Kehilangan Gus Dur bagi bangsa Indonesia adalah kehilangan guru sekaligus penghibur. Dengan berpulangnya Gus Dur bangsa Indonesia kehilangan petuah-petuah ragam perspektif. Bahkan, kepergian Gus Dur juga menyisakan rasa kehilangan atas lelucon-lelucon segar yang telah menjadi idntitas guru bangsa itu.
Lelucon menjadi identitas personal yang melekat erat pada Gus Dur dalam berbagai kesempatan. Baik dalam kapasitasnya sebagai ulama, seniman, cendikia, maupun politisi lelucon Gus Dur menjanjikan hiburan dan wacana segar bagi orang yang mendengarnya. Melalui lelucon orang bebas menertawakan kepongahan dirinya, kepongahan lingkungan, juga kepongahan bangsanya.
Meski demikian, lelucon Gus Dur adalah lelucon yang syarat makna karena dibangun dengan kesadaran terhadap kondisi diri dan lingkungan. Meski secara tekstual lelucon Gus Dur mengajak seorang tertawa, makna kontekstualnya selalu menjebak pendengarnya dalam perenungan panjang. Karena itulah lelucon tidak menjadi lawakan, melainkan alternatif sarana komunikasi.
Makna semiotis
Seperti koran, yang istimewa dari lelucon Gus Dur adalah kemampuan meramu aktualitas dengan kebutuhan masyarakat. Sebagai cendikia Gus Dur membangun lelucon dari pengetahuan tentang sesuatu yang mutakhir. Ia tanggap menjadikan lelucon sebagai bagian dari dialektika kehidupan. Karena itulah lelucon Gus Dur, sekalipun dibawakan dengan gaya penceritaan yang ajek, selalu menawarkan wacana baru.
Kepandaian Gus Dur mengaktualisasikan lelucon dalam berbagai bidang kehidupan menyatakan asbabun nuzul lelucon itu sendiri. Lelucon tidak hadir semata-mata sebagai proses kreatif berbahasa tapi menjadi representasi problematika bangsa. Seolah-olah lelucon menjadi alternatif pemecahan berbagai masalah bangsa. Apakah pemecahan yang disarankan Gus Dur adalah diam, bertindak, atau gitu aja kok repot adalah pilihan bagi masyarakat.
Sikap-sikap Gus Dur terhadap persoalan bangsa sebenarnya bisa ditelusuri melalui guyonan yang ia lemparkan. Sebagai tokoh yang lahir dari kalangan santri ia tidak memandang kekuasaan sebagai ‘gunung kemenyan’ yang menakutkan. Jabatan, betapapun kecil atau besar, adalah sarana mencapai tujuan. Karena itulah Gus Dur lebih memilih mendekonstruksi makna kekuasaan dengan meleburkan keangkeran simbol-simbolnya.
Ketika kebanyakan pejabat negara melengkapi diri dengan simbol-simbol kekuasaan untuk melegitimasi kekuasaan, Gus Dur memilih menghindarinya. Bahkan, ketika lengser dari jebatan sebagai presiden Gus Dur keluar istana mengenakan kaos oblong dan celana pendek. Melalui celana dan kaos itu ia seperti ingin menyatakan bahwa jabatan dan kekuasaan adalah sandangan yang dikenakan pada suatu waktu kemudian dilepaskan pada waktu yang lain.
Konsep kekuasaan sebagai sandangan barangkali satu hal yang membuat Gus Dur tidak takut menghadapi intrik politik saat ia berkuasa. Misalnya, ketika menerbitkan dekrit presiden untuk membubarkan MPR Gus Dur mungkin sedang mengingatkan lembaga itu. Dengan wawasan konstitusi yang dimilikinya, ia sebenarnya tahu bahwa upaya membubarkan MPR tidak mungkin berhasil, tapi tetap ia lakukan. Sebab, tujuan utama Gus Dur bukanlah menghapus keberadaan lembaga tinggi negara itu, melainkan menumbuhkan kesadaran bahwa kekuasaan adalah sandangan.
Pelajaran dalam lelucon Gus Dur sebenarnya tidak terukur pada kesuksesannya membuat seseorang tertawa, melainkan penemuan atas konteks yang melatarbelakangi terciptanya lelucon itu. Karena itulah makna semiotik lelucon harus ditemukan untuk kemudian didudukan sebagai bahan perenungan. Alasan mengapa Gus Dur mengenakan celana pendek dan kaos oblong misalnya, harus didahulukan pencariannya daripada senyum seringai atau tawa yang menyertainya.
Tauhid gitu aja kok repot
Kepandaian menemukan makna semiotis lelucon Gus Dur menjadi tantangan di tengah kecuekan sikap yang sering ditunjukkannya. Guyonan bukan untaian makna leksikal yang habis setelah diterjemahkan dan ditertawakan melainkan teka-teki, kumpulan pertanyaan, atau enigma yang harus dicari jawabannya. Untuk sampai pada jawaban itu diperlukan ikhtiar penyelidikan, yaitu sebuah kegiatan mencari petunjuk, bukti, tanda-tanda (sign), serta melihat logika, relasi dan kausalitas di antara semuanya, sehingga sampai pada pemaknaan yang holistik.
Proses penyelidikan makna itu pula yang mestinya dilakukan untuk mengetahui sikap Gus Dur dibalik ujaran gitu aja kok repot. Mestinya, karena merepresentasikan sikap cendikia sekaligus ulama, ujaran tersebut tidak berarti acuh. Lagipula Gus Dur bukan orang yang merasa tenang dalam kemapanan intelektualnya sehingga menyepi dari keriuhan dunia luar.
Gitu aja kok repot bisa jadi adalah ajakan Gus Dur untuk memasrahkan berbagai urusan kepada Tuhan. Persoalan manusia toh bagian dari kehendak Illahi yang harus disikapi dengan arif, bukan ngotot atau repot. Bahkan, berbagai ikhtiar yang dilakukan manusia pada dasarnya adalah doa, sedangkan yang menentukan adalah Tuhan.
Pada batasan tertentu gitu aja kok repot bisa merepresentasikan kadar ketauhidan manusia. Dalam keyakinan Gus Dur tentu tidak ada kekuatan apapun yang melebihi kekuatan Tuhan. Kehendak Tuhan menjadi penentu tunggal terjadi atau tidak terjadinya sesuatu. Karena itulah, tanpa menafikan ikhtiar manusia hanya harus pasrah dengan tulus, sebab selebihnya adalah otoritas Tuhan.
Surahmat
Pegiat Komunitas Nawaksara
Wednesday, 13 January 2010
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment