Thursday 14 January 2010

Puisi, Masihkan Menjadi Pelantang Hati?

Menjelang Ramadhan kemarin saya, mungkin anda, menerima puluhan pesan singkat berisi puisi dari teman dan saudara. Bahasa yang mereka gunakan beragam dan atraktif, tapi isinya nyaris sama, yakni meminta doa agar bisa beribadah dengan baik. Saya sadar, tidak setiap saat saya menerima hadiah seperti itu. Sepanjang tahun, mungkin hanya tiga kali, yakni di awal Ramadhan, menjelang Idul Fitri, dan ketika ulang tahun.
Puisi yang saya terima membuat saya kagum. Karena saya tahu betul penciptanya bukan orang yang suka mencipta puisi, apalagi seorang penyair. Mereka hanya teman kuliah, teman sesama aktivis pers mahasiswa, atau teman repek (mencari kayu bakar) di kampung. Ada pertanyaan yang keluar dari hati kecil saya; apakah Ramadhan bisa membuat seseorang menjadi penyair dalam waktu sesingkat itu?

S. Suharianto dalam buku Pengantar Apresiasi Puisi mengatakan puisi sebagai lambang perasaan manusia yang berujud bahasa. Puisi lahir dari kegelisahan akibat kepekaan indera manusia dalam menangkap fenomena. Dalam bagian lain, S. Suharianto mengatakan puisi sebagai hasil pengungkapan kembali peristiwa yang terdapat dalam kehidupan sehari-hari. Penyair, atau katakanlah pencipta puisi, termotivasi mengungkapkan perasaanya karena terdorong untuk berbagi dengan orang lain. Yakin bahwa apa yang dirasakannya berguna, maka pencipta puisi menuturkannya kepada orang lain.

Saya sependapat bahwa puisi adalah bentuk kegelisahan. Timbulnya konflik dalam diri seseorang hingga memunculkan kegelisahaan salah satunya disebabkan oleh informasi yang masuk melalui inderanya. Maka kegelisahan penyair, sebenarnya merupakan abstraksi yang sangat halus atas realita kehidupan yang ditangkapnya. Entah kegelisan itu murni muncul atas ketidaksepahamannya dengan kondisi di sekitarnya atau dibumbui perasaan yang dilebih-lebihkan.

Suara hati
Ketika seseorang dapat mengungkapkan kegelisahan berarti dia sedang atau pernah merasakannya. Sedangkan umumnya, kegelisahan muncul karena kata hatinya tidak sesuai dengan kenyataan yang ada. Pencipta puisi yang baik adalah pencipta puisi yang mudah gelisah, mudah mendengar kata hatinya. Lantas, apa kelahiran puisi dapat selalu dimaknai sebagai ungkapan kata hati? Bukankah pencipta puisi kerap terjebak pada akrobat kata dan menafikan makna?

Selanjutnya, S. Suharianto mengatakan, dalam menilai puisi ada kecenderungan seseorang lebih senang menanyakan ‘apanya’ daripada ‘bagaimananya’. Pemikiran tersebut lahir karena kebanyakan orang berpikir substansi jauh lebih penting dari wadah pembungkusnya. Sebagus apapun sebuah wadah, tak akan ada artinya jika isinya busuk. Apakah kenyataan tersebut berlaku pada puisi-puisi yang saya sebut ‘hadiah’ itu? Apakah pencipta puisi senantiasa memahami makna yang terkandung di balik keelokan bahasa yang dipertontonkannya?

Sebagian pencipta puisi mungkin tahu makna puisinya, sebagian lagi memilih mengentahkan. Tapi jika teman-teman yang mengirimi saya puisi benar tahu artinya, maka saya akan teramat bahagia telah menerima hadiah istimewa berupa kata hati. Secara skeptis saya jauh lebih menghargainya karena kata hati selalu dianggap mulia. Dan bisa jadi, nilai nominal kata hati jauh lebih tinggi dari jaket kulit Versace yang saya terima dari pacar saat ulang tahun. Bukankah kebenaran yang tak pernah salah dan tak dapat dipersalahkan adalah kata hati?

Agaknya, pertimbangan itu harus kita gunakan dalam menilai terlebih mengapresiasi puisi. Apakah puisi yang lahir bisa dimaknai sebagai kata hati penciptanya? Apakah mereka tidak sedang sekedar bereksperimen demi estetika bahasa? Pertanyaan ini akan memaksa kita menghubungkan puisi dengan keadaan di sekitar puisi. Puisi bukan seni pertunjukkan, namun terdapat instalasi sosial antara pusi dengan keadaan di sekitarnya.

Instalasi
Ada dua bentuk instalasi puisi yang kita dapati. Pertama, ketika puisi dicipta, dilahirkan sebagai abstraksi keadaan yang ditangkap penciptanya. Jika puisi adalah penggambaran kembali serangkaian peristiwa yang telah terjadi maka ada penghubung antara puisi dengan sebuah peristiwa. Instilasi ini lazim kita sebut sebagai insiprasi.

Kedua, instalasi misi. Sebagai bentuk kegelisahan yang berkombinasi dengan kata hati manusia puisi pastilah memiliki misi, baik misi estetik maupun sosial. Apakah misi ini tercapai atau tidak, itu urusan belakangan, tergantung dari bagaimana pencipta puisi membangunnya.

Kembali pada puisi yang saya terima melalui pesan singkat, dapatkah kita menemukan instalasi misinya? Akan sangat sulit kita temukan. Teman-teman yang mengirim puisi agaknya tidak memiliki motivasi apapun. Mereka juga tidak berharap bisa mengubah sesuatu dengan puisinya. Maka untuk apa puisi-puisi ini diciptakan jika tidak membawa perubahan?

Maka satu-satunya instalasi yang mungkin ada adalah inspirasi. Pencipta puisi terinspirasi suasana awal Ramadhan yang ditangkap inderanya. Maka muncullah kegelisahan dalam hati mereka. Ramadhan adalah suasana yang sangat dahzyat hingga tak dapat digambarkan dengan kata-kata biasa melainkan harus dengan puisi. Jika demikian adanya, apakah Ramadhan juga mampu membuat seseorang mendengar kata hatinya? Jika benar puisi ini perwujudan kata hati, maka Ramadhan harus diakui sebagai momentum yang sangat dahzyat. Tapi jika tidak, puisi yang saya terima adalah sampah yang keluar dari para pembohong yang coba berucap seperti malaikat.

Surahmat, bergiat pada Komunitas Nawaksara Banjarnegara

No comments:

Post a Comment