Hingga kini, peran domestik perempuan tak pernah dilepaskan dari aktivitas dapur, selain kasur dan sumur. Para feminis banyak mengkritik kegiatan di dapur ini bakal memerangkap perempuan dalam ”penjara domestik”. Tapi bagi sebagian perempuan lainnya, dapur justru menjadi ruang ekspresi sekaligus sarana membangun citra diri.
Jika dipandang secara sumir, aktivitas di dapur memang terkesan tak berharga dan tak nyaman, misalnya jika dibandingkan dengan aktivitas di ruang tamu, kamar tidur, dan ruang keluarga. Karena dijadikan lokasi memasak, dapur sering dianggap kotor dan pengap.
Namun banyak perempuan percaya, dapur punya andil dominan dalam menciptakan suasana rumah yang harmonis dan menyenangkan. Di Banyumas, misalnya, eksistensi perempuan dalam rumah tangga dapat diidentifikasi melalui dapur.
Jika sebuah rumah memiliki dapur yang sering digunakan, berarti peran perempuan dalam rumah tangga itu besar. Tapi sebaliknya, jika sebuah rumah tidak memiliki dapur dapat dipastikan tidak ada perempuan dalam rumah itu.
Selain itu, dapur juga mampu menggambarkan kondisi keluarga secara umum.
Keluarga yang sejahtera, misalnya, ditandai dengan banyaknya stok makanan yang tersedia di dapur. Semegah apapun rumah itu, sungguh tidak berarti apa-apa jika tidak ada makanan dalam dapur. Sebab, bagi sebuah keluarga, dapur menjadi sumbering urip.
Dalam beberapa hal, dapur juga mampu menggambarkan dinamika kehidupan rumah tangga. Dapur yang memiliki variasi kelengkapan memasak adalah petanda dari keluarga dinamis. Logikanya, kelengkapan dapur menandakan penghuninya senang berekspresi dengan masakan. Dan, kebiasaan masak seperti ini hanya dipraktikkan oleh keluarga yang aktif dan dinamis.
Memaknai dapur dalam simbol-simbol semiotis itu bukan sekadar laku gathuk mathuk seperti yang selama ini dipraktikkan orang Jawa. Sebab selain menggambarkan kondisi rumah tangga, dapur mampu menjadi representasi bakti seorang istri kepada suaminya. Masakan adalah bahasa bagi seorang istri untuk mengungkap berbagai perasaan dan gejolak pikirannya.
Handayani (2004) mengatakan, perempuan sejak masa kanak-kanak dididik untuk berbakti kepada suami. Sedangkan anak laki-laki dididik untuk bertanggung jawab terhadap keluarga.
Dengan memasak sebaik mungkin, seorang perempuan menunjukkan bakti dan penghormatannya kepada suami. Melalui masakan, keinginannya untuk berbakti kepada suami dapat diwujudkan.
Tradisi ”Mbadheg”
Kesan itu setidaknya dapat ditemukan pada aktivitas mbadheg, atau mengolah nira (aren) menjadi gula merah. yang hingga kini masih banyak dilakukan perempuan di Banyumas. Menjelang siang —bahkan tengah malam— mereka terjaga memasak aren. Bagi keluarga penyadap aren di sana, rutinitas itu telah berlangsung selama puluhan tahun, bahkan lintas generasi.
Dalam entitas kebudayaan Banyumas, yang secara geografis mencakup Kabupaten Banyumas, Cilacap, Purbalingga, dan Banjarnegara, aren telah diolah sejak lama. Kondisi geografis wilayah tersebut memang mendukung tumbuhnya pohon aren dan kelapa.
Meski sama-sama dilakukan di dapur, mbadheg ternyata bukan aktivitas memasak biasa. Di sana kemampuan seorang perempuan, apakah pemula, menengah, atau mahir, bakal diuji.
Dikatakan mahir jika gula yang dihasilkan berwarna merah cerah, bersih, namun terasa manis. Sebaliknya, jika gula berwarna gelap atau kurang manis, pembuatnya dianggap pemula dan dicap sebagai perempuan biasa-biasa saja.
Berangkat dari situ, aktivitas di dapur dianggap memiliki nilai, bukan semata-mata rutinitas. Selain menjadi tempat memroses segala jenis makanan, dapur bagi kaum perempuan juga berkembang menjadi ajang mengaktualisasi diri.
Dari tempat itulah keahlian seorang istri atau remaja putri dilihat, diukur, lantas didinilai. Perempuan yang mumpuni adalah perempuan yang bisa memasak dengan baik.
Bagi masyarakat tradisional di Banyumas, dapur menjadi simbol eksistensi sebuah rumah tangga. Rumah tangga bisa dianggap mandiri jika memiliki dapur sendiri.
Meski pasangan suami-istri belum bisa membuat rumah sendiri, tapi bisa dikatakan mandiri jika telah memiliki dapur. Kitchen becomes a significant unit symbolizing a household, kata Koentjaraningrat (1976).
Anggapan itu yang membuat makna dapur di Banyumas berkembang melebihi ujud harfiahnya. Dapur telah berkembang menjadi simbol budaya yang perlu diterjemahkan. Dapur tidak lagi sekadar tempat memasak, tetapi ujud eksistensi perempuan.
Karena itulah, usaha perempuan untuk membangun citra diri tidak harus dilakukan dengan menjauhi dapur. Sebaliknya, melalui dapur, perempuan bisa membangun citra dengan berkspresi dan berinovasi.
Dari Halaman Perempuan, Suara Merdeka 14 Oktober 2009
Wednesday, 13 January 2010
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment