Wednesday 13 January 2010

Isu Primordial di Pilkada Banjarnegara

Pemilihan Bupati dan walikota ternyata tidak hanya untuk memilih pimpinan daerah. Pesta demokrasi lokal itu juga bisa menjadi parameter sikap masyarakat terhadap diri dan lingkungannya, termasuk dalam memandang demokrasi. Bahkan, kematangan politik lokal sebagai akibat logis dari otonomi daerah juga bisa dilihat.
Selama ini Pilkada masih dianggap formalitas perebutan kekuasaan. Tidak hanya antarpartai, tetapi antargolongan dalam masyarakat. Tendensi kepentingan kelompok membuat pemilih dalam Pilkada tidak bisa bersikap objektif. Mereka ingin supaya kelompok yang didukungnya menang ; berwenang dan berkuasa.

Isu pirmordial
Anggapan semacam itu biasanya memicu kelompok memperjuangkan kepentingan kelompoknya secara berlebihan. Isu primordial yang sebenarnya berpotensi meretakan jalinan dalam masyarakat sengaja dihadirkan sebagai usaha menjaga eksistensi sebuah kelompok dalam peta pergaulan supaya tetap berada pada posisi superior. Konkritnya, primordialisme dilakukan dengan membangga-banggakan kelompok sendiri dengan menafikan kelompok lain.
Dalam penyelenggaraan Pilkada primordialisme seringkali dimunculkan kubu seorang calon untuk memperkuat posisinya. Mereka mempersoalkan asal wilayah lawan politik supaya konstituen calon tersebut mengubah haluan dukungan. Dengan cara seperti ini, konstituen lawan politik diharapkan berpindah untuk memperkuat pihaknya.
Meski terbukti gagal, praktik semacam ini pernah terjadi pada Pilkada Banjarnegara 2006 silam. Saat itu ada tiga calon bupati yang satu di antaranya merupakan warga pendatang, dalam arti tidak dilahirkan di bumi Banjarnegara. Asal daerah diungkit lawan politik sebagai pintu membuka persoalan komitmen terhadap daerah. Sebab, selama ini berkembang anggapan, daerah akan lebih baik jika dipimpin putra daerah.
Meski Pilkada Banjarnegara baru akan digelar pada 2011, isu primordial dimungkinkan kembali muncul. Apalagi dalam peta pencalonan Bupati yang belakangan muncul beberapa calon diketahui bukan kelahiran Banjarnegara. Kemungkinan besar, isu asal-usul calon akan kembali mengemuka.
Tidak hanya di Banjarnegara, isu primordial juga dimungkinkan mewarnai gelaran Pilkada di Jawa Tengah tahun ini. Apalagi selama 2010 setidaknya ada 17 daerah yang akan melangsungkan pemilihan kepala daerah. Kabupaten Kebumen dan Kota Pekalongan dijadwalkan 5 Juni, Kota Semarang dan Kabupaten Kendal 26 Juni, Rembang, Kota Magelang, Sukoharjo, Blora, Boyolali, Pubalingga, dan Surakarta pada 27 Juni.
Selain itu Pilkada juga dijadwalkan berlangsung di Kabupaten Semarang pada 31 Agustus, Wonosobo 4 September, Wonogiri pada 17 September, Klaten tanggal 24 September, dan Pemalang 27 November.
Dari 17 daerah yang menggelar Pilkada tidak semua calon adalah putra daerah. Partai politik seringkali menafikan asal calon karena lebih mempertimbangkan ketokohan dan peta dukungan. Sebab, putra daerah belum tentu memiliki peluang menang lebih besar dibanding calon dari luar.

Perspepsi kekuasaan
Munculnya isu primordial yang diikuti penolakan terhadap calon nonputra daerah ternyata terkait dengan persepsi kekuasaan yang berkembang dalam masyarakat belakangan ini. Sebagian anggota masyarakat masih menganggap posisi sebagai bupati dan walikota adalah penguasa, bukan pemimpin. Mereka khawatir pembangunan daerah sulit berkembang karena ‘dikuasai’ pendatang.
Datangnya calon dari luar daerah dapat terjadi melalui beberapa proses. Pertama, calon kelahiran daerah dan tercatat secara adminsitratif sebagai penduduk namun lama bermukim di luar daerah. Bakal calon serta merta pulang saat Pilkada akan digelar sehingga dianggap tidak memiliki ikatan emosional dengan penduduk setempat.
Kedua, calon kelahiran luar kota namun telah lama tinggal daerah dan tercatat sebagai penduduk setempat. Meski mengetahui dinamika masyarakat setempat calon ini dianggap tidak punya ikatan moril dengan daerah yang dipimpin. Ia dianggap sebagai perantau yang suatu saat akan kembali ke kampung halamannya.
Sejauh ini diskursus mengenai sikap primordial memang hanya berada dalam dimensi etis. Undang-undang mengatakan bahwa Pilkada bisa diikuti oleh calon dari partai atau perseorangan asal memiliki kelengkapan administrasi. Artinya, siapapun yang memenuhi syarat administrasi bisa mengikuti Pilkada meski selama ini tidak tinggal atau lahir di daerah bersangkutan.
Meski hanya pada dimensi etis, isu primordial ternyata berpotensi memecah belah masyarakat. Gencarnya kampanye hitam yang primordial dikhawatirkan akan mendikotomikan warga menjadi putra daerah dan warga pendatang sehingga berakibat buruk pada ikatan tali sosial masyarakat.
Untuk mencagahnya, calon bupati dan walikota mestinya tidak menggunakan isu tersebut selama kampanye. Selain tidak berpotensi melahirkan perpecahan, isu kedaerahan sangat tidak substansial dan justru mengaburkan esensi Pilkada. Sebab, kapasitas kepemimpinan seseorang tidak diukur dari asal daerahnya, melainkan komitmen dan kapabelitasnya.

Surahmat
Pegiat Komunitas Nawaksara Banjarnegara

No comments:

Post a Comment