Thursday 14 January 2010

Ironi Daerah Industri


Membaca tulisan Petani Paceklik di Negara Agraris pada Suara Merdeka Jumat (4/9), membuat saya berpikir tentang nasib buruk petani Indonesia yang berkepanjangan. Saya mengidentifikasi, salah satu penyebab nasib buruk petani adalah gagalnya konsep negara industri. Bangsa kita punya ambisi besar menjadi negara industri seperti Amerika atau Jepang, mengabaikan kekuatan bidang pertanian, tapi justru gagal.

Kegagalan industrialisasi dapat diamati pada menjamurnya pembangunan pabrik di berbagai kota yang justru tidak berbanding lurus dengan kesejahteraan masyarakat. Memang, pembangunan pabrik bisa menyerap tenaga kerja, tapi gagal mengangkat derajat kesejahteraan masyarakat. Meski memberi peluang kerja, pabrik-pabrik di berbagai kota justru hanya mampu menciptakan buruh. Pemilik modal terus bertambah kaya, sementara pekerja masih saja hidup kekurangan.

Kondisi tersebut mestinya menjadi bahan pertimbangan para kepala daerah dalam mengembangkan daerah yang dipimpinnya. Banyak kepala daerah, baik bupati maupun gubernur, berambisi besar menjadikan wilayahnya sebagai pusat industri dengan mengundang investor, tapi luput mengupayakan peningkatan kesejahteraan pekerja. Padahal logisnya, prioritas pengembangan sebuah daerah adalah terciptanya masyarakat yang sejahtera.

Kegagalan industrialisasi juga dapat diamati dengan membabi-butanya pembangunan infrastruktur. Berbagai bangunan seperti jalan, jembatan, gudang, kantor dibangun untuk mendongkrak investasi. Pembangunan fisik yang sedemikian pesat pada akhirnya justru merusak alam. Bahkan karena pembangunan yang tidak terkendali, air, udara, bahkan sinar matahari nyaris tidak bisa lagi dinikmati. Udara di kota-kota besar semakin pengap, air tercemar, sedangkan udara semakin semakin kering.

Pembangunan memang sebuah keniscayaan, namun mestinya tidak mengorbankan kenyamanan hidup, karena merupakan hal yang sangat esensial. Untuk itulah saya mengajak, khsususnya pada kepala daerah dan pengembang kawasan, pembangunan dilakukan dengan arif. Menurut saya sebuah wilayah tidak perlu didongkrak untuk tumbuh menjadi wilayah industri, sebab sudah terbukti gagal menciptakan masyarakat sejahtera. Supaya masyarakat sejahtera dan keserasian hidup tetap terjaga ada baiknya kita menata kembali konsep negara agraris.

Untuk mencapainya, paradigma pembangunan kita juga harus diubah. Jangan menjadikan target pertumbuhan ekonomi sebagai parameter tunggal keberhasilan pembangunan. Sebab hemat saya, akselerasi pertumbuhan ekonomi justru seringkali menciptakan efek samping yang tidak sebanding dengan pertumbuhan yang tercapai. Ada baiknya jika keberhasilan pembangunan diukur dengan keselarasan aspek-aspek kehidupan, misalnya kesejahteraan, kenyamanan, dan harmoni.

Pernyataan saya barangkali menunjukkan ketidakpahaman saya tentang konsep ekonomi makro, tapi patut direnungkan. Bukankah pembangunan sejatinya dilakukan untuk mensejahterakan manusia? Sedangkan bukankah kesejahteraan, sejatinya, perlu dicapai supaya hidup menjadi nyaman? Dan adakah yang lebih membahagiakan melebihi kehidupan yang nyaman?

Surahmat, bergiat pada Komunitas Nawaksara

No comments:

Post a Comment