Pemerintah sebagai penyelenggara pendidikan formal sadar betul bahwa pendidikan nasional yang sudah dan tengah berjalan memiliki beberapa kelemahan. Karena itulah berbagai pembaruan dalam bidang pendidikan nasional terus diupayakan. Mulai dengan merevisi kurikulum lama, mengganti kurikulum, menyusun standar isi baru, hingga coba mereplikasi kurikulum yang telah berjalan di negara lain.
Setelah kurikulum 1994, kurikulum 2004, sekarang kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) Namun sejauh ini, berbagai inovasi pendidikan tersebut belum cukup mampu menghasilkan tenaga muda yang terampil dan profesional seperti yang dikehendaki pasar kerja. Diperlukan pla pembelajaran yang dapat menjembatani peserta didik pada dunia kerja, seperti link and match.
Undang-undang dasar RI tahun 1945 pasal 31 sebagai cikal bakal sumber hukum bagi pendidikan di Indonesaia dengan jelas menyebutkan bahwa ‘tiap-tiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran’. Sedangkan pada ayat kedua disebutkan bahwa ‘pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan sistem pengajaran nasional yang diatur dengan undang-undang’.
Atas dasar dua ayat tersebut pemerintah berkewajiban menyelenggarakan sistem pendidikan yang dibutuhkan oleh tiap-tiap warga negara. Namun seiring berkembangnya zaman, pendidikan bukan hanya monopoli pemerintah semata. Untuk menuju pendidikan formal yang ideal, atau paling tidak mendekati ideal, diperlukan sistim yang fleksibel sesuai perkembangan zaman.
Kemajemukan bangsa Indonesia, baik budaya, geografis, bahasa dan lain sebaginya adalah sesuatu yang membanggakan bangsa ini. Namun tidak dipungkiri kemajemukan tersebut juga tidak memungkinkan kita menerapkan sistem pendidikan nasional yang dapat dilaksanakan di setiap daerah. Kondisi di masing-masing daerah yang berbeda tentu saja menuntut perlakuan berbeda. Karena itulah pendidikan nasional harus dibuat sefleksibel mungkin agar selain dapat menyesuaikan diri dengan perubahan global namun tetap sesuai sesuai dengan kebutuhan masyarakat di sekitarnya.
Rencana mendiknas M. Nuh menghapuskan SNMPTN bisa dipahami sebagai usaha memebanahi manajemen pendidikan kita. Meski demikian, sebelum kebijakan tersebut diimplementasikan ujian nasional memerlukan berbagai perbaikan. Kasus kecurangan dan potensi yang menyertainya harus diminimalisir supaya ujian nasionl relevan digunakan sebagai seleksi masuk perguruan tinggi. Dengan begitu, mendiknas membuktikan bahwa kebijakannya tidak sekadar menggebrak, namun bermakna secara substansi.
Surahmat
Pegiat Komunitas Nawaksara Banjarnegara
Thursday, 14 January 2010
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment