Dalam cerpen Robohnya Surau Kami yang ditulis AA Navis, surau digambarkan sebagai tempat ibadah berukuran kecil. Atapnya terbuat dari ijuk atau alang-alang, sedangkan dindingnya terbuat dari kayu. Di bagian depan, terdapat beranda yang biasa digunakan anak-anak ngaji pada malam hari.
Gambaran tempat tersebut merepresentasikan kondisi sosial budaya desa yang masih sederhana. Tanpa televisi, playstation, atau telepon genggam, anak-anak desa suka sekali berkunjung ke sana.
Di sana mereka ngaji alif-ba-ta atau cara berwudu yang benar. Pada Ramadan mereka biasa bermalam supaya ketika saat sahur tiba bisa menabuh beduk untuk membangunkan warga.
Sayang, kondisi semacam itu tinggal romantisme belaka. Surau, yang di Jawa lebih sering disebut langgar, sudah tidak banyak didapati di desa-desa.
Di desa-desa di kawasan Banjarnegara tak satu pun surau tersisa karena telah tergantikan oleh mushala dan masjid besar. Bisa jadi kondisi tersebut tidak hanya terjadi di Banjarnegara, melainkan Jawa Tengah.
Secara fungsional, baik surau, langgar, mushala, maupun masjid memang tidak jauh berbeda karena sama-sama digunakan sebagai tempat ibadah. Tempat tersebut diyakini sebagai tempat suci karena digunakan untuk kegiatan-kegiatan peribadatan. Namun dari perspektif budaya, terdapat renggang yang cukup lebar antara surau sebagai ujud dan masjid.
Selain sebagai tempat ibadah, surau adalah representasi dari tabiat warga yang menjalankan agama dalam kesederhanaan. Maka tidak heran, jika aktivitas ibadah di surau dan masjid pun sedikit berbeda.
Karena surau adalah tempat publik, yang biasanya dibangun dengan bergotong royong dari dana iuran, surau menggambarkan kehidupan masyarakat yang komunal. Tempat itu bisa digunakan oleh siapa pun, baik untuk aktivitas ibadah, ngaji, slametan, tahlilan, atau upacara budaya semacam nyadran. Untuk urusan pemeliharaan dan perawatan, surau dikelola secara bersama-sama.
Pendidikan Anak Kemenghilangan surau, jika dimaknai secara sederhana, memang tidak membawa dampak apa pun, apalagi karena telah tergantikan oleh masjid yang jauh lebih nyaman dan megah. Namun dari perspektif budaya, kemenghilangan surau menggambarakan kemenghilangan kebersahajaan anak-anak.
Pendidikan Anak
Karena dulu surau juga digunakan sebagai tempat pendidikan anak, kemenghilangan surau dikhawatirkan melesapkan nilai-nilai komunal yang biasa diajarkan kepada anak.
Ketika surau masih ada, anak-anak banyak datang ke sana. Mereka shalat magrib berjamaah, lantas ngaji membaca Alquran.
Sekali waktu mereka juga diajari ilmu fikih, akidah, bahkan ilmu akhlak oleh kiai atau ustaz setempat. Pada bulan Ramadan, surau akan lebih ramai karena digunakan tadarus Alquran hingga larut malam.
Kebiasaan semacam itu ternyata mampu menumbuhkan semangat belajar agama pada anak-anak. Mereka antusias belajar ngaji karena dilakukan bersama-sama dengan anak-anak lain.
Antusiasme belajar agama seperti itu tidak didapati anak-anak sekarang karena harus dilakukan sendiri. Mereka harus belajar ngaji di rumah dengan orang tua atau guru ngaji privat.
Pola pendidikan agama di surau ternyata efektif karena dilakukan dengan penuh keriangan. Anak-anak menganggap aktivitas ngaji sebagai sebuah kewajiban yang menyenangkan karena dilakukan di tempat umum bersama teman-teman dan tidak terbebani target tertentu. Nilai-nilai seperti ini yang dikhawatirkan hilang.
Ini berbeda dari pola pergaulan yang telah dipoles moderniasai belakangan ini. Di sekolah saja, lembaga yang mestinya netral dari sekat-sekat sosial, terkadang masih membedakan anak berdasarkan status sosial dan keberdayaan ekonomi mereka.
Kondisi demikian dapat dilihat melalui status sekolah bersangkutan, seperti sekolah standar nasional, rancangan sekolah berstandar internasional, sekolah internasional, atau kelas khusus emersi. Di sinilah kita bisa meraskan bahwa surau mampu mengejarkan kebersamaan dan hubungan sosial yang egaliter. Karena itulah ada beberapa nilai yang patut dipelajari lantas diadaptasi pada lembaga pendidikan modern.
Melawan Modernitas
Setidak-tidaknya ada dua tantangan besar untuk mengaplikasikan semangat surau dalam lembaga pendidikan agama modern semacam TPQ.
Pertama, kondisi sosial masyarakat saat ini jauh berbeda dari ketika surau menjadi pusat pendidikan anak. Pada zaman modern, anak-anak lebih asyik bermain dengan berbagai permainan modern seperti playstation atau televisi.
Permainan modern memang sebuah keniscayaan kemajuan teknologi. Baik anak-anak maupun orang tua tidak bisa menghindari keniscayaan itu. Maka agar permainan modern seperti itu tidak menyita keasyikan anak sehingga malas belajar, penggunaannya perlu diperketat.
Tantangan kedua, masyarakat telah terbiasa dengan pola pendidikan yang menekankan pemerolehan nilai. Di sekolah, madrasah, bahkan perguruan tinggi anak-anak terbiasa mengukur keberhasilan belajar dengan nilai.
Ini berbeda dari model belajar yang dikembangkan di surau yang menekankan penguasaan konsep, pemahaman, dan keterampilan. Untuk mengetahui keberhasilan belajar anak-anak diminta mempraktikan atau memeragakn sesuatu, seperti melafalkan surat Alquran atau memeragakan gerakan shalat.
Kini surau memang telah menjadi benda memorabilia, namun semangat kebersahajaan yang terkandung di dalamnya sangat patut di-uri-uri. Surau, setidak-tidaknya dapat dijadikan pegangan agar kita tidak terlalu jauh larut dalam semangat modernitas.
Surahmat, Pegiat Komunitas Nawaksara Banjarnegara
Dipublikasikan pada Wacana Lokal Suara Merdeka, 2 Septermber 2009
Wednesday, 13 January 2010
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment