Wednesday, 13 January 2010

Jalan Pemuda akan menjadi Kawasan Niaga?

Beberapa saat lalu sebuah polling menarik tampil di banjarnegarakab.go.id, laman milik Pemerintah Kabupaten Banjarnegara. Pertanyaan dalam polling tersebut berbunyi; setujukah anda jika jalan pemuda Banjarnegara dijadikan kawasan niaga? Administrator website itu memang tidak mencantumkan berapa hasil pollingnya, tapi hal ini menarik dicermati karena punya kaitan erat dengan kehidupan masyarakat.
Kawasan niaga tampaknya telah mengalami konotasi. Dulu kawasan niaga identik dengan hingar-bingar keramaian kota tampat transaksi jual beli. Dari proses transaksi itu kemudian muncul efek lain, seperti keramaian, kepadatan, juga perputaran uang yang cepat. Namun sekarang citra kawasan niaga menajdi negatif karena keberadaannya kerap mengusik eksistensi pasar tradisional.
Ketika administrator laman Pemkab Banjarnegara memasang polling tentu memiliki maksud tertentu. Selain untuk mengetahui tanggapan masyarakat tentang rencana itu, bisa jadi Pemkab sedang memperkenalkan programnya mengubah jalan Pemuda menjadi kawasan niaga. Maksud ini juga bisa diartikan sebagai alat mengundang investor dan stake holder lain.
Jalan pemuda di Banjrnegara adalah jalan utama yang melewati alun-alun, ke arah timur melewati SMK Cokroaminoto, SMA Muhamadiyah, kantor pos, kantor DPRD, dan berujung di perempatan pasar, persis di depan Mapolres Banjarnegara. Sepanjang jalan Pemuda setidaknya ada beberapa fasilitas publik, antara lain sekolah, kantor pos, gedung DPRD, dan Mapolres. Fasilitas publik tersebut harus dipertimbangkan benar keberadaannya jika Pemkab berencana membangun kawasan niaga. Kawasan niaga dikhawatirkan menggusur area publik menjadi area komersil sehingga pelayanan publik terganggu.
Ada perbedaan besar antara kawasan niaga dengan kawasan publik. Kawasan niaga selalu berorientasi pada materi. Sebagai keniscayaan pasar, pengusaha yang menanam investasi berharap mendapat untung melalui aktivitas ekonominya. Karena itulah kawasan niaga memunculkan persaingan ketat antar pengusaha. Hal ini bebeda dengan areal publik yang mestinya senantiasa mengutamakan kepentingan masyarakat sebagai pihak yang paling berhak menggunakannya.
Mengingat fungsi keduanya amat berbeda, dikhawatirkan akan terjadi sengketa kepentingan antara pengguna kawasan niaga dengan masyarakat. Sengketa kepentingan, apalagi atas sebuah kawasan, tentu sebisa mungkin dihindari karena bisa merangsek pada persoalan yang lebih kompleks. Sengketa tanah umumnya berlarut-larut dan berpotensi melahirkan konflik.

Potensi konflik
Ichsan Malik (2006) mengungkapkan ada hubungan kronologis antara perbedaan, sengketa, dan konflik. Perbedaan adalah kondisi alami yang terjadi karena kodrat manusia. Perbedaan kepentingan atas suatu wilayah juga merupakan sifat yang alamiah selama tidak ada rekayasa sosial. Bersengeketa merupakan situasi persaingan antara dua pihak yang ingin meletakan hak atas suatu benda atau wilayah. Sedangkan konflik bukan merupakan sebuah perbedaan, tapi mulai menunjukkan adanya praktik-praktik penghilangan hak atas pihak lain.
Perbadaan kepentingan antara anggota masyarakat dengan pelaku usaha adalah sesuatu yang lumrah. Pengusaha mendasarkan kegiatannya atas motif ekonomi untuk mendapatkan keuntungan sesuai modal yang ditanamkan. Berrbeda dengan kepentingan masyarakat, yang kepentingannya sangat komunal. Masyarakat mengharapkan hak-haknya sebagai anggota masyarakat tetap menjadi prioritas sebagai kompensasi atas pajak yang telah mereka bayarkan kepada pemerintah.
Perbedaan kepentingan sebenarnya terlihat pada setiap pengguna sebuah kawasan, tak terkecuali jalan Pemuda. Perbedaan itu seringkali bias karena berseberanagn dari titik yang sebenarnya masih sangat dekat. Contohnya, seorang pedagang di pasar tradisional kepentingannya untuk berjualan akan terganggu jika ada swalayan yang berdiri di sekitar tempatnya. Begitupun dalam relasi masyarakat-pengusaha, bisa terjadi perbedaan kepentingan.
Dalam konsep Ichsan Malik tanah adalah kekayaan masyarakat yang bersifat legal. Penguasaan terhadap suatu wilayah, sekecil apapun, harus menempuh proses legal yang rumit. Misalnya, seorang pengusaha berencana membangun toko di tanah yang dibelinya harus memperhatikan efek sosial yang ditimbulkan. Mengingat jalan Pemuda adalah jalan utama kota, menjaga legalitas kawasan itu sangat penting agar hak-hak masyarakat atas wilayah itu tidak terganggu.

Seimbang
Perbedaan kepentingan atas sebuah wiayah sebenarnya tidak akan menjadi masalah jika pelbagai kepentingan terkaomodasi dengan baik. Dalam satu kawasan tidak ada pihak manapun yang lebih memiliki kewenangan dari pihak lain. Untuk mewujudkan peran dan hak yang seimbang tentu diperlukan maping yang jelas. Dalam hal ini Pemda harus menjamin masing-masing pihak tidak berbenturan kepentingan.
Penguasaan lahan yang berimbang bisa dimulai dengan memberikan batasan yang jelas. Mengingat jalan Pemuda adalah area publik, harus ada pemetaan yang membedakannya dengan kawasan niaga. Batas-batas itu kemudian dirumuskan dalam keputusan bersama yang memuat sanksi. Dengan alasan apapun pengusaha tidak diperkenankan menguasai suatu wilayah jika kepentingan masyarakat yang dijadikan pertaruhan.
Model cluster juga bisa menjadi alternatif untuk tetap membatasi pembedaan fungsi kawasan niaga dan areal publik. Masing-masing wilayah yang telah dipetakan dibuat cluster sesuai peruntukan. Misalnya, kawasan niaga modern harus tetap terpisah dengan pasar tradisional agar keduanya tetap jalan. Contoh lainnya, kawasan niaga yang berkembang menuju industri harus terpisah dengan komplek pendidikan (sekolah).
Model cluster diharapkan mampu menjaga kawasan terjaga sesuai peruntukannya. Kota-kota besar di Indonesia telah mengalami ‘trauma ketidaknyamanan’ karena membaurnya kawasan niaga dengan area publik. Agar tidak mengalami permasalahan serupa Banjarnegara harus belajar. Jangan sampai area publik di kota yang ‘gilar-gilar’ itu tergusur hingar-bingar kegiatan ekonomi.

Surahmat
Pegiat Komunitas Nawaksara di Banjarnegara

No comments:

Post a Comment