Wednesday, 13 January 2010

Menggagas Eduwisata Serulingmas

Angka kunjungan wisatawan ke Banjarnegara pada liburan akhir tahun kemarin terhitung rendah. Salah satu sebabnya adalah pengemasan objek wisata yang kurang menarik. Taman Rekreasi Marga Satwa (TRMS) Serulingmas, contohnya. Meskipun aksesnya terhitung mudah, kunjungan wisatawan terhitung rendah. Karena itulah objek wisata ini perlu melakukan diversifikasi usaha dengan mengembangkan paket wisata pendidikan (eduwisata).

Berkurangnya pengunjung di Serulingmas juga dipengaruhi oleh pergeseran persepsi tentang objek wisata dalam masyarakat. Makna wisata banyak dikerucutkan dengan kunjungan ke sebuah tempat yang dapat memanjakan mata, melepas adrenalin, atau melepas teriakkan sekeras-kerasnya. Karena itulah banyak tempat wisata yang berusaha menyediakan fasilitas permainan atau tantangan. Sedangkan objek wisata yang mencerdaskan belum banyak mendapat perhatian.

Pengaruh lainnya adalah keterbatasan akses informasi. Masyarakat tidak memiliki rujukan yang merangsang minat untuk berkunjung ke objek wisata edukatif. Ditambah lagi, stigma yang melekat pada objek wisata edukatif sebagai tempat yang membosankan, dan tidak gaul. Saat liburan sekolah, tak banyak pelajar yang berinisiatif bealajar di museum, galeri atau kebun binatang. Mereka lebih memilih berkunjung ke water boom atau mall yang menyediakan aneka permainan.

Stigma ini sebenarnya dapat diubah dengan memoles objek wisata agar lebih eye catching di mata pelajar. Memang dalam hal ini diperlukan kreativitas pengelola untuk memadukan arena hiburan dan belajar yang mengasyikan.

Citra museum misalnya, selama ini dianggap menjemukan karena terlalu klasik, hanya memajang benda-benda kuno. Jarang sekali pengelola museum mengelaborasikannya dengan hiburan, permainan, atau petualanga. Karena musem telanjur dicap sebagai tempat memajang benda kuno, citra kuno juga melekat. Tak heran jika lebih banyak pengunujung dewasa. Sedangkan pelajar dan remaja kebanyakan hanya berkunjung jika ditugaskan sekolah. Itupun banyak pelajar yang tak nyaman sebab suasana musem cenderung statis dari waktu ke waktu.

Agar stigma kuno di atas dapat dilesapkan, pengelola harus fleksibel terhadap keinginan pengunjung. Misalnya, memamerkan produk teknologi terbaru di sela-sela benda koleksi. Atau sekali-kali museum juga harus berani menjadi event organizer untuk kegiatan yang melibatkan pelajar, seperti lomba menulis, pentas seni, atau game competition.

Tampaknya, galeri dan kebun binatang, juga mengalami ‘nasib’ yang tak lebih baik dari museum. Salah satu sebabnya juga tigma. Hal ini diperparah dengan maraknya berbagai permainan elektronik. Banyak anak-anak yang memilih menghabiskan waktu di rumah daripada mengunjungi tempat wisata edukatif macam kebun binatang, museum atau semacamnya.

Diversifikasi Usaha
Cerita terlantarnya objek wisata edukatif juga dialami TRMS Serulingmas di Banjarnegara. Oleh penduduk setempat objek wisata ini dikenal dengan kebun binatang Selamanik karena di dalamnya terdapat makam tokoh spiritual Ki Ageng Selamanik. Objek ini hanya berjarak satu kilometer dari pusat kota. Aksesnya juga relatif mudah, baik dengan kendaraan bermotor maupun andong.

Meski menjadi kebun binatang terbesar di Jawa Tengah bagian tengah dan selatan, Serulingmas tak lantas dibanjiri pengunjung. Salah satunya karena pengemasan produk wisata yang kurang menarik. Selama ini pengelola menyajikan kebun binatang secara utuh sebagai sebuah kebun binatang. Kondisi statis ini menjemukan. Wisatawan seperti tidak menemukan hal baru apapun jika berkunjung.

Kebun binatang Serulingmas, sebagai kebun botani dan taman koleksi, sangat potensial dikembang menjadi objek wisata edukatif. Mengingat koleksi satwa yang sangat beragam, tempat ini tepat menjadi pusat studi biologi. Hal ini sangat dimungkinkan mengingat kondisi alam disekitarnya masih sangat asri. Terlebih karena letaknya berdampingan dengan bendungan Banjarcahyana yang dibangun pemerintah Hindia Belanda tahun 1939.

Selain koleksi satwanya, ada beberapa kemungkinan bentuk eduwisata yang potensial dikembangkan di Serulingmas, termasuk petualangan, laboratorium botani, dan pembibitan.

Untuk mewujudkan areal eduwisata yang menarik, ada beberapa prasyarat yang mesti dipenuhi. Pertama, arena dan permainan yang menarik. Hal ini penting untuk menyasar anak usia sekolah sebagai pengunjung. Rupanya bervariasi, mulai peraga, sarana out bond, dan pemandu.

Kedua, sarana pendukung yang lengkap. Antara lain taman koleksi, pembibitan, dan laboratorium ilmiah. Seperti yang banyak dilakukan di objek eduwisata lain, pengunjung diajak berpetualang dalam laboratorium dengan berbagai alat simulasi. Alat ini dapat dibuat sesuai fenomena fisis yang terjadi dalam kehidupan sehari hari. Selain itu, peragaan biologi seperti cara kerja organ tubuh, perkembangbiakan hewan, atau sistem organ juga dapat dipamerkan.

Ketiga, kegiatan wisata mestinya juga didukung dengan kegiatan seni, baik modern maupun tradisional. Selain diharap mampu memunculkan senias-senias muda, kegiatan seni yang rutin dilaksanakan akan menarik perhatian pengunjung. Bentuk kegiatan seni yang dilakukan juga beragam, mulai pementasan teater, pagelaran wayang, atau pameran benda-benda seni.

Keempat, kegiatan pariwisata harus didukung dengan promosi yang memadai. Jika proyek eduwisata terwujud, sasaran pengunjungnya tentu tidak hanya masyarakat Banjarnegara. Karena fasilitas eduwisata di sekitar karisidenan Banyumas dan Kedu belum banyak, pangsa pasar di daerah-daerah tersebut masih sangat terbuka.

Sudah saatnya pemerintah memberanikan diri berinvestasi untuk menopang kegiatan wisata. Toh dana yang dibelanjakan untuk mewujudkan proyek eduwisata ini akan kembali pada pemerintah dan masyarakat. TRMS Serulingmas memiliki potensi yang amat besar, sangat disayangkan jika dibiarkan mangkrak hanya menjadi kandang binatang.

Surahmat
Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia Unnes,
Koordinator Komunitas Nawaksara Banjarnegara

No comments:

Post a Comment