Thursday, 14 January 2010

Mengubah Paradigma Belajar

Banyak pihak, termasuk para rektor, prihatin, ketika sekitar 2.894 kursi jurusan pertanian di 47 perguruan tinggi negeri peserta SNMPTN 2008 kosong. (Kompas, 1 Agustus). Selain ironis, mengingat ketatnya persiangan masuk peruguran tinggi negeri (PTN) hal ini membuktikan minat generasi terhadap bidang pertanian rendah. Padahal, Indonesia adalah negara agraris.
Alasan bahwa sarjana pertananian sulit mendapat pekerjaan rasanya terlalu absurd. Sebagai bidang yang kompleks, pertanian mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar. Terlebih karena perekonomian bangsa kita lebih banyak ditopang kegiatan pertanian. Perlu dicermati mengapa bidang ini, bagi generasi muda, seperti tidak memiliki bargaining dibanding bidang lain. Padahal, mahasiswa pertanian tidak digodok hanya untuk menjadi petani, tetapi perencana bidang pertanian.
Menurunnya peminat bidang pertanian antara lain disebabkan oleh pergeseran persepsi belajar di kalangan generasi muda. Mereka terjebak pemikiran pragmatis dengan menganggap pendidikan sebagai salah satu tahap mendapat pekerjaan. Padahal tak sepenuhnya benar.

Persepsi Keliru
Aliran konstruktivisme mengartikan belajar sebagai proses yang menghasilkan perubahan tingkah laku. Artinya, belajar yang berhasil berimplikasi langsung pada tingkah laku, baik berupa sikap, kebiasaan, pola pikir, pemahaman, maupun penguasaan konsep. Namun belakangan, terjadi pergeseran asumsi belajar. Tidak sedikit generasi muda menganggap belajar sebagai prasyarat meraih nilai bagus karena memiliki keampuhan menetukan masa depan. Padahal, belum tentu angka-angka dalam buku laporan akademik menggambarkan keadaan yang sebenarnya. Terlebih dalam proses evaluasi belajar kerap terjadi kesalahan hingga memberikan peserta didik bertindak curang
Kenyataan bahwa banyak mahasiswa atau pelajar hanya belajar menjelang ujian adalah bukti terjadinya pergeseran persepsi tersebut. Mereka belajar agar dapat menjawab rangkaian soal yang diujikan. Tak peduli apakah soal tersebut relevan dengan potensi yang dimilikinya. Tak heran jika peserta didik justru lebih sibuk mencermati nilainya, dari pada berefleksi menakar kualitas diri.
Kesalahan persespi, tampaknya, juga dialami pengajar dan orang tua. Mereka terbiasa mengukur kesuksesan belajar hanya dari laporan akademik. Mereka membanggakan nilai yang tinggi tanpa tahu bagaiamana pemerolehan nilai tersebut. Parahnya, kecenderungan mendewakan nilai juga merambah lembaga. Sekolah biasanya hanya menerimakan reward kepada peserta didik dengan nilai akademik tinggi, tanpa melihat kecakapan hidup yang dikuasainya. Pemahaman ini bisa jadi salah satu sebab kegagalan pendidikan di Indonesia. Akibatnya banyak pelajar dan mahasiswa gagap saat menghadapi dunia kerja.
Di negara kita, syarat meraih gelar sarjana adalah menyelesaikan penulisan skripsi. Berbeda dengan beberapa jurusan di perguruan tinggi di Perancis. Mahasiswa baru berhak menyandang gelar sarjana setelah menghasilkan karya nyata. Misalnya, gelar sarjana ekonomi baru akan diterimakan setelah mahasiswa mampu mendirikan badan usaha dengan capaian profit tertentu.

Link and Match
Kesalahan mempersepsi belajar ternyata berakibat fatal. Dunia pendidikan kita hanya bisa melahirkan sarjana, bukan pemikir. Wisuda juga hanya anualitas pendidikan. Sedangkan lulusannya tidak memiliki bekal cukup menapaki karir profesional. Bahkan di Yogyakarta saja ada sekitar 21.000 sarjana yang nganggur tahun ini, 663 diantaranya bergelar S2 (Kompas, 23 Juli).
Inilah momentum revitalisasi pendidikan. Saatnya lembaga pendidikan menempati posisi yang sebenarnya sebagai pusat perubahan sosial. agar lulusan perguruan tinggi tak menumpuk, diperlukan pola pendidikan berbasis keterampilan kerja (link and match).
Konsep link and match adalah penghubung dunia pendidikan dengan dunia kerja profesional. Konsep ini muncul sebagai refleksi keinginan setiap individu untuk hidup lebih baik setelah menyelesaikan pendidikan. Berbagai keterampilan yang diperoleh selama poses belajar selain digunakan sebagai bekal hidup, juga dapat dikomersilkan sebagai konsekuensi kehidupan sosial yang saling membutuhkan. Lembaga pendidikan dituntut mampu membekali peserta didiknya dengan beragam keterampilan hidup (life skills). Namun karena jenis keterampilan dalam dunia kerja beragam, pendidikan perlu disesuaikan dengan bidang yang diminati.
Dalam dunia kerja, tenga kerja dikelompokkan menjadi tiga. Pertama, tenaga kerja terampil, yaitu tenaga kerja yang menggunakan kecakapan dan keterampilan sebagai dasar profesi. Disinilah kemampuan psikomotor berperan sangat penting sebagai alat utama menyelesaikan jobnya. Kedua, tenaga kerja terdidik, yaitu tenaga kerja yang dihasilkan oleh proses pendidikan pofesional secara teoritis dan analitis. Tenaga kerja terdidik lebih mengutamakan kemampuan kognitifnya, seperti; analisa, pemikiran, hipotesa, observasi, dan eksprimen sebagai dasar profesi. Ketiga, tenaga kerja ahli, yaitu tenaga kerja yang memiliki latar belakang pendidikan formal untuk kemudian dipublikasikan sebagai bekal keterampilan lapangan.
Dapat dimengerti jika seseorang ingin hidup layak setelah menyelasikan pendidikan tertentu. Namun pendidikan tidak bisa dijadikan batu loncatan semata. Pendidikan adalah perubahan menjadi lebih baik yang terimplementasi dalam kegiatan belajar yang berkesinambungan. Karena itulah tidak ada pendidikan instan. Sudah seharusnya kita merubah paradigma lama itu. Karena sejatinya hasil belajar tidak dapat diukur dengan angka, tapi berupa perubahan tingkah laku yang kompleks, dapat diukur, diamati, dan dirasakan.

Surahmat
Pegiat Komunitas Nawaksara Banjarnegara

No comments:

Post a Comment