Wednesday, 13 January 2010

Sastra Kulon Mengusung Primordialisme?

Sastra Indonesia telah melampau batas regionalnya. Meski demikian, sastrawan Indonesia masih arif memegang teguh nilai lokal dalam karyanya. Begitu pula sastrawan-sastrawan Banyumas.

Banyumas, sebenarnya terletak persis di tengah Jawa Tengah. Namun karena pusat pemerintahan terpusat di Semarang (daerah wetan) Banyumas sering dikenal sebagai daerah kulon. Begitupun dalam peristilahan sastra, karya sastra Banyumas banyak dikenal sebagai sastra kulonan.

Perkembangan sastra kulon memang tak sepesat daerah wetan (Semarang) atau kidul (Solo). Satu-satunya nama yang lahir dari kulon, mungkin, hanya Ahmad Tohari. Tapi di balik kembang kempisnya, sastra kulonan mampu mengangkat diri. Kecintaan masyarakat pada kebudayaan kulon, meski tak lantas terimplementasikan, menjadikan sastra kulonan bertahan.

Merujuk pada pembatasan karya sastra modern, ujud karya sastra meliputi lisan dan tulisan. Melihat perbendaharaan cerita yang berkembang dalam masyarakat, sastra lisan kulonan berkembang cukup pesat. Banyak cerita rakyat dan mitos tantang suatu tokoh berkembang. Namun sastra tulis di daerah itu nampaknya tak terlalu menggembirakan. Setidaknya ada beberapa dasar yang membentuk asumsi tersebut.

Pertama, perkembangan budaya tulis, baik sastra maupun tulisan umum, tidak terlalu berkembang. Penulis belum banyak menelurkan karya-karyanya baik melalui penerbit maupun jalur indie. Media yang berkembang di Banyumas juga terhitung sedikit, tidak lebh dari tiga. Selebihnya adalah media khusus yang diterbitkan komunitas atau lembaga tertentu.

Kedua, usaha perbukuan di daerah kulon berkembang lamban. Para penguaha lebih terterik membidik bidang lain yang dianggap lebih menguntungkan. Sedangkan buku belum menjadi komoditas dagang yang diminati. Bisa kita lihat, di wilayah karisidenan Banyumas tidak ada penerbit yang mampu menunjukkan eksistensinya. Meski pernah ada, penerbit di daerah ini tidak dapat bertahan, salah satunya karena iklim kompetisi dengan daerah wetan.

Oleh Rusmiyati (peneliti sastra Banyumas), stagnifikasi sastra kulon juga disebabkan oleh lemahnya kepemilikan mentalitas, terutama ketika menghadapi benturan pemikiran dan mudah puas bila telah mencapai hasil tertentu. Juga tidak adanya jalinan silaturahmi yang kuat untuk saling memunculkan dorongan sehingga memunculkan motivasi baru untuk terus berkarya sesuai dengan kemampuan.

Ahmad Tohari
Kalaupun ada tokoh sastra nasional dari kulon adalah Ahmad Tohari. Pria ini mengawali karir di bidang sastra setelah menerbitkan novel Kubah pada tahun 1980 dan Ronggeng Dhukuh Paruk dua tahun berikutnya. Meski novel ini sebagian besar ditulis di Banyumas, dan bisa jadi terinpirasi oleh kultur Banyumas, namun diterbitkan pertama kali oleh penerbit nasional. Baru pada tahun 2006, novel tersebut diterbitkan dalam bahasa Banyumasan yang kental.

Mencermati karyanya, Ahmad Tohari dapat dikatakan sebagai penulis Banyumas dalam arti yang menyeluruh. Bukan saja karena ia lahir dan tumbuh di sana. Dedikasi dan kecintaan yang luar biasa tinggi terhadap identitas regionalnya dibuktikan dengan berbagai karya yang ia dilahirkan. Ia pula yang kerap dikorbankan masyarakat kulon untuk membela diri atas ketimpangan produktivitas karya sastra. Produktivitas pria kelahiran 13 Juni 1948 ini menarik, karena dari 9 novel dan 3 kumpulan cerpennya, hampir semuanya mengangkat tradisi kulonan. Pantaslah kalau ia dikatakan sebagai tokoh primordialisme sastra kulon yang (mati-matian) berusaha menjaga dan mengangkat kultur daerahnya.

Ronggeng Dhukuh Paruk misalnya, mengupas budaya Banyumas melalui adat dan gaya hidup. Hal tersebut terungkap dari keseharian tokoh yang Kang Tohari gunakan. Penamaan tokoh Srinthil, Rasus, atau Secamenggala identik dengan nama masyarakat Banyumas saat itu. Konon, Dhukuh Paruk yang digunakan sebagai seting sentral adalah nama sebuah tempat yang tak jauh dari Ahmad Tohari tinggal di desa Tinggarjaya, Kecamatan Jatilawang, Banyumas. Dalam novel tersebut, sejumlah kebiasaan baik yang ditampilkan secara lugu maupun dengan modifikasi, merujuk pada kebiasaan warga Banyumas.

Sastra kulonan juga dibangun dari masa lalu. Banyaknya cerita rakyat yang berkembang menjadikan sastra kulonan, sebenarnya, sangat kaya. Jika di Pati ada tokoh spiritual Saridin Mokong, di Banyumas ada cerita rakyat Kamandaka atau Wijayakusuma. Dari balik cerita rakyat inilah akan dilahirkan tokoh spiritual, yang kini atau nanti, tidak akan melepaskan pengaruhnya pada perkembangan sastra kulon.

Dalam kaitannya dengan karya Ahmad Tohari, cerita rakyat memang tak serta merta ditampilkan secara utuh, namun dalam takaran tertentu, tetap punya andil. Dalam penulisan novel Ronggeng Dhukuh Paruk misalnya, ada tokoh spiritual Mbah Secamenggala. Tokoh ini mengambil porsi besar dalam kehidupan sosial. Hal tersebut terbukti dengan adanya aturan, tentang boleh dan tidaknya sesuatu dilakukan, yang menggunakan tokoh tersebut sebagai legitimator. Kepercayaan masyarakat pada seorang tokoh, yang diterima dari pendahulunya, mengharuskan seseorang patuh agar tidak dianggap sembrono. Sisipan cerita rakyat ini tetap relevan karena pada dasarnya masih tetap hidup, bahkan Ahmad Tohari mampu menyandingkannya dengan latar sejarah tahun 60an.

Primordialisme mestinya bukan milik Kang Tohari. Kecintaan pada nilai-nilai lokal perlu dibangun, tak sekedar sebagai sumber inspirasi. Tentu saja kecintaan tersebut akan menjadi senjata yang ampuh bagi eksistensi sastra Banyumas. Kini saatnya, sastrawan muda -pasca Kang Tohari- menunjukkan kecintaan tersebut melalui karya sastra. Sastrawan berhutang pada Banyumas atas inspirasi yang diberikan secara cuma-cuma, balasannya adalah karya nyata.

Surahmat
Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia Unnes Ketua Komunitas Nawaksara
Dari Forum Kompas, 9 Agustus 2008
http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/08/09/10321095/sastra.kulon.mengusung.primordialisme.

No comments:

Post a Comment