajar sebagai agen yang mengamati dinamika sosial masyarakatnya. Pembelajar menemukan nilai dengan mengamati tingkah laku komunitas, memilahnya, dan mengadopsi nilai yang dianggapnya berarti.

Asumsi ini mensyaratkan tiga hal supaya keteladanan berimplikasi positif pada diri pembelajar. Pertama, pembelajar terlibat sebagai anggota masyarakat. Dia tidak hidup di dunia simulasi melainkan mengalami sendiri benturan-benturan nilai. Kedua, secara kualitatif, lingkungan belajar harus cukup memadai untuk ditiru. Lingkungan belajar yang buruk justru memperbesar potensi pembelajar menduplikasi keburukan.

Ketiga, sekolah harus ditempatkan sebagai entitas yang terintegrasi dengan masyarakat. Sekolah membantu anak melibatkan diri dalam problem sosial masyarakat, bukan justru mengasingkannya.

Penelitian yang penulis lakukan tentang strategi menginternalisasikan nilai antikorupsi pada siswa SMP mendapati sejumlah fakta mencengangkan. Pertama, guru mengakui tidak semua warga sekolah patut dijadikan teladan berperilaku. Kedua, guru mengakui kesulitan menginternalisasikan nilai antikorupsi karena siswa hidup di masyarakat yang “tidak bersih-bersih amat”.

Kondisi demikian membuat guru harus berpikir keras. Menampilkan diri sebagai teladan bukan solusi yang komprehensif. Pasalnya, di luar sekolah siswa pun mendapati aneka model berperilaku, dari yang baik hingga yang buruk. Mereka tidak hanya menduplikasi yang baik, tapi juga yang buruk.

Bisa jadi inilah jawaban mengapa siswa dapat menunjukan sikap terpuji di sekolah namun justru urakan di luar sekolah.  Perubahan perilaku di sekolah ternyata hanya  mimikri supaya siswa mendapat penghargaan guru. Mereka bersikap santun saat berbicara dengan guru namun sembrono saat bicara dengan orang lain.

Sikap Kritis

Keteladanan berangkat dari teori behavioristik yang menggunakan perubahan perilaku sebagai indikator keberhasilan. Sayangnya, perilaku kerap disimplifikasi hanya sebagai sesuatu yang tampak dan terdengar.  Menurut Shantrock (2008) para behavioral mengabaikan konflik batin, ekspresi mental, dan motif sebagai bagian tak terpisahkan dalam proses belajar. Padahal, setiap tindakan adalah eskpresi batin.

Untuk menguji keteladanan, apakah efektif atau sebaliknya, memerlukan strategi evaluasi yang panjang. Pasalnya, perubahan perilaku bukan respon emosional yang spontan, melainkan proses kognitif-spiritual yang panjang. Di ruang kontemplatif lah siswa menentukan arah. Respon yang ditunjukan seseorang tidak bersifat ajeg, tapi berkembang atau bahkan sama sekali berlainan.

Keteladanan yang bersifat simulatif cenderung menyederhanakan realitas sosial. Keteladanan simulatif memisahkan sesuatu yang baik dengan yang tidak baik secara biner. Kesempatan siswa mengenali objek baik dan baik tidak terbuka cukup luas. Padahal, realitasnya, hal baik dan buruk bisa muncul pada diri orang atau lingkungan yang sama.

Karena itulah, di tengah realitas sosial yang degil akibat korupsi dan perilaku koersif keteladanan tidaklah cukup. Siswa perlu dibekali strategi berpikir kritis agar mampu merespon dinamika lingkungan secara cermat.

Untuk mencapai hal itu, guru bertugas melibatkan siswa dalam probelam kebangsaan terkini. Beri kesempatan siswa menilai secara jujur relitas sosial yang mereka temui. Sikap kritis akan muncul dari persinggungan yang intensif antara siswa dengan lingkungannya. Siswa mengenali, merekam, dan menganalisis perilaku social sekaligus bersiap meresponnya.

Siswa tidak melihat perilaku social sebagai realitas yang mentah melainkan ekspresi batin tiap pelakunya. Dengan cara inilah siswa mampu melihat persoalan lebih mendalam, bukan hanya major story tetapi juga minor story.

Kebingungan guru untuk mengaplikasikan pendidikan karakter adalah hal wajar. Hemat penulis, kebingungan berawal dari beragamnya definisi karakter dalam diskursus pendidikan di Indonesia. Lebih-lebih, itikad mengimplementasikan pendidikan karakter belum diterjemahkan dalam kebijakan pendidikan.

Oleh karena itu, selain secara tradisional menerapkan strategi keteladanan, ada baiknya guru menjajaki kemungkinan untuk mengajarkan siswa strategi berpikir kritis.

Rahmat Petuguran

No comments:

Post a Comment