Thursday 14 January 2010

Sastra dan Pasar; Sebuah Skandal

Perhatian kita pernah tersita oleh kehadiran novel picisan beberapa saat lalu. Marak dan mendominasi. Berbeda dengan novel-novel sastra, novel picisan adalah perangkat bisnis yang digunakan untuk merauk keuntungan sebanyak mungkin. Kenyataan bahwa novel tersebut diciptakan untuk memenuhi kebutuhan pasar membuat kita ragu menyebutnya bagian dari ‘sastra’.

Esensi novel picisan, sekilas, mungkin tidak jauh berbeda dengan tulisan sastra yang telah ada, tapi tetap saja tidak layak masuk dalam kategori sastra. Beberapa kalangan bahkan menolak, menganggap kehadirannya membawa kekuatan destruktif bagi perkembangan sastra. Tapi masyarakat sebagai penikmat, sekaligus juri paling objektif dalam penilaian karya satra terlanjur tidak memilah-milah bacaannya. Tak banyak orang yang bisa dengan jelas menilai dan membedakan keduanya. Nyatanya, baik novel sastra maupun novel picisan tetap memiliki pangsa pembaca. Memang, belakangan popularitasnya mulai berkurang. Penggantinya adalah tulisan-tulisan pop yang minim aspek kebermanfaatannya.

Munculnya istilah picisan adalah bukti perselingkuhan sastra dengan pasar. Di satu sisi sastra dianggap suci karena merupakan teriakan hati seorang sastrawan, sedangkan pasar adalah tempat kotor yang senantiasa diwarnai trik dan kecurangan. Nyatanya, sebagaimana yang kebanyakan orang sebutkan bahwa selingkuh itu indah. Sastra juga menikmati perselingkuhannya dengan pasar. Dari keasyikan selingkuh inilah sastra mampu menghasilkan sesuatu yang manis; uang.

Walau demikian, selalu ada akhir menyedihkan dari kisah perselingkuhan. Paling tidak, salah satu pihak yang merasa dikhianati akan kecewa. Begitupun kesucian sastra sebagai refleksi isi hati. Jika telah merambah pasar, kesucian sastra mulai dipertaruhkan. Beberapa unsur sastra mulai diabaikan untuk mendongkrak hasil penjulaan agar sesuai harapan.

Sastra memang bukan barang pasaran. Setidaknya tidak dapat disamakan dengan barang-barang lain yang diperdagangkan di pasar. Umumnya, barang diluncurkan ke pasar karena produsen mengincar peluang. Pakaian misalnya, diciptakan karena semua orang membutuhkannya. Produsen pakaian jelas tahu bahwa semua orang, bahkan bayi yang baru beberapa hari lahir sekalipun membutuhkan pakain. Ketika masyarakat membeli dan menggunakan pakaian, hubungan antara produsen dengan penggunanya berakhir.

Namun hubungan yang berbeda pada karya sastra. Hubungan pencipta dan penikmatnya justru baru dimulai ketika karya sastra mulai dinikmati. Ide, pikiran dan gagasan penulis, yang tertuang dalam karyanya, mulai berpindah ketika seseorang membacanya. Di sinilah hubungan emosional, bahkan moral, antara penulis dan pembaca mulai terjalin. Entah baik atau buruk, penulis harus bertanggung jawab atas dampak yang ditimbulkan tulisannya. Bukan tidak mungkin seorang pembaca akan menelan gagasan penulis bulat-bulat hingga mempengaruhi perilaku dan jalan pikirannya. Hubungan emosional inilah yang menjadikan sastra istimewa dan perlu diistimewakan.

Utuk diketahui, karya sastra hanya menjadi sastra saat masih di tangan penulis atau setelah di tangan pembaca. Proses panjang yang menghubungkan keduanya sama sekali bukan bagian dari sastra, tapi bisnis. Seorang penulis datang ke penerbitan bersama karyanya, teks yang diabcanya adalah karya sastra. Tapi setelah ditangan penerbit teks tersebut menjadi komditas dagang.

Transaksi antara penulis dengan penerbit, jika boleh disebut demikian, sebanarnya bukan transaksi yang seimbang. Kenyataan ini mengkondisikan penulis sebagai pihak yang harus menyesuaikan. Penulis hanya berhak mengajukan naskahnya sedangkan penerbit yang mengambil keputusan. Ya atau tidak!

Dengan berbagai alasan penerbit bisa saja menolak atau menerima. Bahkan, ketika penerbit mengajukan beberapa syarat, mau tidak mau penulis harus setuju. Jika tidak, dengan kewenangan yang dimilikinya penerbit bisa saja mengurungkan transaksi sejauh belum ada kesepakatan tertulis. Keadaan ini yang kerap menyulitkan penulis baru merintis karir kepenulisannya. Berbeda dengan penulis besar yang memiliki penerbit sendiri, atau paling tidak memiliki pengaruh besar pada penerbit. Mereka bisa menerbitkan karyanya bulat-bulat dengan tetap mempertahankan originalitas naskahnya.

Penulis yang msih bergantung dengan penerbit kerap kali harus mengalah. Kalaupun kesepakatan tetap berjalan, penulis nyaris tidak memiliki andil lagi ketika tulisannya masuk penerbitan. Kalaupun masih dilibatkan, kewenangan penulis sangat dibatasi. Proses selanjutnya adalah tugas penerbit. Mulai dari editing, setting, cetak hingga distribusi penerbitlah yang memegang kendali. Dalam tahapan inilah perselingkuhan itu benar-benar terjadi. Sastra tidak diperlakukan sebagai sastra, tapi barang dagangan. Buktinya, selama proses tersebut penerbit memberi perlakuan yang sama pada semua jenis produknya. Entah itu karya sastra, buku pelajaran, komik, bahkan kalender sekalipun.

Sikap penerbit yang demikian tentu bukan sesuatu yang patut dipersalahkan. Walau orientasinya berbeda, penulis dan penerbit punya objek yang sama; buku. Dari kesamaan itu tidak sedikit penulis yang diuntungkan. Nyatanya banyak penulis yang berhasil memperoleh penghidupan dari bisnis karya sastra. Mengubah sosok sederhana peramu kata menjadi juragan baru. Keadaan saling menguntungkan inilah yang diharapkan kedua pihak. Penerbit mendapat lahannya, penulis juga berkesempatan mempublikasikan karyanya agar dapat dinikmati masyarakat. Tentu, disamping pundi-pundi rupaih yang terus mengalir mengisi kantongnya.

Surahmat, bergiat di Komunitas Mahasiswa

No comments:

Post a Comment