Gempa dengan kekuatan 7,3 skala richter yang mengguncang Tasikmalaya Rabu (2/9) lalu ternyata juga dapat dirasakan di Jawa Tengah. Suara Merdeka (3/9) mencatat akibat gempa tersebut 18 rumah di Kabupaten Cilacap roboh dan 169 lainnya rusak. Sedangkan di Banyumas dan Brebes sejumlah rumah rusak parah sehingga penghuninya harus mengungsi di tenda pengungsian atau rumah sodara.
Agar bencana gempa tidak menambah penderitaan masyarakat, pemerintah bersama unit swadaya masyarakat perlu menggagas manajemen gempa yang tanggap. Penanganan yang tanggap bukan hanya berarti cepat, tetapi juga tepat, proporsional, dan berkelanjutan.
Penanganan yang cepat dan efektif sangat diperlukan sebab bencana gempa, baik tektonik maupun vulkanik, adalah bencana yang sulit diramalkan dan terjadi secara sporadis. Selain gempa Rabu kemarin, kita bisa belajar dari gempa di Yogyakarta dan Klaten pada 2006. Selama ini penangananan bencana di berbagai daerah, terutama di daerah pelosok, terhitung lamban sehingga memperlambat penanganan korban.
Salah satu hal yang menghambat penanganan bencana adalah panjangnya alur birokrasi. Model up bottom dengan pola kebijakan terpusat membuat unit kerja penanganan bencana di daerah sering terlambat. Panjangnya proses birokrasi bahkan sering mengakibatkan bantuan bahan makanan dan obat-obatan datang terlambat.
Untuk mengatasi hal tersebut pemerintah sebenarnya telah coba melakukan upaya dengan mengubah Bakornas yang hanya menjadi pusat koordinasi penangananan bencana menjadi Satkorlak yang bersifat lebih operasional. Namun langkah ini belum cukup efektif karena unita kerja Satkorlak baru tersebar di kota/kabupaten. Jika lokasi bencana jauh dari kota kabupaten bantuan yang dibutuhkan para korban seringklai datang terlambat.
Mestinya, sebagai lembaga yang fokus menangani bencana alam, Satkorlak memiliki ‘tangan’ yang cukup panjang untuk menyentuh korban bencana langsung, tepat saat mereka memerlukannya. Karena itulah Satkorlak perlu memberdayakan warga agar mampu menanggulangi gempa secara mandiri sebelum bantuan dari Satkorlak datang.
Ujung Tombak
Sebagai ujung tombak penanganan bencana, Satkorlak juga perlu menetapkan prioritas bantuan sesuai kondisi korban. Jika terjadi korban luka-luka misalnya, bantuan diprioritaskan pada bantuan medis berupa dokter dan obat-obatan. Agar dapat mengetahui prioritas kebutuhan Satkorlak dituntut benar-benar memahami lokasi bencana.
Aspek lain yang tak boleh diabaikan saat menangani korban gempa adalah bantuan pasca kejadian. Setelah penanganan kondisi darurat usai dan sorotan media mulai berkurang umumnya pemerintah mulai abai. Padahal korban masih memerlukan penanganan, seperti biaya perawatan, rehabilitasi rumah, dan penanganan trauma. Tidak hanya itu, upaya jangka panjang perlu dilakukan dengan mempesiapkan kehidupan korban pascabencana, baik kesehatan maupun matapencahariannya.
Bencana alam yang terjadi di Indonesia selama ini seringkali membawa korban jiwa dalam jumlah besar. Kondisi ini terjadi karena masyarakat tidak memiliki kemampuan mendeteksi datangnya bencana sehingga tidak mampu mengantisipasi. Kemampuan mendeteksi bencana penting diberikan kepada masyarakat mengingat infrastruktur pengendali bencana seperti peringatan dini belum terbangun di setiap daerah.
Untuk mewujudkan masyarakat yang tanggap bencana, Satkorlak bersama masyarakat perlu mengadakan simulasi dan sosialisasi di berbagai daerah. Sosialisasi semacam ini setidaknya bisa membekali masyarakat agar mampu mengamankan diri saat bencana terjadi. Bahkan karena lokasi di pesisir dan pegunungan sama-sama menyimpan potensi bencana, masyarakat perlu mengenali indikator terjadinya bencana.
Gempa bumi memang relatif sulit dideteksi karena datang dengan sangat tiba-tiba. Namun dengan pengetahuan yang cukup masyarakat diharapkan mampu mengamankan diri jika sewaktu-waktu gempa mengguncang. Jika berada di rumah, misalnya, masyarakat perlu mengamankan diri dengan segera keluar ke tanah lapang. Kalaupun tidak sempat keluar, langkah pengaman dilakukan dengan melindungi diri di kolong meja dan menjauhi kaca dan tegangan listrik. Sedangkan jika sedang di luar atau jalan, masyarakat perlu menghindar dari bangunan yang rentan roboh, tiang listrik, atau pohon yang rentan tumbang.
Karena sebagian besar wilayah di Jawa Tengah juga rawan longsor, keterampilan mendeteksi bencana lonsor secara dini juga penting dimiliki. Setidak-tidaknya masyarakat tahu ciri-ciri tanah yang berpotensi longsor, yakni timbul retakan lengkung memanjang seperti tapal kuda, tiba-tiba muncul lumpur dari lereng, dan mata air menjadi keruh atau tiba-tiba berhenti mengalir. Jika ketiga tanda tersebut sudah muncul artinya tanah sudah berbahaya dan masyarakat harus segera mengungsi. Di sinilah pemerintah dituntut tlaten melakukan sosialisasi melalui berbagai media.
Peta Bencana
Belajar dari berbagai bencana yang terjadi di Indonesia selama lima tahun terakhir, umumnya terjadi di tempat yang tidak terduga. Ini membuktikan bahwa tempat-tempat yang dirasa aman sekalipun ternyata menyimpan potensi bencana. Kondisi seperti itu seringkali melemahkan kewaspadaan masyarakat karena merasa daerahnya aman.
Agar masyarakat tetap waspada diperlukan peta bencana yang detail di setiap daerah. Selama ini peta bencana yang diterbitkan pemerintah masih terlalu umum dan mencakup wilayah yang terlalu luas. Peta bencana perlu dibuat lebih detail hingga ke tingkat keluarahan dan desa sehingga jelas dan meyakinkan.
Upaya memetakan daerah rawan bencana memang memerlukan proses lama. Namun, upaya tersebut harus mulai ditempuh sebagai ancang-ancang menghadapi kemungkinan bencana di masa yang akan datang. Kondisi geografis Indonesia yang berupa kepulauan, berbukit-bukit, serta memiliki banyak gunung berapi membuat kita harus waspada. Sebab cepat atau lambat bencana alam seperti gempa, longsor, banjir, atau letusan gunung berapi pasti terjadi.
Surahmat
Pegiat Komunitas Nawaksara Banjarnegara
Dipublikasikan Wacana Lokal Suara Merdeka, 8 September 2009
Wednesday, 13 January 2010
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment