Thursday 14 January 2010

Jejak Pemikiran Feminis Gus Dur


Kehilangan Gus Dur, bagi Bangsa Indonesia adalah kehilangan guru sekaligus sumber inspirasi. Pemikiran ulama asal Jombang itu telah memberi warna tersendiri dalam wacana kebangsaan selama ini.

Sebab, sebagai cendekia yang lahir dari pesantren, ia mampu memandang persoalan dari beragam sudut pandang. Karena itulah, barangkali, pemikirannya terkesan kontroversial dan sulit diterima semua golongan.

Pandangan Gus Dur terhadap kesetaraan gender juga menarik dikaji, bahkan dalam konstilasi pemikiran kini. Label ulama tidak pernah mengikat Gus Dur dalam frame pemikiran patriarkhi.

Gus Dur seolah menganggap kebenaran dogmatis yang diajarkan agama hanya salah satu bentuk kebenaran, sedangkan di luar itu masih banyak kebenaran yang dapat dikaji dan diterima.

Tidak sekadar wacana, pembelaan Gus Dur terhadap perempuan dilakukan dalam berbagai sikap dan tuturan. Ia, misalnya, ikut serta menolak Rancangan Undang-undang Pornografi dan Pornoaksi, karena RUU tersebut justru berpotensi menjebak perempuan dalam dilema peran sosial.

Pornoaksi dan pornografi toh bisa dilakukan dan terjadi pada siapa pun, bukan hanya perempuan. Sedangkan pada RUU tersebut pembatasan justru banyak dilakukan terhadap perempuan.

Lebih nyata lagi, Gus Dur terang-terangan membela Inul Daratista ketika pedangdut tersebut berkonflik dengan Rhoma Irama. Langkah ini menimbulkan kontroversi, karena tidak sejalan dengan pemikiran kebanyakan orang.

Namun, bagi Gus Dur: gitu aja kok repot. Pembelaannya terhadap Inul toh tidak dilakukan bagi pedangdut, melainkan perempuan yang berusaha menunjukkan eksistensinya.
Pemikiran Feminis Pembelaan Gus Dur terhadap perempuan juga tergambar melalui pandangannya terhadap relasi gender yang di Indonesia dianggap masih timpang. Sebagai tokoh pluralis Gus Dur menganggap diskriminasi merupakan persoalan utama untuk membangun keharmonisan relasi gender.

Sinergi dalam konteks hubungan laki-laki dan perempuan mestinya tidak sebatas berdasarkan jenis kelamin, tetapi dalam arti lebih luas meliputi basis suku, sektor, geografis, kemampuan tubuh, atau umur.
Pandangan tersebut menjelaskan adanya dua garis besar dalam konstilasi pemikiran Gus Dur terhadap berbagai persoalan bangsa, yakni pluralisme dan pembelaan.

Tulisan dan tuturan Gus Dur hampir selalu berangkat dari perspektif korban, terutama minoritas agama, gender, etnis, warna kulit, dan kelas sosial.

Dalam konteks kehidupan berbangsa, Gus Dur mampu melelehkan batas imajiner pemikiran nasionalis dan religius yang selama ini memisahkan dua kelompok besar di Indonesia.

Nasionalis dan religius adalah persoalan yang tidak harus didudukkan dalam satu meja dan dipilih, melainkan dua hal yang harus disandingkan. Toh, baik nasionalis maupun religius, sama-sama menjadikan kebenaran sebagai orientasi berpikir dan bertindak.

Dalam persoalan gender, barangkali harmoni pemikiran nasionalis-religius yang menjadikan Gus Dur mampu berimbang menyikapi persoalan. Ia mementahkan anggapan dominasi laki-laki dalam politik, misalnya, dengan bersama-sama Megawati Soekarnoputri memegang tampuk kepemimpinan.

Lepas dari benturan kepentingan politik yang menyertai perjalanan politik keduanya, Gus Dur harus diakui sebagai satu-satunya presiden RI yang memiliki wakil presiden perempuan.

Pemikiran nasionalis dan religius yang selama ini berjarak dalam memandang persoalan gender lebur dalam pemikiran Gus Dur.

Padahal, perbedaan pandangan tersebut sempat menjadikan kedunya sebagai aliran kebangsaan yang bersebarangan.
Kaum nasionalis yang menjadikan Pancasila sebagai landasan, menganggap wanita memiliki kedudukan yang sama.

Penjelasan Soekarno tentang kedudukan perempuan misalnya menguraikan sila Kemanusiaan yang adil dan beradab disimbolkan oleh gambar rantai terdiri atas gelang persegi (lambang laki-laki) yang bertautan dengan gelang bundar (lambang perempuan).

Pertautan dua jenis rantai tersebut selain menyiratkan kesetaraan laki dan perempuan, juga mengingatkan bahwa keberlangsungan bangsa tergantung pada kerja sama kedunya.

Di sisi lain, pemikiran Islam selama ini distigmakan lebih condong pada pemikiran maskulin. Misalnya, dengan catatan tertentu Islam memperbolehkan poligami, meski banyak ditentang perempuan.

Namun, bagi Gus Dur jarak kedua pemikiran itu lebur dalam pengakuan kesederajatan. Laki-laki dan perempuan memiliki posisi yang sama di depan hukum dan negara, tetapi memiliki peran sosial yang berbeda.

Nyatanya, dalam hukum pidana undang-undang tidak mengenal laki-laki dan perempuan, namun justru merinci tugas suami dan istri dalam undang-undang perkawinan.

Lepas dari perdebatan apakah poligami boleh dilakukan atau tidak, Gus Dur sendiri tidak pernah melakukannya. Meskipun ia tahu poligami diperbolehkan, namun tidak mempraktikannya. Sampai akhir hayatnya Gus Dur hanya memiliki satu perempuan yang menjadi sigaring nyawa.
Dekat dengan Perempuan Jika dicermati, perjalanan karier dan kecendekiawanan Gus Dur juga tidak bisa lepas dari perempuan. Selain istri, Gus Dur memiliki empat putri. Bahkan, publik mengenal salah satu putri Gus Dur Yeni Wahid sebagai salah seorang tokoh politik dan pemikir Islam modern.

Barangkali melalui perempuan-perempuan di sekitarnya pula pandangan baru feminisme Gus Dur dipupuk dan dipraktikan. Istrinya, Sinta Nuriyah Abdurahman Wahid juga pegiat gender yang teguh memperjuangkan hak-hak perempuan.

Ia berulang-ulang muncul dalam demonstrasi menentang RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi, karena menganggap undang-undang tersebut menyudutkan kaum hawa.

Selain itu, Sinta Nuriyah juga mengkritik program pemerintah yang selama ini dianggapnya bias gender. Program keluarga berencana (KB) misalnya, menurut Sinta Nuriyah timpang menempatkan relasi laki-laki dan perempuan. Ia mencontohkan objek penyuluhan pada program KB yang selalu perempuan. Lebih ironis lagi, perempuan selalu disalahkan jika program KB gagal.

”Kebijakan itu tidak adil, dan tidak menempatkan perempuan dalam posisi yang sama dengan laki-laki. Selain itu, tidak ada kebersaman dalam mewujudkan sebuah persamaan,” katanya. (37)

Surahmat, pegiat Komunitas Nawaksara Banjarnegara
Dari Halam Perempuan Suara Merdeka 6 Januari 2009
http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2010/01/06/93877/Jejak.Pemikiran.Feminis.Gus.Dur

No comments:

Post a Comment