Tamara Geraldine seorang sosialita yang dikenal sangat renyah bicara, bahkan menyangkut kehidupan rumah tangganya. Ia pernah mengibaratkan rumah tangga yang dibangunnya sebagai perseroan terbuka. Baik suami maupun istri memiliki saham yang sama, 50 : 50.
Uniknya, meski kepemilikan ‘saham’ berimbang ia tidak luput dari aktivitas melek. Sebagai istri ia bangun lebih awal untuk menyiapkan sarapan. Menjelang tidur, ia juga harus terjaga lebih lama untuk mengurusi keperluan rumah tangga.
Meski Tamara bukan wanita Jawa, laku melek adalah warisan yang sejak lama dipraktikan perempuan Jawa. Mereka memiliki porsi tidur lebih sedikit dibandingkan suaminya. Kebiasaan itu bukan semata-mata karena kepadatan aktivitas, tapi sekaligus menggambarkan bentuk tatanan norma yang ada.
Seorang perempuan yang telah berumah tangga umumnya memiliki kesibukan yang luar biasa banyak. Setiap pagi ia punya tugas menyiapkan sarapan, menyeduhkan kopi untuk suami, atau bahkan menyiapkan air hangat bagi anak-anak. Lebih siang ia punya kesibukan membersihkan rumah, mencuci, belanja, dan masak. Semua aktivitas itu menuntut perempuan bangun lebih awal.
Kesibukan semacam itu juga dijumpai menjelang tidur. Meskipun suami dan anak-anak sudah tidur perempuan umumnya masih terjaga. Mereka memiliki kewajiban tak tertulis untuk menghangatkan makanan, menyiapkan berbagai keperluan suami dan anak-anak, sekaligus memastikan keperluan mereka esok.
Laku melek adalah representasi kerja keras perempuan Jawa. Mereka sanggup bekerja lebih lama karena termotivasi membuktikan baktinya kepada suami dan keluarga. Apa yang mereka lakukan bukan semata-mata karena berjibunnya kesibukan, melainkan kesadaran untuk menghormati dan berbakti kepada suami. Sebab, semacam ada kepercayaan istri yang tidur mendahului suaminya adalah tindakan saru.
Laku melek sebagai gambaran pengabdian istri pada suami punya kaitan erat dengan fatsun lama yang berkembang dalam masyarakat. Handayani (2004) mengatakan, sejak masa kanak-kanak perempuan dididik untuk berbakti pada suami, sedangkan anak laki-laki dididik untuk bertanggungjawab terhadap keluarga. Nasihat semacam itu sampai sekarang masih dipertahankan, menginspirasi para perempuan untuk membuktikan bakti dan kesetiaannya.
Selama ini melek tidak diartikan sebagai bentuk kesetiaan semata, tetapi rupa ketahanan perempuan dari godaan. Jika tidur dianggap sebagi bentuk kenikmatan yang menggoda, perempuan Jawa tampaknya telah moksa dengan mementahkan godaan itu. Mereka lebih memilih menderita dengan menahan kantuk daripada menikmati tidur tapi melangkahi suami.
Sabar, Sumarah, Sumeleh
Selain itu, laku melek menunjukkan tiga karakter yang sangat khas pada perempuan Jawa, yakni sabar, sumarah, sumeleh. Tiga sikap inilah yang membedakan perempuan dengan laki-laki pada entitas kebudayaan Jawa.
Pertama, sabar, ditandai dengan sikap mereka yang kalem, sopan, tenang, dan mementingkan harmoni. Meski cenderung emosional seorang perempuan jarang sekali menunjukkan sikap agresif. Mereka mampu mengungkapkan perasaan dengan tenang, meski kenyataan yang mereka alami kadang sangat pahit.
Seorang perempuan yang mengetahui suaminya tidak membawa uang setelah bekerja, kemungkinan kecil langsung memaki atu menghardik. Ia akan bertanya perihal kegagalan suami mendapat uang, lantas memberinya penguatan, baik berupa saran maupun dukungan. Sikap ini berbeda sekali dengan laki-laki, yang misalnya, mendapati meja makan kosong saat pulang kerja. Mereka cenderung mengungkapkan kekecewaannya dengan cara agresif, seperti mencemooh, memaki, atau bahkan menyerang.
Selain sabar, laku melek menggambarkan sikap sumarah atau pasrah. Dalam konteks hubungan suami istri sumarah tidak berarti berputus asa atau mudah menyerah, melainkan bentuk kepercayaan yang total.
Tidak tanggung-tanggung, istri yang sudah kepalang percaya pada suami akan mempercayakan segala urusan kepada suaminya. Masalah aset keluarga misalnya, perempuan ikhlas menyerahkan urusan-urusan tersebut pada suami. Begitupun saat sebuah keluarga merintis usaha, seringkali perempuan menyumbangkan bantaun besar, misalnya dengan menjual perhiasan atau sejenisnya.
Ketiga, kemampuan menahan kantuk merupakan gambaran sikapnya yang sumeleh, tahan terhadap penderitaan. Meski menemui beban hidup yang berat perempuan Jawa tidak mudah berputus asa. Mereka dapat menerima segala situasi, bahkan yang tersulit sekalipun. Perempuan Jawa sangat pintar menahan penderitaan, sekaligus memaknainya, Handayani (2004).
Sikap sumeleh seringkali terpetik dari kisah-kisah kekerasan dalam rumah tangga. Seorang ibu, demi anak-anak dan keutuhan rumah tangganya, rela menahan derita meski kondisi rumah tangganya berantakan. Bahkan seringkali terpetik berita, ibu rumah tangga tetap tutup mulut meski bertahun-tahun mendapat tindak kekerasan suaminya.
Uniknya, dibalik sikap nrimo yang ditunjukkan perempuan Jawa tersimpan kekuatan besar. Pada kondisi tertentu mereka akan menunjukkan sikap cuncul tali wanda, yang dalam konsepsi Jawa berarti sikap untuk terlibat, berperan, dan bertanggungjawab.
Perempuan Jawa yang dalam kesehariannya bersikap andap asor justru seringkali mampu bangkit mengambil alih komando. Seperti yang dilakukan para buruh perempuan atau TKW, misalnya. Mereka tidak sekadar urun ide atau menentukan keputusan, tapi juga mengambil alih peran sebagai tulang punggung keluarga.
Wednesday, 13 January 2010
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment