Membaca puisi adalah membaca serakan makna. Bagi penulis, makna disebar hingga berserakan, membebankan kepada pembaca tugas untuk memungutinya. Relasi penulis dan pembaca yang demikian tampak tidak adil memang, tapi justru menyajikan banyak keindahan. Meski tebaran makna sangat sulit untuk terkumpul sepenuhnya, puisi selalu menyajikan makna baru bagi setiap pembacanya.
Aura Pelangi memuat 40 puisi yang ditulis dengan penuh keriangan. Penulis kumpulan puisi ini menyampaikan perasaan dengan lincah dan energik, meski kerap terjebak pada kata-kata yang akrobatik. Keriangan dalam kumpulan puisi ini bahkan dapat dirasakan melalui judulnya, Aura Pelangi.
Dalam khazanah mitologi Jawa, pelangi adalah perumpaan keindahan alam. Dulu pelangi dipercaya sebagai lintasan bidadari yang turun dari kayangan. Maka ketika pelangi hadir, menyajikan bentuk setengah lingkaran mejikuhibiniu, ribuan pasang mata tidak bosan memandangnya. Orang-orang yang yakin bahwa pelangi adalah lintasan bidadari, bahkan, akan segera bergegas ke sungai berharap melihat bidadari mandi. Mereka berharap menjadi Jaka Tarub yang berkesempatan mencuri selendang Nawangwulan.
Di era yang berbeda, pelangi tetap memiliki konotasi indah. Namun masyarakat lebih suka menerjemahkannya secara ilmiah. Benda maya bernama pelangi bukanlah lintasan bdidadari, melainkan perpaduan hujan dan kehangatan sinar matahari. Pelangi menghadirkan nuansa antara dua hal yang selama ini dianggap biner; hujan dan terik. Hasilnya, pelangi adalah rintik hujan yang dibalut kehangatan.
Sebagaimana sifat alami pelangi, puisi-puisi dalam Aura Pelangi adalah perpaduan dua hal yang selama ini dianggap kontras. Penulis seperti hendak mengatakan bahwa sinar matahari belum tentu panas menyengat, hujan juga belum tentu dingin mencekam. Ia hendak mengatakan bahwa tidak setiap air mata adalah tangis, sebagaimana tidak setiap gelak tawa mampu menggambarkan kebahagiaan.
Dalam perspektif Andormeda Kanginan, pada saatnya tangisan adalah luapan suka cita. Sebaliknya, pada saat yang berbeda tawa adalah petanda nelangsa. Dengan cara seperti itu pula Andromeda membimbing pembacanya untuk menemukan makna puisinya.
Puisi pertama, yang dalam buku ini ditempatkan menyerupai pengantar, juga menyajikan dua hal yang dalam persepsi umum sangat berbeda. Cahaya rembulan dan tarian bintang adalah lambang keindahan, namun justru menyakitkan karena membangkitkan kenangan. Sayangnya kenangan yang bangkit melalui rembulan dan bintang bukanlah kenangan indah, tetapi kenangan yang dengan hiperbolis digambarkan mampu membuat ‘Mentari tidur terlelap dalam pelukan angin’ yang ‘Dingin…’
Ada beberapa tema sentral yang disajikan penulis dalam buku ini, yang dengan gamblang mewakili sikap penulisnya terhadap sebuah persoalan. Tema tentang aktivitas sehari-hari beberapa kali muncul dalam bentuk narasi. Puisi ini menjadi semacam pita kaset bagi penulis yang setiap saat bisa diputar untuk dinikmati kembali.
Puisi berjudul Puisi Lugu misalnya, menggambarkan kegemaran penulis menumpahkan perasaanya dalam catatan. Apakah catatan tersebut berbentuk puisi atau sekadar note, atau apakah catatan tersebut ditulis untuk diri sendiri atau persembahan bagi orang lain, itu urusan nanti. Sebab, dengan menulis puisi penulis bisa menumpahkan gagasan yang menganggu.
Selain keseharian, beberapa puisi merupakan hasil permenungan terhadap sebuah persoalan, sedangkan sisanya adalah harapan. Puisi Retorika Keluarga yang terdiri atas 11 bait misalnya, adalah perenungan makna keluarga. Penulis menganggap keluarga adalah salah satu harta paling berharga.
Renungan yang lebih mendalam tertuang dalam puisi Renungan sebagai perayaan bagi penemuan makna hidup. Banyaknya tanda tanya dalam puisi tersebut barangkali juga menggambarkan banyaknya pertanyaan kehidupan yang jawabannya belum ditemukan penulis. Dalam beberapa puisi penulis memilih ‘berlari’ kepada Tuhan karena jawaban terlampau sulit ditemukan.
Meski sering menggunakan implikatur yang tidak normal, tampak sekali penulis ingin mengajak pembaca menikmati keriangan. Sebab, keriangan lebih indah daripada muram. Beberapa puisi seperti Tik Tok Tik Tok (ala anak SMANSA Semarang), Monster Mimpiku, dan Jejak Angka 21 bahkan dengan lugas mengajak pembaca untuk sekadar bermain-main. Penulis melihat ada keindahan di sekitarnya dan ingin berbagi kepada para pembaca.
Keriangan Aura Pelangi juga dapat dinikmati melalui bunyi-bunyi riang yang tersebar sejak awal hingg akhir kumpulan puisi ini. Bunyi ‘a’ yang tersebar di sebagian besar puisi dapat diidentifikasi sebagai perayaan keriangan. Karena pada hakikatnya sama dengan bermain, menulis puisi adalah kegiatan yang menyenangkan. Sesekali keringan itu diutarakan melalui teriakan, di bagian lain diutarakan dengan optimisme yang mengambang.
Catatan lain mengenai antologi Aura Pelangi berkaitan dengan kegemaran penulis berakrobat kata-kata. Banyak sekali lema-lema tidak populer yang dijejalkan penulis dalam puisinya. Akibatnya, puisi seperti hanya menjadi ajang latihan penulis memadupadankan kata. Usaha pencapaian estetis melalui kata-kata justru mengaburkan makna puisi itu sendiri.
Dalam puisi Bukan Sebatas Aksioma misalnya, terdapat kata ‘aksioma’ dan ‘theorema’ yang penggunaannya seperti dipaksakan untuk menuruti ambisi penulis. Pada puisi Jangan Lepas Molekul Kita terdapat kata ‘entalpi’, ‘polar’, dan ‘terhibridasi’ yang sebanarnya tidak perlu. Begitupun pada puisi Satuan Alam Yang Tak Terpisahkan, penggunaan kata ‘bayu’ dipaksakan untuk menggantikan ‘angin’.
Penggunaan kata yang terkesan dipaksakan bisa jadi karena pemahaman penulis terhadap bahasa sekunder yang kurang tepat. Memang, dalam ragam wacana sastra bahasa sekunder berpotensi melahirkan keindahan. Namun jika penggunaannya tidak tepat, bahasa sekunder justru mampu mengaburkan perhatian pembaca dan menganggu perayaan keriangan yang dibangun penulis sejak awal.
Meski begitu, perayaan keriangan dalam antologi Aura Pelangi tidak serta merta terhenti. Andromeda Kanginan membuktikan puisi adalah alat eskpresi yang, selain estetis, juga menyenangkan.
Surahmat, Penikmat karya sastra
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment