Wednesday, 13 January 2010

Pola Tani Neonomaden

Sebagai daerah agraris, kabupaten Banjarnegara memiliki berbagai masalah pertanian yang terus bermunculan, tentu saja di samping berbagai potensi yang belum sepenuhnya dapat dimanfaatkan. Seringkali berbagai masalah pertanian itu justru mencuat karena ulah manusia yang ingin berinovasi dengan menggunakan media alam sebagai laboratorium hidup. Hal ini terjadi karena kondisi tanah di Banjarnegara sangat variatif sehingga memberi kesempatan pada sebagian masyarakat untuk terus mengembangkan pola pertanian. Sayangnya, kegiatan eksplorasi tanah tersebut sering tidak disertai dengan konsep pertanian yang memadai sehingga dapat menimbulkan efek negatif bagi lingkungan. Salah satu bentuk eksplorasi tanah yang kini marak dilakukan oleh sebagian masyarakat Banjarnegara adalah memanfaatkan lahan kosong di kawasan hutan negara.
Pertumbuhan penduduk yang lajunya seperti tak terhentikan seringkali menjadi penyebab dari berbagai masalah sosial. Termasuk masalah pertanian yang kini tengah menjamur di kalangan petani Banjarnegara, khususnya yang bermukim di pinggiran hutan. Pertambahan jumlah penduduk menuntut penyediaan lahan pertanian sebagai tumpuan hidup utama masyarakat agraris. Sayangnya, jumlah penduduk yang terus bertambah itu tidak diikuti dengan pertambahan lahan potensial yang dapat menjadi sumber penghidupan. Sehingga penduduk berusaha keras memanfaatkan lahan kritis agar dapat dimanfaatkan kembali, termasuk hutan homogen yang banyak tersebar di kabupaten Banjarnegara.
Hutan homogen seperti hutan pinus, damar atau puspa banyak tersebar di wilayah kabupaten Banjarnegara. Kini, oleh masyarakat, keberadaannya diubah menjadi dwi fungsi. Selain sebagai hutan negara yang bermanfaat dalam upaya konservasi alam dan penyedia berbagai hasil hutan, hutan homogen juga banyak di manfaatkan masyarakat yang tinggal di sekitarnya sebagai tanah garapan. Upaya masyarakat untuk merefungsionalisasi hutan bukan tanpa sebab. Hal ini dilakukan sebagai implikasi perbandingan jumlah penduduk dan ketersediaan lahan potensial yang tak seimbang.
Hutan pinus yang mendominasi sebagian besar hutan negara di wilayah kabupaten Banjarnegara, kini telah menjadi hutan yang lebat. Pohon-pohonnya yang telah meninggi memberikan kelonggaran di permukaan tanah. Umumnya tanah hanya di tumbuhi berbagai rumput liana yang sama sekali tidak bermanfaat, bahkan dapat menganggu pertumbuhan tanaman baku. Oleh masyarakat yang awalnya hanya mencoba-coba, gulma-gulma tersebut dibuang dan diganti dengan tanaman lain yang lebih bermanfaat. Nampaknya, eksperimen alam ini berhasil sehingga dilakukan kembali dalam skala yang lebih besar. Tak heran jika sekarang banyak hutan pinus yang tanahnya tergarap intensif sebagaimana lahan milik penduduk.
Kegiatan yang awalnya hanya dilakukan oleh penyadap getah pinus ini ternyata menarik minat masyarakat lain. Bahkan oleh masyarakat yang sebelumnya sama sekali tidak terlibat dalam upaya penjagaan hutan. Kini kegiatan seperti itu telah mewabah, khususnya bagi masyarakat yang tidak memiliki tanah milik. Hal ini memang dapat menjadi solusi atas kelangkaan lahan potensial, sehingga mampu memberikan kontribusi dalam peningkatan kemampuan ekonomi. Selain itu, kegiatan ini juga cukup membantu para penyadap getah karena dapat mempermudah proses penyadapan.
Sayangnya, masyarakat tidak cukup puas mengerjakan lahan di hutan pinus yang tak begitu subur. Tentu karena tanah di hutan pinus banyak yang kemiringannya di atas 10o, sehinga proses erosi berjalan begitu cepat. Sedangkan penggarap enggan menerapkan pola terasering. Erosi yang berlangsung terus menerus akan mengikis tanah humus yang terletak di lapisan paling atas sehingga mengurangi kesuburan tanah. Mereka akan segera berpindah ke lokasi lain setelah tanah yang mereka garap sudah tidak dapat memberikan hasil memuaskan. Perpindahan lokasi dari tempat lama yang dirasa tak potensial lagi ke daerah baru yang lebih potensial inilah yang menyebabkan pola tani menjadi tidak teratur sehingga sering disebut sebagai pola tani neo nomaden.
Sepanjang keberlangsungan pola tani neo nomaden, memang belum dirasakan akibat yang fatal. Bahkan implikasi positif yang kini muncul adalah semakin meningkatnya produktifitas masyarakat pedesaan karena mampu memanfaatkan lahan kritis. Tentu saja hal ini berpengaruh langsung pada tingkat pendapatan masyarakat, dan berlahan-lahan akan meningkatkan taraf hidup. Hanya saja, jika proses erosi berjalan terus tanpa upaya pencegahan, tentu dapat mengganggu kestabilan tanah dan memungkinkan terganggunya keseimbangan lingkungan. Apalagi jika para penggarap ini mulai melakukan agresi dengan membuang atau mematikan tanaman baku. Proses ini memang menguntungkan beberapa pihak namun tetap harus mendapatkan pengawasan dan pembinaan agar masyarakat tetap produktif tanpa mengabaikan aspek AMDAL.

No comments:

Post a Comment