Wednesday, 13 January 2010

Menyelamatkan Waduk Mrica

Pemadaman bergilir yang dilakukan PLN adalah bukti mulai melangkanya energi di negara kita. Para ahli memperkirakan, tidak lebih dari dua dekade lagi sumber energi fosil seperti minyak akan habis. Padahal sekitar 70 persen pembangkit listrik yang dimiliki PLN masih menggunakan Bahan Bakar Minyak (BBM). Jika cadangan minyak dalam negeri habis, dapat dipastikan listrik juga akan menghilang. Untuk mengantisipasinya, sumber-sumber energi alternatif harus tetap terpelihara sehingga tetap mampu menyumbang produksi energi nasional. Sangat disayangkan, sumber energi hidro seperti waduk Panglima Besar Jederal Soedirman -lebih dikenal dengan Waduk Mrica- di Banjarnegara justru terancam eksistensianya.
Saat awal di fungsikan pada tahun 1989 waduk Mrica diperkirakan dapat berfungsi selama 60 tahun, atau hingga 2050. Namun pendagkalan akibat benda sedimen yang berjalan terus menerus membuat debit air dalam waduk berkurang. Akibatnya, produksi listrik juga menurun. Padahal PLTA ini mampu memproduksi energi listrik hingga 180,93 Mega Watt (MW). Jika sedimentasi tidak diatasi, umur waduk ini hanya sekitar 10 tahun lagi, hanya separuh dari usia waduk yang ditargetkan.
Selain sebagai pembangkit energi listrik, waduk Mrica juga berfungsi sebagai pengendali banjir saat musim hujan, objek wisata, dan memberikan masukan pendapatan daerah dari retribusi pemanfaatan air permukaan. Penduduk sekitar di kecamatan Wanadadi dan Bawang juga memanfaatkannya untuk mengembangkan ikan darat dengan keramba. Seiring dengan kerusakan waduk potensi ini akan berkurang.

Sedimentasi
Waduk Mrica disangga oleh dua sungai besar di Banjarnegara, yaitu Serayu dan Merawu. Diperkirakan, erosi pada (Daerah Aliran Sungai) DAS Serayu yang luasnya 678,31 km persegi mencapai 4,12 mm pertahun. Kondisi lebih parah terjadi di DAS Merawu. Dengan luas sekitar 218,6 km persegi tergerus hingga 10,23 mm pertahun. Laju erosi di kedua sungai membuat endapan lumpur semakin menumpuk. Hingga akhir tahun 2007 saja endapan lumpur dalam waduk telah mencapai 74 juta meter kubik. Padahal kaspasitas waduk ini hanya 140 juta meter kubik. Artinya, separuh lebih daya tampung waduk telah dipenuhi lumpur.
Secara kasat mata, sedimentasi dapat dilihat pada kekeruhan air sungai. Selain itu, aliran sungai juga kerap membawa material padat berupa batu cadas atau sampah. Ditengarai, larutnya berbagai material menyebabkan penyuburan Lumpur sehingga memicu pertumbuhan tanaman di dasar waduk. Jika dibiarkan terus menerus, tentu saja akan memberi kontribusi besar pada pendangkalan waduk.
Setidaknya ada tiga hal yang menyebabkan erosi di DAS kedua sungai tersebut sangat cepat.
Pertama, tanah di keempat kecamatan penyangga waduk sangat miring. Beberapa daerah berupa perbukitan yang mudah hanyut air atau longsor. Saat terjadi bencana tanah longsor di desa Sijeruk awal tahun 2006 lalu misalnya, Lumpur longsoran hanyut melalui Sungai Komprat, anak sungai Merawu. Kedua, sebagian besar penduduk kecamatan Batur dan Pejawaran berprofesi sebagai petani sayur. Umumnya mereka menebang tanaman menahun agar sayuran bisa tumbuh dengan baik. Mereka juga kerap membuat bedeng tanah searah dengan kemiringan tanah sehingga tanah lebih mudah hanyut jika hujan. Ketiga, di hulu sungai Serayu dan Merawu terjadi kerusakan hutan. Hutan pinus banyak dimanfaatkan penduduk sebagai lahan pertanian. Keempat, di beberapa titik terdapat penambangan pasir.

Rehablitasi Lahan
Pengelola waduk Mrica sadar betul bahwa upaya melestarikan waduk harus dibangun dengan kesadaran masyarakat. Karena itulah pengelola (PT. Inonesia Power) UPT. Mrica menyelanggarakan acara tahunan bertajuk Jumpa Bakti Lingkungan Alam Raya (Jambalaya) Serayu. Acara semacam ini juga bentuk sosialisasi kepada masyarakat sekitar DAS agar mau berpartisipasi aktif menjaga kelestarian lingkungan. Melalui kegiatan ini, diharapkan masyarakat mengerti peran sertanya untuk menyelamtkan waduk Mrica.
Banyakanya lumpur endapan memaksa pengelola melakukan pengerukana agr waduk dapat diselamatkan. Namun hal itu akan memakan biaya yang sangat besar. Bias jadi, biaya pengerukan akan sama dengan biaya pembangunan waduk. Selain itu, pengerukan akan memakan waktu terlalu lama hingga menyebabkan pembangkit tidak bisa beroperasi. Namun bukan hanya itu masalah yang dihadapi ini. Untuk membuang lumpur yang sedemikian banyak, diperlukan lahan yang sangat luas. Lumpur tidak mungkin dihanyutkan karena akan menimbulkan masalah lingkungan di muara sungai.
Sebenarnya, karena mengandung tanah lempung lumpur endapan dapat dimanfaatkan menjadi bahan baku pembuatan batu bata. Bahkan potensial di jadikan pupuk karena mengandung NPK dan fosfor. Sekali lagi, karena jumlahnya yang terlalu banyak, akan sangat sulit mengelolanya dalam waktu singkat. Namun pengerukan tidak akan efektif selama laju erosi tetap dibiarkan.
Penyelamatan waduk Mrica harus dilakukan dengan mengatasi akar masalahnya, yakni merehabilitasi DAS Serayu dan Merawu. Pola pengelolaan tanah yang keliru juga perlahan harus diperbaiki. Termasuk dengan merehabilitasi hutan yang rusak.
Tanah-tanah gundul di keempat kecamatan penyangga waduk perlu direboisasi. Meski di kecamatan Batur dan Pejawaran pernah dilakukan penanaman pohon, namun tidak efektif. Kesadaran masyarakat yang rendah atas pelestarian lingkungan membuat penanaman gagal. Salah satu sebabnya, tanaman yang ditanam adalah akasia, suren, dan kaliandra yang kurang memiliki nilai ekonomi bagi masyarakat. Agar masyarakat mau terlibat menjaga tanaman, pola penanaman akan lebih baik jika dirubah. Termasuk dengan mengganti jenis tanaman yang bisa memberi manfaat (secara langsung) pada masyarakat.
Selain itu, agar kesadaran masyarakat terbangun, DAS perlu dihidupkan menjadi lokasi wisata seperti arung jeram. Sedangkan waduk, dapat dikelola menjadi area wisata dan olahraga air. Selama ini pengelolaan waduk sebagai tempat wisata dinilai masih kurang.

Surahmat, anggota BP2M Unnes
Sumber: Wacana Lokal Suara Merdeka, 29 Juli 2008
http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2008/07/29/24090/Menyelamatkan.Waduk.Mrica

No comments:

Post a Comment