Selain diperingati sebagai bulan bahasa, Oktober juga dikenal sebagai bulan pemuda. Pada bulan tersebut kita diajak merenungi peristiwa Sumpah Pemuda yang terjadi 28 Oktober 81 tahun silam. Dalam sejarah kebangkitan nasional, sumpah pemuda adalah peristiwa monumental. Setidaknya sumpah pemuda menjadi salah satu batu loncatan hingga bangsa ini meraih kemerdekaan.
Merenungkan sumpah pemuda, kita sering diantar pada keprikhatinan yang mendalam ketika membanndingkan pemuda era 1928 dengan pemuda sekarang. Jika teliti kita akan menemukan berbagai ketimpangan pada pemuda di dua jaman tersebut. Benarkan pemuda Indonesia sekarang mengkhianati sumpahnya?
Setelah lelah dijajah imperealis asing hingga 350 tahun, pemuda Indonesia bertekad merdeka. Mereka sadar perjuangan yang dilakukan secara kedaerahan ternyata tidak cukup ampuh mengusir penjajah. Melalui kongres pemuda mereka berinisiatif mewujudkan kekuatan yang menunggal.
Tanggal 28 Oktober 1928, perwakilan pemuda dari seluruh Indonesia berikrar berbangsa satu, bertanah air satu, dan menjunjung tinggi bahasa persatuan yakni bahasa Indonesia. Sumpah pemuda adalah manifestasi kebulatan tekad pemuda Indonesia, sekaligus monumen tonggak perjuangan bangsa. Mereka, pemuda dari berbagai latar belakang sepakat menggalang kekuatan mewujudkan impian menjadi bangsa yang berdaulat. Ikrar mereka terbukti ampuh, meski bukan semata-mata karena sumpah pemuda, 17 tahun setelah peristiwa tersebut, Indonesia merdeka.
Kondisi di atas tampaknya telah berubah. Dinamika global membawa pemuda Indonesia pada kondisi baru yang kontradiktif. Jika pemuda 1928 lahir dari kesengsaraan, pemuda sekarang justru dibesarkan oleh kemudahan. Perkembangan jaman menghadiahi pemuda Indonesia fasilitas serba nyaman hingga mereka terninabobokan. Hedonisme dan iklan yang menawarkan berbagai kemudahan instan mengalahkan idealisme hingga lupa peran sosial sebagai soko guru pembangunan.
Kemudahan fasilitas membuat pemuda Indonesia terjebak pada dua bentuk pengkhianatan terhadap leluhurnya. Pertama, secara ideologis semangat kesederajatan dan egaliter yang dibumbungkan pemuda pada masa itu telah dikhianati. Mereka mengarusutamakan kepentingan bangsa, mewujudkan bangsa yang merdeka, sementara pemuda saat ini memprioritaskan kepentingan diri dan golongan.
Dulu semngat demokratisasi muncul sebagai kristalisasi keinginan hidup merdeka secara bersama-sama. Berbeda dengan saat ini, demokrasi dielu-elukan karena dapat dimanfaatkan sebagai sarana memupuk kepentingan pribadi. Atas nama demokrasi kita jusutru mengedepankan kepentingan karir politik dengan berbut jabatan. Bahkan atas nama demokrasi semngat chauvinsime digelorakan demi kepentingan golongan.
Pengkhianatan kedua
Selain semangat kebangsaan yang dikhianati, pengkhianatan kedua dilakukan dengan mengingkari teks-teks Sumpah Pemuda. Kita telah merubah teks dengan idealisme dan semngat kebangsaan menjadi tuturan-tuturan heroik yang hanya patut diteriakan. Pemuda Indonesia saat ini telah alpa menjalani butir-butir Sumpah Pemuda yang dirumuskan para pendiri bangsa.
Sumpah adalah ucapan yang wajib ditepati. Oleh para penggagasnya, sumpah pemuda memang telah dilaksanakan. Mereka rela menyingkirkan kepentingan pribadi dan golongan demi kemerdekaan nasional. Namun sumpah yang bergaung 80 tahun lalu itu mulai dilupakan. Sumpah bahwa pemuda Indonesia berbangsa satu, bertanah air satu, dan menjunjung tinggi bahasa persatuan nyaris dilupakan.
“Kami putra dan putri Indonesia, mengaku berbangsa satu bangsa Indonesia.” Bangsa adalah sekelompok orang yang menempati suatu wilayah dan memiliki impian, visi dan tujuan yang sama. Berbangsa satu mestinya berarti memiliki impian, visi dan tujuan yang sama untuk diwujudkan bersama-sama. Jika tujuan pemuda Indoensia pada 1928 adalah meraih kemerdekaan, maka tujuan pemuda Indonesia sekarang adalah mengisinya dengan pembangunan. Amat disayangkan jika pemuda terjebak primordialisme. Sudah sepatutnya jika semangat dan kerja keras pemuda didedikasikan pada negara, bukan hanya pada golongannya.
“Kami putra dan putri Indonesia, mengaku bertanah air satu, tanah air Indoensia.” Bertanah air satu berarti memiliki keterikatan sebagai sebuah negara. Konskuensinya, sebagai sebuah negara kita memiliki kewajiban melangkapi satu sama lain. Kita memiliki 33 provinsi di seluruh nusantara, permasalahan salah satu provinsi adalah masalah Indonesia. Maka sebagai saudara, sepatutnya kita saling mebantu, bahu membahu memecahkan persoalan bersama. Jelas ini bertolak belakang dengan integritas masyarakat kita sekarangf. Mereka justru kerap membumbungkan isu disintegrasi atas nama pemerataan..
“Kami putra dan putri Indonesia, mengaku menjunjung tinggi bahasa persatuan, bahasa Indonesia.” Menjunjung tinggi berarti menghormati, memelihara, sekaligus menjaganya. Bahasa Indonesia adalah simbol persatuan, karena itulah komitmen kita dalam memelihara bahasa Indonesia mencerminkan integritas kita. Agaknya hal itu mulai diingkari pemuda Indonesia saat ini. Atas nama kesejagatan mereka lebih senang menggunakan bahasa asing. Bahasa Indonesia sendiri belakangan seperti mengalami kerusakan berkepanjangan.
Meski penutur asli bahasa Indonesia, banyak pemuda tidak mampu menggunakan bahasa Indonesia dengan baik. Mereka mencampuradukkan tuturan bahasa Indonesia dengan berbagai bahasa asing, termasuk menggunakan istilah asing tanpa penyerapan. Akibatnya tidak bisa disepelekan, penggunaan istilah asing yang berlebih membuat bahasa Indoensia seperti kehilangan jati diri. Akhirnya, bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan hanya menjadi formalitas, bukan alat komunikasi efektif.
Pernyataan di atas memaksa kita merenung lebih lama, benarkah kita telah mengingkari sumpah pemuda? Lugasnya, apakah kita telah menjadi pengkhianat dengan menafikan sumpah leluhur kita?
Keinginan untuk menafikan cita-cita luhur tentu saja tidak ada, tapi harus diakui pemuda Indonesia terlalu lemah untuk mengamalkannya. Tidak hanya pengkhianatan terhadap teks-teks Sumpah Pemuda, kita melakukan pengkhianatan kedua dengan menafikan semangat kebangsaan yang digelorakan lelhuru kita.
semangat sumpah pmeuda adalah semngat kesederajatan. Namun
“Kami putra dan putri Indonesia, mengaku telah berbuat dosa mengkhianatai Sumpah Pemuda. Kami bertobat.”
Surahmat
Pegiat Komunitas Nawaksara Banjarnegara
Wednesday, 13 January 2010
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment