Wednesday 13 January 2010

Teknologi dan Kebanalan Komunikasi

Rasa kehilangan Seno Gumira Ajidarma pada informasi yang menusiawi tergambar jelas pada tulisan Janganlah Hilang… (Kompas 21/4). Di tengah serbuan informasi digital ia sangat merindukan teriakan loper koran di pagi hari. Ia bahkan merasa tak lengkap jika hidungnya, pada suatu pagi, tak melahap aroma kertas buram surat kabar.
Era digital memang tak membuat Seno, atau jutaan pembaca koran lain, khawatir kehilangan informasi. Tak ada bedanya informasi yang ada pada surat kabar edisi cetak maupun digital. Namun teriakan seorang loper koran dan sapaannya yang khas akan membuat informasi dalam surat kabar menjadi semakin bermakna, kaya rasa. Setidaknya, melalui lembaran-lembaran koran kita bisa membayangkan kayuhan sepeda loper koran itu mengelilingi kompleks, kecermatan editor mengurusi titik dan koma, juga kerja keras reporter saat mewawancara narasumber.
Persoalan koran dalam edisi cetak dan digital sesungguhnya gambaran persoalan komunikasi yang kita hadapi belakangan ini. Kita berada dalam era kepraktisan tapi emoh melepas romantisme komunikasi yang humanis. Di satu sisi kita ingin mendapatkan informasi dengan cara paling mudah, paling cepat, dan paling murah, sedangkan di sisi lain tetap merindukan sentuhan rasa yang humanis.
Komunikasi bukan perkara substansi informasi (containt) belaka. Selain substansi, komunikasi dibangun oleh pilar sosial dan psikologis yang unik dan terlalu sulit disegmentasikan. Karena itulah aktivitas berkomunikasi akan terasa rumpang jika hanya dibangun oleh containt (informasi) tanpa pilar lain. Peristiwa pertukaran informasi semata tidak akan layak disebut sebagai komunikasi, tapi hanya pertukaran informasi biasa.
Darah Seno memang tumpah di Boston, tapi model komunikasi yang ia rindukan barangkali hanya bisa ia dapat di Indonesia. Di balik surealisme cerpen yang dikarangnya ia takluk pada nilai-nilai kemanusiaan yang ada di Indonesia. Bahkan potongan senja yang dibungkusnya dalam amplop jingga seperti yang ia kisahkan dalam Sepotong Senja untuk Kekasihku bukan senja di Boston, tapi mungkin di Jakarta, Solo, atau Yogyakarta.
Penggunaan teknologi dalam tren komunikasi belakangan bisa dimengerti sebagai kemenangan logika (karsa) manusia. Tapi hegemoni teknologi juga bisa diartikan sebagai wujud kekalahan perasaan (rasa) manusia. Perlahan tapi pasti urusan komunikasi diambil alih oleh teknologi, sedangkan perasaan hanya disisakan porsi yang sangat sedikit..
Teknologi tidak memiliki napas, suara sengau khas penderita influeza ringan, bersin, atau bau keringat yang kurang sedap. Teknologi juga tidak bisa mengernyitkan kulit kening, menaik-turunkan jakun, dan mengatur tekanan napas karena tidak pernah hidup. Jika suatu saat nanti teknologi komunikasi benar-benar mengambil alih peran manusia, sungguh kemunikasi yang terjalin akan sangat terasa kering dan hampa.
Dahulu, untuk menyatakan cinta pada gadis idamannya seorang remaja pria perlu merenung beberapa hari untuk mencari konsep yang tepat. Setelah proses itu ia akan sibuk memilah kata untuk mengekspresikan perasaannya. Bahkan agar pernyataan cintanya memiliki nilai rasa yang kental ia harus menggunakan bunga (sebagai simbolisasi perasaannya yang indah). Namun sekarang maksud dan tujuan yang sama bisa dilakukan dengan mengirimkan gambar hati (berbentuk daun waru) melalui pesan singkat (SMS). Karena toh zaman telah bersepakat bahwa gambar hati adalah perlambang cinta, meski nyatanya sangat kering, dangkal, bahkan nyaris tanpa rasa.

Facebook
Berkembangnya teknologi komunikasi tampaknya telah menjebak kita dalam kegiatan komunikasi yang substansif. Dalam komunikasi yang diperantarai teknologi substansi informasi menjadi satu-satunya hal yang berharga. Sebuah pesan yang mestinya mengandung substansi informasi sekaligus konteks yang mengikatnya melulu dibangun oleh informasi, sedangkan konteks dianggap tidak punya peran karena teknologi tak mampu memfasilitasinya. Demikian pula Facebook. Situs jejaring sosial yang dirancang sedemikian canggih itu tak mampu mengakomodasi kebutuhan komunikasi manusia.
Wacana fatwa haram yang dilontarkan sejumlah pemuka agama di Madura bukan semata karena potensi mudharatnya. Potensi mudharat toh bisa muncul di setiap aktifitas manusia, dan karena itulah seluruh aktivitas manusia berpotensi difatwakan haram. Namun wacana itu hendaknya menjadi tetenger bahwa komunikasi antarmanusia tak akan pernah bisa digantikan oleh alat. Alat komunikasi yang sempurna adalah manusia itu sendiri.
Kekhawatiran para ulama tidak harus kita judge sebagai tindakan yang kontra kemajuan. Barangkali mereka hanya khawatir Facebook akan menjajah cara berkomunikasi masyarakat pada suatu saat nanti. Mereka khawatir uluk salam yang santun, senyum dan sapaan yang ceria, juga cipika-cipiki yang hangat pada suatu saat akan hilang. Kita tentu akan sangat sedih jika lebaran tahun depan tamu yang kita terima hanya email, SMS, atau ucapan selamat di status Facebook kita. Kita akan sangat merindukan teman dan tetangga yang berkenan datang untuk menyantap ketupat dan gudeg bersama.

Surahmat
Pegiat Komunitas Nawaksara Banjarnegara

No comments:

Post a Comment