Thursday, 14 January 2010

Logika Terbalik Penanganan Kekeringan

Tari Ujungan yang berasal dari Kecamatan Susukan, Banjarnegara tampaknya perlu kita renungkan pesannya dalam waktu dekat ini. Tari tradisi yang dulu digunakan penduduk setempat sebagai ritual minta hujan itu menyindir masyarakat yang tak lagi bersahabat dengan alam. Masyarakat senang menhamburkan kelimpahan air saat musim penghujan, sedangkan pada musim kemarau hanya bisa meratapi akibatnya.
Gambaran sikap masyarakat dalam tari Ujungan sangat kentara belakangan ini. Masyarakat kita masih gemar memaknai sesuatu hanya setelah sesuatu terjadi. Saat kekeringan melanda kita baru sadar dan saling menyerukan perlu dilakukan upaya preventif. Para pengamat mulai menyarankan agar dilakukan mitigasi di daerah yang rawan. Padahal kekeringan sudah melanda dan dirasakan akibatnya.
Melakukan mitigasi di saat seperti ini sama halnya mengusulkan pengerukan kali saat banjir mulai melanda. Saat ini masyarakat sudah telanjur resah oleh kekeringan. Di Wonogiri, salah satu daerah paling rawan kekeringan di Jawa Tengah, sebagian penduduk terpaksa mengonsumsi air kotor yang didapat dengan mengais air dari telaga buatan di sekitar pemukiman mereka (Indosiar.com, 18/7).
Sindiran dalam Tari Ujungan menunjukkan bahwa logika penanganan kekeringan tampaknya sudah terbalik. Saat kekeringan mulai dirasakan orang baru bicara tentang mitigasi, sedangkan saat musim hujan seolah tidak terjadi apa-apa. Masyarakat menikmati pasokan air yang melimpah tanpa persiapan antisipasi kekeringan musim depan. Padahal bagi masyarakat di Jawa Tengah kekeringan sudah menjadi anualitas.
Mengingat kekeringan sudah cukup parah, penanganan kekeringan harus diusahakan sesuai kebutuhan masyarakat. Diperlukan usaha praktis yang hasilnya dapat dinikmati dalam waktu dekat. Tentu saja usaha tersebut dilakukan tanpa meninggalkan usaha jangka panjang.

Solusi Jangka Pendek
Dalam istilah Toto Subandriyo (Suara Merdeka, 22/7) upaya jangka pendek berarti upaya ‘memadamkan kebakaran’. Artinya, usaha ini diperlukan untuk meredam akibat yang sudah timbul, seperti kelangkaan air bersih dan kekeringan area pertanian. Kedua hal itu dianggap patut diprioritaskan karena punya efek langsung dengan kehidupan masyarakat. Air bersih diperlukan untuk menjaga kelangsungan hidup, sedangkan pengairan area pertanian untuk menjamin stok bahan pangan.
Di sejumlah daerah pasokan air bersih dilakukan dengan menyuplai air bersih dengan tangki-tangki air. Pemerintah setempat melalui PDAM menyisir daerah yang krisis air lalu memberikan bantuan air. Meski bisa langsung dirasakan manfaatnya, cara seperti ini kurang efektif.
Suplai air bersih dengan tangki ternyata tidak mampu menjangkau setiap daerah. Truk tangki tidak mampu menjangkau daerah-daerah di lereng gunung meski penduduk sangat memerlukannya. Apalagi karena kemarau tahun ini diprediksi akan berlangsung lama, dan baru mencapai puncaknya pada Agustus nanti, pemerintah daerah tidak mungkin menyuplai air terus menerus.
Selain menyuplai air bersih sebenarnya sumur bor cukup efektif menanggulangi kekeringan, utamanya di daerah kritis. Hal ini terbukti setelah Pemerintah Provinsi Jawa Tengah membuat sumur bor sejak 2003 lalu. Sayangnya hingga kini Pemprov baru membuat 44 sumur bor di sejumlah kabupaten. Padahal idealnya, seluruh daerah yang secara hidrologis memenuhi syarat harus memiliki sumur bor.

Sektor Pertanian
Setelah kebutuhan air bersih, prioritas selanjutnya adalah memastikan pasokan air di sektor pertanian. Langkah ini perlu dilakukan secara mandiri karena tidak setiap daerah memiliki waduk untuk menjamin kebutuhan pengairan. Bahkan dari 72 waduk di Indonesia yang dipantau kondisi airnya, ternyata 23 waduk dalam kondisi kering.
Antisipasi bagi warga yang areal pertaniannya jauh dari waduk bisa dilakukan dengan membuat embung atau kolam besar yang diharapkan dapat terus mengeluarkan air di musim kemarau. Upaya ini dapat dilakukan secara mandiri oleh masyarakat meski dalam proses pembuatannya perlu memilih sumber air yang mengalir sepanjang tahun.
Pada saat seperti ini embung sangat diperlukan untuk beberapa tujuan, termasuk menjaga produktivitas lahan. Embung digunakan untuk menjaga intensitas tanam agar petani tetap memiliki pendapatan. Dengan begitu tenaga kerja di bidang pertanian bisa lebih produktif sehingga mengurangi tren urbanisasi yang selama ini banyak terjadi di musim kemarau.
Air embung dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan seperti mengairi tanaman padi dan palawija. Namun untuk pengairan padi perlu mempertimbangkan jumlah air yang ada. Pengairan untuk tanaman padi hanya dilakukan pada saat kritis, yaitu pada fase primordia (bunting), pembungaan, dan pengisian gabah. Air disalurkan ke petak pertanaman menggunakan pompa dan slang hingga kondisi tanah jenuh air.

Kearifan lokal
Usaha jangka pendek di atas tentu saja harus dibarengi dengan usaha jangka panjang. Mengingat kekeringan sebenarnya terjadi oleh ulah manusia, usaha itu harus disertai laku mawas diri. Kita harus merenungkan kembali mengapa alam begitu congkak hingga tak berkenan mengeluarkan air.
Usaha mawas diri perlu dilakukan dengan mempertimbangkan cara masyarakat kuno menjaga stok airnya. Dulu, meskipun kemarau terjadi tiap tahun namun tidak menyebabkan kekeringan karena masyarakat konsisten menjaga kesimbangan lingkungannya. Daerah alairan sungai (DAS) ditetapkan sebagai daerah larangan kelola untuk menjamin kelestarian tumbuhan. Untuk menjaga daerah resapan penduduk menanam bambu, aren, dan pinang.
Cara seperti itu sebenarnya telah diadopsi Parturan Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 22 Tahun 2003. Dalam aturan tersebut telah ditetapkan detail DAS diseluruh kabupaten di Jawa Tengah. Namun karena pengawasan terhadap pelaksanaan aturan ini lemah, masih banyak DAS yang dimanfaatkan sebagai lahan pertanian sehingga rusak. Akibatnya, kekeringan menjadi bencana rutin yang datang setiap tahun. Sementara kita hanya bisa mengeluhkan akibatnya.

Surahmat
Pegiat Komunitas Nawaksara banjarnegara

No comments:

Post a Comment