ADA dua perbedaan utama pola pembangunan daerah pascareformasi sebagai keniscayaan otonomi daerah. Pertama, pembangunan yang tersebar dan kedua, penguatan unsur-unsur lokal. Keduanya memiliki kaitan resiprokal karena satu dan lainnya tidak dapat dipisahkan. Pembangunan yang tersebar memerlukan penguatan unsur-unsur lokal, baik dalam kuan titas maupun peran. Sementara itu, unsur-unsur lokal hanya akan tercipta jika pembangunan tersebar.
Konsep pembangunan yang merata agaknya belum mampu diterapkan dalam rencana pembangunan di setiap daerah. Alih-alih menciptakan pembangunan yang tersebar merata, pemerintah daerah justru kerap menciptakan pusat pembangunan di tingkat kabupaten/kota. Pembangunan yang mestinya merata di seluruh wilayah justru terfokus di kota kabupaten.
Hal semacam itu bisa ditemukan di Banjarnegara, setidaknya jika dilihat dari perspektif alokasi APBD. Dari sekitar Rp25 miliar PAD Kabupaten Banjarnegara, hampir separuhnya tersita untuk pembangunan kota. Padahal Banjarnegara terdiri atas 20 kecamatan, sedangkan kota hanya salah satunya. Sebagai pusat pemerintahan, kota memang memerlukan anggaran pembangunan lebih besar jika dibandingkan dengan kecamatan lain.
Namun, peran sentral kota tidak boleh mendominasi jalannya pembangunan. Pembangunan infrastruktur kota tidak lazimnya digenjot terus-menerus, sedangkan pembangunan di desa justru jalan di tempat. Untuk mencegah itu, diperlukan penguatan unsur lokal. Artinya, kewenangan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan perlu didistribusikan kepada desa. Dengan begitu, kesenjangan ekonomi yang terjadi di desa dan kota bisa diatasi.
Peran Desa
Ada dua alasan mengapa desa perlu memiliki kewenangan pembangunan yang lebih besar. Pertama, Banjarnegara memiliki wilayah luas dan terpisah-pisah. Jarak antar kecamatan dan desa bisa mencapai puluhan kilometer. Jika pembangunan masih dikendalikan dari atas tidak akan berjalan efektif karena terbatasnya pengawasan.
Kedua, pemerintah desa memiliki kedekatan emosional dengan masyarakat setempat. Perangkat desa umumnya mengetahui detail permasalahan yang dihadapi masyarakat sehingga mudah merumuskan solusinya. Dengan begitu, arah pembangunan bisa lebih fokus dan tepat sasaran.
Selain itu, keragaman potensi di Banjarnegara sangat detail, bahkan mencapai tingkat desa. Misalnya, Desa Tanjungtirta dan Petuguran di Kecamatan Punggelan, meski bersebelahan memiliki potensi berbeda. Tanjungtirta unggul dalam pengembangan ternak kambing, sedangkan Petuguran unggul dam budi daya palawija. Agar potensi setiap desa tergarap dengan baik, kebijakan pengembangan perlu diberikan kepada pemerintah desa.
Peningkatan peran desa tidak dimaksudkan untuk mengeliminasi peran kecamatan dan pemerintah kabupaten. Ada beberapa kebijakan yang harus tetap dipegang pemkab karena tidak mungkin ilimpahkan kepada pemerintah desa.
Karena kebijakan yang dilimpahkan kepada desa adalah kewenangan internal, pemkab bertanggung jawab terhadap program antardesa. Selain itu, mereka masih punya tugas memantau dan mengawasi pembangunan. Tuntutan desentralisasi membuat pemerintah desa harus mampu melaksanakan
kebijakan yang bersifat kewilayahan. Ke depan, desa juga harus mampu melaksa nakan program
yang bersifat sek toral, seperti kesehatan, pendi di k an, pertanian, dan pelayanan publik. Hal itu diperlukan untuk menjamin terwujudnya pelayanan yang terjangkau dan dekat dengan masyarakat.
Surahmat, Koordinator Komunitas Nawaksara
Tulisan ini dipublikasikan dalam Rubrik Tent@ng Media Indonesia, 30 Agustus 2008
Wednesday, 13 January 2010
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment