Tulisan Ahmad Bashori, Nasib Sastra di Sekolah pada Era KTSP (Republika, 28/12) sangat menarik untuk dibahas lebih lanjut. Dalam tulisan tersebut penulis mengungkapkan kegelisahannya pada pendidikan sastra di sekolah. Secara kebetulan tema tersebut dibahas Kompas pada hari yang sama. Kurnia JR, dalam tulisan berjudul Kesusasteraan bagi Anak-anak yang dimuat Kompas, juga menggelisahkan eksistensi sastra dalam dunia pendidikan, bagi anak-anak khususnya.
Keterbatasan sumber belajar dan kualitas guru memang menjadi masalah serius dalam
pembelajaran sastra. Tapi masalah yang lebih mendasar adalah kesalahan dalam proses pembelajaran itu sendiri. Selain teori-teori sastra asing tidak sesuai dengan kondisi sastra Indonesia, banyak pengajar sastra tidak mampu mengawinkan keduanya.
Kekhawatiran mengenai eksistensi pendidikan sastra sebenarnya muncul sudah sejak lama. Sejak HB Jasin memutuskan berhenti mengawal derap langkah sastra Indonesia, sulit terbangun kritik sastra. Senada dengan Ahmad Bashori, Richard Oh melalui artikel berjudul Dari Nietzsche ke Olimpiade Sastra (Kompas, 11 Oktober 2008) menegaskan kembali bahwa pendidikan sastra perlu mendapat perhatian lebih besar.
Sebagai sebuah produk budaya, sastra bergerak sangat dinamis. Selama pergerakan tersebut dalam ranah yang konstruktif tentu tidak ada alasan untuk menggelisahkannya. Justru, secara alami sastra mendorong perubahan menuju berbagai bentuk baru yang inovatif. Belakangan baru disadari bahwa perkembangan pendidikan sastra secara kreatif mengalami dekonstruksi. Ini yang sebenarnya menjadi sumber kegelisahan berbagai kalangan, termasuk ketiga esais di atas.
Kuatnya tradisi bertutur dalam masyarakat Indonesia sedikit banyak mempengaruhi haluan langkah keussastraan tanah air. Secara kultur, masyarakat Indonesia lebih senang mendengar tuturan lisan daripada menemukan pesan melalui teks. Masyarakat dengan kultur lisan yang kuat cenderung mempercayai pesan yang diterimanya tanpa melakukan identifikasi terlebih dahulu. Tabiat buruk tuturan lisan itu membuat pengarang menjadi tokoh sentral dalam cerita. Penerima pesan tidak memiliki kesempatan melakukan kajian logis perihal pesan yang diterimanya.
Kentalnya kultur bertutur pada akhirnya mempengaruhi arah gerak kesusasteraan Indonesia. Meski menggunakan sumber literer, acapakali sastra Indonesia masih bertutur pada penikmatnya. Bentuk literer seolah-oleh hanya alternatif media yang memindahkan bentuk lisan pada media tulis yang lebih mudah didokumentasikan. Kebiasaan tersebut membuat nama-nama besar pencipta karya sastra sebagai tokoh sekaligus pemain dalam ceritanya. Akibatnya, penikmat karya sastra terus menerus diajak menikmati siapa, bukan menikmati karya sastra secara objektif.
Mengambang
Kegemaran menokohkan pencerita membawa andil besar pada proses pendidikan sastra Indonesia. Kerapkali pengajar sastra melakukan penggarisbawahan pada pengarang, bukan pada teks karya sastra. Pendekatan ekspresif seperti ini menjebak siswa pada pengetahuan mengenai tokoh-tokoh besar tanpa mengetahui karya-karya monumentalnya. Pengajaran sastra yang demikian amat dangkal. Padahal, sastra sejatinya tidak hendak menyampaikan pengatahuan, tapi menyerukan perenungan.
Mari kita ambil contoh pada kasus Chairil Anwar sebagai monumen sastra Indonesia. Kajian mengenai penyair ini selalu berakhir pada sosok Charil sebagai pendobrak bentuk puisi lama. Pembahasan tentang Chairil selalu berkutat pada sikap dan latar belakang kehidupan yang kemudian memperkokoh ketokohannya. Penelaahan tentang latar belakang kreatif atas karya-karyanya jarang sekali dilakukan dengan mendalam di kelas. Akibatnya, pendidikan sastra berakhir mengambang, tidak dilakukan pengkajian yang mendalam terhadap karya sastra sebagai produk budaya Tidak heran jika kebiasaan ini justru perlahan mematikan budaya kritik sastra.
Pengajaran sastra yang mestinya dilakukan secara humanis justru kerap disampaikan secara dogmatis. Guru menjelaskan lalu siswa menjawab. Guru, seperti yang dikatakan Ahmad Bashori, bahkan tak jarang meminta siswa menghafal hanya agar bisa mendapatkan nilai bagus. Apakah cara ini sejalan dengan visi sastra untuk memperhalus rasa, membesarkan estetika, dan menciptakan manusia yang peka dengan lingkungannya? Rasanya tidak. Cara seperti di atas hanya akan membuat siswa tahu, bukan memahami atau menghayati.
Pembelajaran sastra yang sumir tidak hanya perihal Chairil Anwar, namun juga pada sastrawan lain, termasuk Ahmad Tohari. Di kelas siswa hanya diminta mengenal nama, latar belakang karir, dan novel karya-karya sastrawan asal Banyumas ini. Padahal, amat penting bagi siswa mengetahui proses kreatif, relevansi sosial, dan latar belakang budaya yang melahirkannya. Novel Ronggeng Dhukuh Paruk, misalnya, membawa pesan supaya manusia memiliki karakter yang sentosa sehingga tak mudah berubah oleh kondisi di sekitarnya.
Kesumbangan proses belajar sastra juga dialami para pengajar karena mereka justru berkiblat pada teori-teori asing sebagai rujukan melakukan kajian sastra Indonesia. Ironis, karena pembelajaran sastra Indonesia justru harus terus-menerus berkiblat pada teori Rene Wellek, Austin Warren, A. Teeuw atau MH. Abrams. Seperti congkak, kita menafikan kajian sastra HB. Jassin, Jacob Sumardjo atau Subagjo Sastrowardoyo sebagai sumber belajar meski teori mereka lebih kontekstual. Pengajar sastra memaksa diri menggunakan teori-teori ahli sastra asing meski tak pernah mampu mengawinkannya dengan karya sastra tempatnya berpijak.
Kita lihat betapa landasan teori pembelajaran sastra sebenarnya terlalu jauh dari sastra itu sendiri. MH. Abrams menyebutkan ada empat pendekatan karya sastra, meliputi pendekatan mimetik, ekspresif, pragmatik, dan objektif. Keempat pendekatan yang dikembangkan Abrams menekankan kajian dengan menghubungkan sebuah karya sastra dengan alam di sekitar, pengarang, penikmatnya, dan teks itu sendiri. Pendekatan ini memang tak sepenuhnya keliru diaplikasikan pada sastra Indonesia, tapi perlu kepiawaian analisis pengajar mengingat teori ini tidak lahir dari rahim dinamika sastra Indonesia.
Lebih parah manakala pendekatan dalam pembelajaran sastra justru diadopsi dari kritikus sastra asing. Teori struktural Vladimir Prop, misalnya, adalah kajian mengenai cerita rakyat di Eropa Barat. Mengingat latar belakang budaya yang berbeda, akan sangat sulit bagi pengajar sastra mengawinkan teori tersebut pada cerita rakyat Indonesia. Kesimpulan Prop bahwa hal terpenting dalam dongeng bukanlah tokoh tetapi fungsi tokoh dalam cerita perlu ditelaah kembali. Cerita rakyat Indonesia terlahir karena ketokohan. Tema dan amanat dalam cerita rakyat Indonesia justru menjadi sampiran yang hendak disampaikan melalui tokoh.
Jika demikian adanya, elaborasi pendidikan sastra memang perlu dilakukan secara lebih komprehensif. Tak hanya guru, sumber belajar, kurikulum, atau alokasi waktu saja yang perlu penataan ulang, tapi juga perspektif tentang pendidikan sastra yang telanjur sumir. Terlalu lama pendidikan sastra mengambang seperti layang-layang, saatnya didaratkan pada bumi tempat sastra itu lahir dan berkembang.
Surahmat
Bergiat di Komunitas Nawaksara
Thursday, 14 January 2010
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment