Thursday, 14 January 2010

Pesan Multikultural dalam Roman Indonesia

Tak ada negara yang memiliki keberagaman budaya melebihi Indonesia. Karena itulah tidak ada negara yang lebih rentan konflik sosial melebihi Indonesia. Untuk mencegahnya kita perlu pembelajaran multikultural yang lebih manusiawi. Kita patut melirik roman Indonesia sebagai gurunya. Di sana ada berbagai pelajaran multikulturalisme.


Saat ini setidaknya ada 583 suku bangsa yang tinggal di Indonesia. Mereka menempati berbagai tempat di seluruh nusantara. Meski masih ada suku primitif yang terisolasi, sebagian besar suku di Indonesia telah membaur dalam kehidupan yang heterogen.
Mobilitas sosial yang tinggi membuat mereka bercampur. Di Jakarta, misalnya, 9 juta penduduk yang tinggal di sana terdiri atas 36 suku bangsa. Jakarta, juga Indonesia, semakin berwarna setelah warga asing dari berbagai negara mulai berdatangan, sebagai wisatawan maupun untuk menetap.

Heterogenitas masyarakat tak selamanya berakibat baik. Pembauran memang menjadi alat pertukaran budaya yang efektif, namun juga memendam potensi konflik sosial yang besar. Sejarah mencatat pernah terjadi beberapa konflik sosial berlatarbelakang suku. Di Sampit (2001), warga Dayak berseteru dengan warga Madura. Di Jakarta (1988), pernah terjadi persitiwa yang mendiskreditkan etnis Tionghoa. Dan baru-baru ini sebuah ormas melakukan tindak kekerasan karena latar belakang keyakinan.

Jauh hari sebelum peristiwa tersebut, pertentangan antara si kaya dan si miskin sudah kerap terjadi. Ketika si kawula merasa tidak kuat ditindas ndaranya, konflik meledak dan sering berujung pada penganiayaan bahkan pembunuhan. Rasanya tidak naïf kita menduga peristiwa tersebut terjadi karena kesadaran multikulural yang pipih. Tanpa kesadaran multikultural konflik sosial semacam itu akan terus berulang. Sejarah membuktikan heterogenitas menjadi sumber konflik yang tidak ada habisnya.

Kesadaran mutikulutural adalah kemampuan memahami keanekaragaman manusia sebagai sebuah fitrah. Pemahaman tersebut terimplementasi dalam perilaku yang toleran, saling mengerti, saling mengisi. Tak ada sekelompok manusia yang sempurna dan lebih adiluhung dari kelompok lain. Manusia tercipta dengan keunikannya masing-masing, tak ada yang sempurna. Konskuensinya, dalam kehidupan bermasyarakat seseorang akan menemukan kekurangan sekaligus kelebihan orang lain. Tugas manusia bukan saling mencela, tapi saling melengkapi.

Untuk bersikap toleran dengan total ternyata tidak mudah. Tokoh sempurna semacam itu bisa jadi hanya ada dalam hikayat atau tokoh protagonis dalam sinetron. Namun melalui pembelajaran sastra, keadaran multicultural, khususnya pada anak-anak, dapat terbangun.

Pesan perdamaian
Sebagai sebuah karya seni yang lahir dari perenungan panjang penciptanya, sastra bisa menjadi guru yang amat bijak. Sastra lahir dari imaji manusia yang ingin menyampaikan pesan moral, maka sastra juga memuat pesan damai dan ajaran berperilaku.

Di sinilah sastra mulai menunjukkan tajinya sebagai sumber insiprasi manusia. Melalui tokoh rekaan yang hadir dalam karya sastra penikmat karya sastra mendapatkan berbagai model perilaku tokoh, baik ataupun buruk. Maka ketika pembaca tahu bahwa keberagaman dalam novel sebagai sebuah fitrah akan timbul kesadaran untuk saling menghargai. Dari novel seseorang akan tahu bahwa ia dan golongannya adalah bagian dari komunitas yang sangat besar.

Sastra adalah hasil kebudayaan, karena itu sastra bergerak sangat dinamis. Sejarah panjang roman selalu diikuti falsafah multikultural. Mereka mengajarkan pesan perbedaan secara halus. Novel Darah Muda (1927) dan Asmara Jaya (1928) yang ditulis Adinegoro, misalnya, mengajak pembaca merenungkan sikap dalam pergaulan antar adat. Meski berbeda latar belakang budaya pergaulan sosial harus berjalan.

Pesan serupa dapat ditemukan pada roman Azab dan sengasara karya Merari Siregar dan Dian yang Tak Kunjung Padam karya Sutan Takdir Ali Syahbana. Marah Rusli melalui roman Siti Nurbaya mengajarkan sikap dalam kehidupan antar generasi yang berbeda pola pikir. Sedangkan pesan menghargai etnis lain antara lain disampikan olehNur Sutan iskandar dalam roman Hulubalang Raja (1934). Belakangan pesan tersebut sangat kentara dalam roman karya Remi Silado, termasuk roman Ca Bau Kan.

Roman lain, yang lahir dari angkatan Balai Pustaka dan Pujangga Baru, bercerita tentang multikulturalisme yang lebih kompleks. Atheis yang ditulis Achdiat Karta Miharja, misalnya, mengajarkan beragamnya pemahaman ideologi sekterian. Hubungan kelas sosial tergambar dalam roman Di Bawah Lindungan Ka’bah karya HAMKA dan Sengsara Membawa Nikmat karya Tulis Sutan Sati. Sedangkan generasi 80an yang didukung Ahmad Tohari mengajarkan kompleksitas politik.

Pesan perdamaian antargolongan politik tergambar dalam dua novelnya, Kubah dan Ronggeng Dhukuh Paruk. Sedangkan novel Ayat-ayat Cinta karya Habiburahman El Shirezy bercerita tentang hantanya hubungan penduduk dan migran. Pesan serupa juga dapat ditemukan pada roman Keberangkatan yang dutulis Nh. Dini dan Olenka karya Budi Darma.

Sebenarnya sudah sejak lama sastra membawa amanat multikultural. Tidak mengherankan ketika novel Laskar Pelangi tiba-tiba mampu merubah perspektif penduduk kota yang arogan menjadi begitu simpatik pada penduduk desa.

Surahmat
Pegiat Komunitas Nawaksara Banjarnegara

No comments:

Post a Comment