Kritik tajam Tjipta Lesmana terhadap sikap Aburizal Bakri (Ical) dan inkonsistensi politisi terekam sangat jelas dalam tulisan Ical dan Inkonsistensi Politisi Kita (Suara Merdeka, 10/10). Secara implisit ia katakan, ketegangan yang menyertai pemilihan Ketua Umum Partai Golkar adalah ketegangan memperebutkan kesempatan menuju kursi RI-1. Karena itulah kedua calon terkuat, Surya Paloh dan Aburizal Bakrie, rela jor-joran mengerahkan berbagai kekuatan.
Di luar motivasi tersebut, ketegangan konvensi Partai Golkar adalah ketegangan yang tercipta oleh ilusi kekuasaan. Dua kubu kekuatan besar, Surya Paloh dan Aburizal Bakri, memerlukan kekuasaan untuk mencapai kekuasaan lain yang lebih besar. Meski sikap keduanya terhadap pemerintah yang sedang berkuasa sangat berbeda, namun kedunya menginginkan kekuasaan.
Surya Paloh yang dalam masa pimpinan Jusuf Kalla duduk sebagai ketua Dewan Penasihat memang lebih vokal menyerukan supaya Golkar berada di kubu oposisi. Menurutnya, Golkar akan lebih berkembang jika mampu mengkritisi pemerintah meski harus jauh dari lingkar kekuasaan. Apalagi setelah terbaca, PDIP memunculkan sinyal akan bergabung dengan pemerintah, Golkar diharap mampu mewadahi kekuatan oposisi. Cara seperti ini diyakini Paloh sebagai cara paling efektif merebut simpati rakyat dan memenangkan partai pada Pemilu 2014.
Sikap berseberangan diambil Aburizal Bakri yang secara personal memang dikenal dekat dengan Presiden Yudhoyono. Beberapa hari setelah terpilih Ical berinisiatif menemui Yudhoyono, tokoh yang dalam Pilpres 2009 lalu sebenarnya berseberangan sikap politis.
Cara Ical mendekati Presiden menunjukkan hasratnya untuk tetap berada dalam lingkar kekuasaan. Golkar akan mendukung pemerintah, namun akan mengkritisi jika ada program yang tidak sejalan dengan kehendak rakyat, kurang lebih seperti itu. Dengan memilih sikap kompromistis seperti ini, praktis Golkar akan tetap menjadi partai penguasa sebagimana tradisinya.
Masa Depan Partai
Pilihan untuk menjadi oposan atau partai pemerintah adalah titik balik perkembangan partai beringin itu lima tahun ke depan. Jika sikap yang diambil tepat, Golkar bisa menemukan masa kejayaannya kembali, sesuatu yang satu dekade ini hanya menjadi romantisme. Sebaliknya, jika sikap (pimpinan) Golkar keliru, partai ini terancam mengerdil karena ditinggalkan para pendukungnya.
Pengerdilan beringin, menjadi bonsai yang indah dan bisa dipindah sesuka pemiliknya, sangat mungkin terjadi melihat iklim Golkar pasca Munas. Pengurus partai yang merasa kalah saat pemilihan Ketua Umum terancam hengkang karena Ical hingga sejauh ini belum berhasil melakukan rekonsiliasi setelah suksesi pimpinan selesai digelar. Kubu yang menang dan kalah masih tetap terdemarkasi oleh pilihan politik masing-masing. Bisa jadi, pengurus yang tidak dirangkul kembali oleh Ical akan meningglkan Golkar dan bergabung dengan partai kompetitor.
Kedua, pilihan Ical untuk bergabung dengan pemerintah, tidak akan mendapat dukungan sempurna oleh pimpinan partai di pusat dan daerah. Bagi sebagian besar pengurus Partai, Golkar telah menyatakan bercerai dengan Demokrat jelang Pilpres 2009 lalu, sehingga memilih bergabung kembali sama dengan menelan ludah sendiri. Ini pilihan yang sulit sebab ilusi kekuasaan berlawanan dengan pilihan ideologi.
Ical memang pernah mengungkapkan, pilihan menjadi opsisi atau bergabung dengan pemerintah bukanlah pilihan ideologis. Menjadi oposan atau bergabung dengan pemerintah menurut Ical hanyalah cara, sedangkan tujuannya adalah mewujudkan cita-cita bangsa. Namun bagi pengurus, oposisi atau propemerintah adalah pilihan yang prinsip sebab sangat menentukan perspektif dan sikap mereka terhadap sebuah permasalahan.
Jika akhirnya Golkar memilih menjadi partai pemerintah, itu adalah pilihan mengerdilkan partai. Keberhasilan Golkar membantu pemerintah menyelasiakn persoalan bangsa justru hanya akan membuat Demokrat menjadi raksasa. Sedangkan jika program pemerintah gagal, mau tidak mau, nama Golkar akan disangkutpautkan sebab dianggap turut bertanggungjawab.
Kondisi semacam ini menuntut Golkar harus bersikap lebih berani. Kesempatan untuk menjadi partai besar hanya bisa diperolah jika Golkar menjadi oposisi. Dengan bersikap kritis, menawarkan solusi yang realistis, pendukung Golkar perlahan akan kembali. Pilihan ini harus ditempuh sebab resiko yang akan ditimbulkan lebih kecil jika harus bergabung dengan pemerintah. Kecuali jika Golkar memang telah menjadi kendaraan politik pribadi bagi pimpinan partai.
Kesempatan 2014
Sebagimana dikatakan Tjipta Lesmana, yang membuat kursi Ketua Umum Golkar menjadi molek adalah kesempatan meraih kursi RI-1 pada 2014 nanti. Siapapun bisa menduga, modal jor-joran yang dikeluarkan Paloh dan Ical bukan sakadar untuk Golkar-1, melainkan tujuan yang lebih besar dari itu.
Iklim politik saat ini memang sangat memungkinkan Ketua Umum Golkar memenangkan Pilpres 2014 sebab nama-nama lama seperti Megawati, SBY, dan Amin Rais dipastikan tidak mencalonkan diri kembali. Setelah dua kali kalah Megawati dipastikan tidak akan mencalonkan diri kembali menjadi presiden. Sementara hingga sejauh ini PDIP belum bisa menampilkan nama baru yang mampu menggantikannya.
Begitupun SBY, tidak dapat kembali mencalonkan diri sebab tidak diperkenankan. Undang-undang membatasi jabatan presiden hanya bisa dijabat selama dua periode. Sedangkan Amin Rais yang dikenal sebagai president maker tidak mungkin mencalonkan karena telah ‘nyaman’ menjadi Bapak Bangsa dan memilih menyepi dari keriuhan pentas politik.
Tantangan terbesar Golkar untuk merebut RI-1 pada 2014 justru datang dari PKS, Gerindra, dan PKB. Ketiganya memiliki peluang karena memiliki pimpinan yang progresif. PKS yang produktif menghasilkan politisi-politisi muda komitmen mencalonkan presiden sendiri pada tahun 2014. Sedangkan Gerindra diperkirakan akan mencalonkan Prabowo kembali. PKB, meski selama ini tidak pernah terdengar berencana mengumumkan pencalonan presiden, akan konsisten di bawah kepemimpinan muda Muhaimin Iskandar. Bahkan bisa jadi Muhaimin sendiri yang akan dicalonkan sebagai presiden, baik oleh PKB sendiri maupun koalisi.
Meski kekuatan PKS, Gerindra, dan PKB potensial, agaknya akan tetap sulit untuk menggeser Golkar. Karena ituah, Ketua Umum Golkar punya kesempatan mendapatkan kursi RI-1, sesuatu yang saya yakin dengan diam-diam diincar Surya Paloh, Aburizal Bakrie, Yudi Chrisnandi, dan Hutomo Mandala Putra melalui Munas Partai Golkar lalu.
Surahmat, Pengamat Politik pada Komunitas Nawaksara
http://citizennews.suaramerdeka.com/?option=com_content&task=view&id=1082
Wednesday, 13 January 2010
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment