Saya tergelitik melihat iklan layanan masyarakat yang diluncurkan Kementrian Negara Koperasi dan Usaha Kecil Menangah (Menkop) yang ditayangkan stasiun televisi beberapa waktu lalu.. Iklan ini menarik bukan saja karena diperankan oleh Mat Solar, komedian kondang, tapi juga dekat dengan isu public belakangan ini. Tepat saat rakyat membutuhkan modal usaha, pemerintah menciptakan program Kredit Usaha Rakyat (KUR).
Iklan ini, awalnya menunjukkan seorang pengusaha kecil (Mat Solar) mengeluh karena tidak punya modal usaha. Serta merta kawannya datang dan menjelaskan ada program KUR dari pemerintah. Awalnya Mat Solar tak percaya, bahkan mencibir rekannya. Namun setelah dijelaskan, Mat Solar Tertarik. Di bagian akhir dimunculkan mentri Koperasi dan Usaha kecil menengah Suryadarma Ali di televisi. Ia menjelaskan kebenaran program KUR untuk membantu modal usaha rakyat dan Usaha Kecil dan Menengah (UKM).
Biasnya, iklan ini hanya memperkenalkan KUR sebagai program tanpa melengkapi keterangan bagaimana cara masyarakat memanfaatkannya. Di bagian closing, hanya dimunculkan logo kementrian disertai website yang bisa di akses. Sebagai iklan dengan sasaran rakyat menengah ke bawah iklan ini tidak cukup mencerahkan, terlebih karena sebagian besar masyarakat belum melek internet.
Dalam perekonomian nasional, UKM memang memberi sumbangan besar, terutama dalam penyerapan tenaga kerja. Asian Development Bank (ADB) mencatat ada sekitar 48,9 juta unit UKM di Indonesia, atau sekitar 99 persen dari seluruh badan usaha di Indonesia. Sedangkan tenaga kerja yang terserap tidak kurang dari 85,4 juta orang atau sekitar 98,18 persen dari total tenaga kerja (Kompas, 14/12/2001). Namun dari jumlah tersebut, hanya 50 persen yang sudah menikmati kucuran kredit.
Banyak hal yang menutup akses kredit usaha pada sektor UKM, termasuk asumsi perbankan bahwa sektor ini masih berisiko tinggi. Selain itu, pelaku UKM biasanya terkendala birokrasi dan mekanisme yang berbelit, atau bahkan, tidak memiliki agunan. Hingga saat ini, permodalan UKM masih di danai pihak ketiga. Padahal UKM adalah satu-satunya sektor yang tumbuh secara signifikan dalam bisnis perbankan. Bahkan, sektor ini yang ditengarai menyelematkan Indonesia dari krisis moneter berkepanjangan pada 1998.
Pinjaman Tanpa Agunan
Sektor UKM biasanya hanya mengandalkan modal pribadi sebagai penopang usaha. Jumlahnya juga tidak terlalu banyak. Dalam tingkat kecil, modal usaha kecil tidak lebih dari Rp. 5 juta. Namun karena keberanian spekulasi para pelaku usaha kurang, pengusaha kecil tidak coba mendapatkan kredit modal dari bank atau lembaga keuangan lain. Alasannya, mereka tidak terlalu mengerti aturan main perbankan. Bahkan bunga kredit perbankan dianggap terlalu besar sehingga takut tidak dapat membayarnya.
Inilah penyebab UKM mendek, tak kunjung ‘naik kelas’.. Padahal, untuk membuka dan mengembangkan pangsa pasar, UKM jelas membutuhkan pembiayaan yang relatif besar.
Dalam tataran ini, diperlukan kredit lunak yang tidak hanya berbunga rendah tapi juga tanpa agunan. Selama ini perbankan ragu mengucurkan kredit bagi UKM. Hal ini patut dimaklumi. Sebagai pemiliki modal, perbankan berhak menentukan pihak mana yang patut memperoleh kepercayaan dan mana yang tidak. Namun sebab program KUR didanai pemrintah, apakah bank masih memiliki wewenang?
Mengingat sasaran KUR adalah UKM, bahkan dimungkinkan pengusaha pemula, agunan memang memberatkan. Jika menggunakan agunan, nominal 5 juta dirasa terlalu kecil. Tapi jika perbankan menetapkan batas bawah kredit akan banyak usaha kecil yang sulit menjangkau. Dinilah peran aktif pemerintah untuk diperlukan untuk meminimalsir risiko kredit dengan bimbingan dan pengawasan usaha.
Program bantuan permodalan kepada UKM melalui kredit bersubsidi (bisa berupa kredit lunak tanpa agunan) sebenarnya telah diluncurkan pemerintah secara nasional pada tahun 1973. Dana kredit ini disediakan melalui Bank Indonesia yang bekerjasama dengan lima bank BUMN, dan 14 bank swasta sebagai penyalur. Namun tahun 1980-an, program ini bermasalah karena memunculkan kredit macet hingga 27 persen dari jumlah kredit yang disalurkan, sehingga dihentikan pada tahun 1990 Dampak traumatic ini yang menyebabkan perbankan sangat berhati-hati mengucurkan kredit kepada usaha kecil. Apalagi di era tahun 1998, selain banyak kredit bermasalah juga booming kartu kredit macet.
Sebelum KUR diluncuirkan, UKM sebenarnya cukup tertolong dengan aturan Bank Indonesia (BI) yang mewajibkan bank menyalurkan kredit hingga Rp 20 miliar, sesuai klasifikasi bank Namun jalur pendanaan ini sepertinya tidak terlalu diminati. Hal ini terlihat dari data persentase total kredit UKM terhadap total kredit yang dikucurkan perbankan pada kuartal pertama tahun 2007, tercatat sebesar 12,47 persen, atau turun dibandingkan kuartal kedua 2006 sebesar 13,44 persen (Kompas, 17/12/2007).
Agar gairah UKM dapat dikembalikan, suntikan permodalan harus terus diupayakan. Termasuk dengan memperluas distribusi modal hingga ke desa. Salah satu caranya, pencairan kredit tidak hanya dilakukan melaui bank, tapi juga paguyuban usaha. Mengingat salah satu penghambat permodalan UKM adalah kebernaian para pengusaha berspkeluasi, perlu program pinjaman yang melakukan pungutan pengembalian sesuai prosentase keuntungan usaha. Cara ini akan menghindarkan para pengusaha dari tekanan target pembayaran kredit. Sehingga para pengusaha leluasa mengembangkan usahanya sesuai kapasitas dan kemampuan yang dimiliki.
Namun, dalam hal ini perbankan harus bersikap proaktif dalam membina dan mengawasi penggunaan dana. UKM, terlebih yang dikelola pengusaha muda, memerlukan pelatihan dan pengawasan pengembangan usaha. Sudah semestinya perbankan memberikan sumbangsih bagi UKM, lebih dari modal.
Surahmat
Pegiat Komunitas Nawaskara
Wednesday, 13 January 2010
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment