Jika Oemar Bakri, tokoh guru dalam lagu Iwan Fals, benar-benar ada dan masih mengajar, mungkin sepedanya telah berganti. Pascasertifikasi guru sekolah dasar itu mungkin lebih memilih menggunakan sepeda motor. Meski tidak pernah ada jaminan kualitas mengajarnya lebih baik setelah kesejahteraannya meningkat.
Profesi guru dulu digambarkan sebagai profesi yang amat mulia, hingga gelar pahlawan tanpa tanda jasa disematkan. Namun kondisi itu berbeda karena guru menjadi pekerjaan yang menjanjikan secara materi. Akibatnya muncullah pengajar yang bekerja layaknya guru namun bukan guru.
Ada tiga jenis pengajar dalam dunia pendidikan Indonesia, yakni pengajar, pendidik, dan guru. Ketiganya memiliki tugas yang sama namun tanggungjawabnya berbeda. Pertanggungjawaban itulah yang kemudian menentukan totalitas mereka dalam menjalankan tugas.
Pengajar adalah pekerja di bidang pendidikan yang bertugas mengajar peserta didik. Secara sumir tugasnya diartikan sebagai tugas memenuhi kaidah pengajaran sesuai dengan silabus dan Rencana Program Pengajaran. Ketika tugas administrasi datang, seperti memasukkan nilai hasil evaluasi, seorang pengajar akan memberinya nilai sesuai prosedur evaluasi. Sedangkan peserta didik sebagai subjek pembelajaran tidak mendapatkan evaluasi yang memadai.
Berbeda dengan keduanya, pendidik adalah profesi yang menuntut keterampilan, keahlian, sekaigus totalitas dalam mendidik. Dalam melaksanakan tugasnya, seorang pendidik akan menggunakan keterampilannya agar bahan ajar diserap dengan baik oleh peserta didik. Ia mengevaluasi dengan membandingkan kondisi peserta didik sebelum dan sesudah dididik.
Sedangkan guru bukan profesi pendidik, melainkan sebuah bentuk pengabdian untuk mencerdaskan dan membekali peserta didik dengan pengetahuan, keterampilan, dan sikap mental. Motivasi mengajarnya pun berganti, bukan sekedar memenuhi tugas profesi agar tidak ditegur atasan apalagi memperoleh materi, melainkan bekerja sepenuh hati meningkatkan kualitas hidup anak didiknya. Sebagai bentuk pengabdian, maka tanggung jawabnya bukan berupa laporan hasil evaluasi, namun secara moril kepada Tuhan dan masyarakat.
Dari tiga kategori di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa tenaga kependidikan di Indonesia masih didominasi oleh para pengajar. Meski memiliki status sosial sebagai guru, sejatinya mereka hanya mentranfer ilmu kepada anak didiknya. Maka tidak nampaklah perbedaan mereka dengan mentor lembaga pelatihan keterampilan atau bimbingan belajar.
Di sisi lain banyak ‘guru’ yang tidak berprofesi sebagai pendidik di berbagai pelosok tanah air. Mereka mengajar setulus hati di sekolah terpencil meski dengan gaji dan fasilitas amat terbatas. Bahkan ada seorang guru yang digaji dengan delapan puluh liter beras per tahun.
Kondisi tersebut menggambarkan telah terjadi dehumanisasi profesi guru, dari sebuah profesi penuh kehormatan, pengabdian, dan kesukarelaan menjadi sebuah pekerjaan yang sumir mengejar gaji atau tunjangan.
Sertifikasi
Kebijakan sertifikasi guru sebagaimana diatur Permendiknas nomor 18 tahun 2007 sejatinya memang untuk meningkatkan profesionalitas guru. Dengan begitu kualitas pembelajaran di kelas meningkat sehingga dapat menghasilkan lulusan berkualitas. Karena itulah guru, selain mengajar diharap aktif meningkatkan keterampilan dan pengetahuannya melalui berbagai kegiatan workshop, seminar, lokakarya, atau pelatihan lain.
Koentjaraningrat (1976) menulis ada beberapa mentalitas khas bangsa Indonesia yang menjadi kendala pembangunan, antara lain, suka menerabas, percaya takhayul, dan tidak disiplin. Guru sebagai komunitas yang hidup di tengah komunitas yang lebih besar (masyarakat) tampaknya belum mampu lepas dari stereotip di atas. Perangai guru dalam melakoni peran pribadi maupun menjalankan tugasnya juga kerap tidak disiplin bahkan suka menerabas.
Faktanya, untuk memperoleh bobot pada portofolio sebagai salah satu syarat lolos sertifikiasi, guru tidak belajar terlalu banyak. Seminar pendidikan, lokakarya, workshop atau pelatihan lain yang belakangan banyak diikuti guru justru untuk mengakali Permen No. 18 tahun 2007 yang mengatur sertifikasi melalui portofolio. Konskuensinya, meski guru rajin mengikuti pelatihan di berbagai bidang, kualitas pembelajaran yang dikembangkan tidak banyak berubah.
Reorientasi profesi guru menjadi sebuah pekerjaan ditandai dengan sedikitnya inovasi pendidikan dari para pekerja pendidikan. Bahkan hanya segelintir guru yang rutin menulis atau melakukan penelitian. Akibatnya pembelajaran mengalami kemampatan baik media pembelajaran, metode, maupun strateginya.
Ironi ini dimulai saat proses seleksi menjadi guru. Mekanisme perekrutan guru amat longgar sehingga siapapun yang lolos tes bisa menjadi guru. Pada beberapa sekolah, baik negeri maupun swasta, masih banyak guru yang diterima melalui tes mandiri tanpa standar nasional profesi guru. Padahal sebagai pendidik kualifikasi guru amat kompleks tak dapat diukur hanya dengan kumpulan soal yang diujikan saat tes CPNS.
Profesi guru yang memiliki wadah organisasi mestinya memiliki kualifikasi standar. Karena mendidik tidak hanya memerlukan seperangkat keterampilan tetapi juga pengabdian, persyaratan guru menjadi amat kompleks. Ini penting dilakukan karena guru menjadi soko guru keperhasilan pendidikan. Lahirnya guru profesional diharap mampu mendorong berbagai inovasi pembelajaran, bukan guru yang hanya vokal menuntut tunjangan dan mengeluhkan kesejahteraan.
Surahmat
Pegiat Komunitas Nawaksara Banjarnegara
Thursday, 14 January 2010
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment