Wednesday, 13 January 2010

Perempuan Banyumas Melawan Mitos

Terdapat jenjang yang amat lebar antara persepsi lama dan modern tentang perempuan. Salah satu sebabnya adalah mitos yang berkembang dalam masyarakat. Masyarakat Jawa yang patrilineal banyak memiliki mitos tentang perempuan. Di antara mitos-mitos tersebut bahkan bertahan selama ratusan tahun.
Mitos sengaja diciptakan agar fatsun tentang perempuan berlaku turun temurun. Di Banyumas perempuan juga tak luput dari kekangan mitos. Bahkan, sampai sekarang, kepercayaan lama seputar perempuan yang dikaitkan dengan hal mistis itu masih berlaku.
Kurangnya keterwakilan aspirasi perempuan dalam konteks sosial-politik juga dipengaruhi berbagai mitos dalam masyarakat. Untuk melawannya, perempuan bahkan harus mengusung isu emansipasi, sesuatu yang mestinya tak pernah ada karena hanya akan melahirkan jarak yang lebih lebar antara kaum laki-laki dan perempuan. Semangat emansipasi seolah-oleh menempatkan perempuan sebagai tokoh protagonis yang inocent dan laki-laki sebagai antagonis.
Mitos adalah cerita tentang suatu kelompok masyarakat berkaitan dengan tokoh suci yang diagungkan dan mengandung arti mendalam yang diungkapkan secara ghaib. Karena hanya hidup dalam keyakinan, mitos tak pernah bisa diperdebatkan secara ilmiah. Acep Iwan Saidi katakan (Kompas, 14/12), yang utama dalam mitos bukan apa yang diujarkan, tapi bagaimana sesuatu diujarkan. Penelaahan terhadap mitos hanya akan mengerucutkan perbedaan persepsi dan berpotensi melahirkan perpecahan.
Dalam kehidupan yang lebih kompleks mitos menjadi alat bagi penguasa konservatif untuk melegimitasi kekuasaan dan pengaruhnya. Dalam konteks kebebasan perempuan mitos dilahirkan oleh kaum laki-laki sebagai alat mengendalikan istri atau anak perempuannya.


Perempuan Banyumas
Salah satu mitos yang berkembang di Banyumas adalah larangan keluar malam bagi perempuan. Malam hari, apalagi sambekala, menjadi momen yang tabu digunakan perempuan untuk beraktifitas di luar ruangan. Konon, berdasarkan mitos lainnya, banyak makhluk halus dan roh leluhur keluar saat itu.
Dari perspektif yang lebih skeptis melarang perempuan keluar malam adalah bentuk kekangan. Setelah sibuk mengerjakan tugas rumah tangga selama sehari, perempuan bahkan tidak diizinkan bersosialisasi. Pembatasan ruang gerak perempuan ini berakiatan dengan fatsun yang amat kuno, bahwa tugas wanita adalah masak, macak, dan mohon maaf, manak.
Dalam melakukan perlawanan terhadap mitos ini bukan isu keseteraan gender yang mesti dikemukakan. Anggapan bahwa perempuan bisa melakukan apapun yang dilakukan laki-laki adalah keliru, namun perempuan memiliki sisi kehidupan yang sama harus dihargainya dengan laki-laki.
Mitos lainnya, seorang anak gadis tidak diijinkan makan pisang emas masak pohon. Kesan absurd dalam mitos ini sangat kentara. Sama halnya dengan larangan makan sayap ayam. ‘Orang tua’ di Banyumas banyak yang menyebutkan bahwa sayap akan membuat seorang gadis ‘tidak laku’. Padahal sayap ayam tidak mengandung zat apapun yang mampu merubah wajah seorang gadis yang ruupawan menajdi jelek. Kecuali daging yang empuk dan tulang yang renyah adakah racun dalam sayap ayam? Rasanya tidak.
Inilah penjajahan simbolik kaum laki-laki untuk mengukuhkan kekuasaannya. Selalu saja, sesuatu yang lezat harus dinikmati laki-laki, sedangkan perempuan menikmati yang berikutnya. Jika kursi presiden adalah sesuatu yang manis, bolehkah perempuan menikmatinya sedangkan pada saat yang sama terdapat antrean laki-laki yang mengincarnya?

Dalam Novel
Kekangan mitos yang dialami perempuan Banyumas mengilhami Ahmad Tohari dalam menulis novelnya. Kisah mengenai perempuan Banyumas seolah-olah hanya bisa diwakili dengan ketidakberdayaan perempan dalam menghadapi mitos. Bahkan cerita tentang perempuan Banyumas yang terkekang mitos seolah-olah menjadi inspirasi tunggal bagi sastrawan asal Jatilawang ini.
Novel Ronggeng Dhukuh Paruk, misalnya, berkisah tentang perempuan, tepatnya, bocah perempuan bernama Srintil. Oleh keyakinan masyarakatnya gadis belasan tahun ini dirubah menjadi ronggeng. Ia dianggap dirasuki oleh Eyang Secamenggala, tokoh ghaib yang sangat berpengaruh. Eyang Secamenggala sendiri tak pernah ada, hanya hidup dalam keyakinan penduduk setempat namun memiliki pengaruh yang amat besar. Melalui mitos-mitos yang terbangun Secamenggala bahkan memiliki kekuatan mengendalikan masyarakat.
Dua novel berikutnya, Bekisar Merah dan Belantik, bertutur secara ironis bahwa mitos masih mengekang perempuan hingga bersanding dengan modernisme. Lasi, tokoh utama novel ini, adalah wanita Banyumas yang teramat cantik. Setelah ditinggal kawin lagi oleh suaminya yang seorang penyadap nira, Lasi pergi ke Jakarta. Di sana ia bertemu dengan germo yang menyulapnya menjadi wanita panggilan kelas atas. Kemolekan tubuh Lasi membuat pejabat tinggi bernama Handarbeni tergoda. Lasi kemudian dijadikan simpanan meski tak pernah disentuh karena Handarbeni ternyata impoten.
Kisah Srinthil dan Lasi bisa saja mewakili perempuan Banyumas yang menjadi korban kekangan mitos. Meski Srintil dan Lasi diceritakan beruntung karena menjadi wanita terpandang di daerahnya, keduanya adalah korban kekuatan mitos.
Mitos akan terus mengekang perempuan hingga keyakinan dalam benak masyarakat musnah atau tergantikan. Untuk melawannya perempuan Banyumas mesti mengisi kekosongan ruang budaya dengan keyakinan yang lebih logis. Adakah keyakinan yang logis? Ada. Buktinya, perempuan bisa menjadi kepala desa, anggota DPR, gubernur, menteri, bahkan kepala negara, bukan sekedar ronggeng atau gundik.

No comments:

Post a Comment