Wednesday 13 January 2010

Disentralisasi Pembangunan Banjarnegara

Ada dua perbedaan utama pola pembangunan di Indonesia pascareformasi sebagai keniscayaan otonomi daerah, yakni pembangunan yang tersebar, dan penguatan unsur-unsur lokal. Keduanya memiliki kaitan resiprokal yang tidak dapat dipisahkan. Pembangunan yang tersebar memerlukan penguatan unsur-unsur lokal, sedangkan unsur-unsur lokal hanya akan tercipta jika pembangunan tersebar.

Di tengah semarak hari jadinya yang ke 178 pada 22 Agustus lalu, kabupaten Banjarnegara perlu mendudukan prinsip pembangunan itu. Apalagi Banjarnegara adalah kabupaten yang sedang giat membangun untuk mengejar ketertinggalan.

Selama ini banyak kebijakan pembangunan Pemkan Banjarnegara yang kurang mendukung upaya desentralisasi. Alih-alih menciptakan pembangunan yang tersebar merata, pemerintah daerah justru kerap menciptakan pusat pembangunan di tingkat kabupaten/kota. Pembangunan yang mestinya merata di seluruh wilayah justru terfokus di kota kabupaten.

Hal terseut setidaknya bisa dilihat dari perspektif alokasi APBD. Dari sekitar 25 milyar PAD Kabupaten Banjarnegara, hampir separuhnya tersita untuk pembangunan kota. Padahal Banjarnegara terdiri atas 20 kecamatan, sedangkan Kota hanya salah satunya.
Sebagai pusat pemerintahan, Kota memang memerlukan anggaran pembangunan lebih besar dibanding kecamatan lain. Namun, peran sentral kota tidak boleh mendominasi jalannya pembangunan. Pembangunan infrastruktur kota tidak lazimnya digenjot terus-menerus sementara pembangunan di desa jutru jalan di tempat.

Untuk mencegah itu diperlukan penguatan unsur lokal. Artinya, kewenangan perencanaan dan pelaksaanaan pembangunan perlu didistribusikan kepada Desa. Dengan begitu kesenjangan ekonomi yang terjadi di desa dan kota bisa diatasi.

Terminal dan Stadion
Pada tahun anggaran 2008 Pemerintah Kabupaten Banjarnegara bersama DPRD mengesahkan rencana pembangunan terminal dan stadion. Kedua proyek itu ditaksir menghabiskan dana hingga 15 miliar rupiah. Bahkan karena pembangunan terminal terhenti karena kekurangan dana, pemerintah daerah berinisiatif mengambil dana dari sektor lain, termasuk anggaran untuk plesterisasi rumah masyarakat miskin.

Melihat urgensi kebutuhan terminal, kebijakan mengalihkan alokasi anggaran mungkin bisa dimaklumi. Namun jika hal sama dilakukan untuk pembangunan stadion, barangkali akan memancing sentimen negatif dari penduduk desa. Kebijakan tersebut bisa diterjemahkan sebagai kebijakan yang tidak propembangunan desa.

Sementara di kota pembangunan terminal dan stadion dilanjutkan, pembangunan di desa-desa mestinya tidak berhenti. Setidaknya baik pembangunan kota dan desa berjalan seiringan agar tidak terjadi ketimpangan. Sebab, menurutt Syahrudin (2002) dalam pelaksanaan otonomi, Pemerintah Daerah bertanggung jawab terhadap masyarakat, bukan kepada Pemerintahan yang lebih tinggi.

Selain alokasi anggaran, ketimpangan pembangunan desa dan kota juga bisa diamati dengan kasat mata. Di kota, proyek pembangunan terminal dan stadion terus digenjot, sementara pembangunan infrastruktur desa mandeg. Di kecamatan Punggelan, Kalibening, dan Pandanarum, sebagai kecamatan yang secara geografis paling jauh dari pusat pemerintahan, banyak jalan yang belum diaspal. Ada sejumlah jalan antardusun yang masih berupa batu, entah kapan akan diaspal.

Peran Desa
Nilai utama desentralisasi, menurut Sarkono (2004) adalah kehendak untuk mengubah paradigma pembangunan dari kultur top-down menjadi bottom-up. Kebijakan daerah diambil berdasarkan kebutuhan dan insiatif masyarakat, bukan kebijakan dari pusat. Untuk mewujudkan hal tersebut perlu pengurangan kewenangan Pemerintah Kabupaten yang berlebihan menuju penguatan Pemerintah Desa. Kebijakan ini sekaligus sebagai implementasi prinsip pembangunan Bali Ndesa mBangun Desa supaya tidak berakhir sebagai jargon semata.

Sebagai pihak yang paling dekat dengan masyarakat, Pemerintah Desa berkewajiban menerima limpahan wewenang pembangunan. Tidak semata-mata bertugas sebagai pelaksana, Pemerintah Desa harus mampu merumuskan pola pembangunan jangka pendek, menengah, dan panjang di daerahnya.

Ada dua alasan mengapa desa perlu memiliki kewenangan pembangunan yang lebih besar. Pertama, Banjarnegara memiliki wilayah yang luas dan terpisah-pisah. Jarak antara kecamatan yang satu dengan kecamatan lain atau desa yang satu dengan desa lain bisa mencapai puluhan kilometer. Jika pembangunan masih dikendalikan dari atas tidak akan berjalan efektif karena terbatasnya pengawasan.

Kedua, pemerintah desa memiliki kedekatan emosional dengan masyarakat setempat. Perangkat desa umumnya mengetahui detail permasalahan yang dihadapi masyarakat sehingga mudah merumuskan solusinya. Dengan begitu arah pembangunan bisa lebih fokus dan tepat sasaran.

Selain itu, keragaman potensi di Banjarnegara sangat detail, bahkan mencapai tingkat desa. Misalnya, desa Tanjungtirta dan Petuguran di Kecamatan Punggelan, meski bersebelahan memiliki potensi berbeda. Tanjungtirta unggul dalam pengembangan ternak kambing sedangkan Petuguran unggul dam budidaya palawija. Agar potensi masing-masing desa tergarap dengan baik, kebijakan pengembangan perlu diberikan kepada Pemerintah Desa.

Peningkatan peran desa tidak dimaksudkan untuk mengeliminasi peran Kecamatan dan Pemerintah Kabupaten. Ada beberapa kebijakan yang harus tetap dipegang Pemkab karena tidak mungkin dilimpahkan kepada Pemerintah Desa. Karena kebijakan yang dilimpahkan kepada Desa adalah kewenangan internal, Pemkab bertanggungjawab terhadap program-program antardesa. Selain itu, mereka masih punya tugas memantau dan mengawasi pembangunan.

Tuntutan desentralisasi membuat Pemerintah Desa harus mampu melaksanakan kebijakan yang tidak hanya bersifat kewilayahan. Ke depan, desa juga harus mampu melaksanakan program-program pemerintah yang bersifat sektoral, seperti kesehatan, pendidikan, pertanian, dan pelayanan publik. Hal ini diperlukan untuk menjamin terwujudanya pelayanan yang terjangkau dan dekat dengan masyarakat.


Surahmat
Pegiat Komunitas Nawaksara

1 comment: