Wednesday 13 January 2010

Menangkal Konsumtifisme Lebaran



Seorang teman yang bekerja pada sebuah percetakan, dengan sedikit malu-malu bermaksud meminjam uang beberapa hari lalu. Ia mengaku terkena sindrom lebaran, kebiasaan berbelanja berlebih saat lebaran hingga tabungannya nyaris habis.
Kejadian ini bisa menggambarkan perilaku konsumtif selama Ramadhan dan lebaran pada masyarakat kita. Entitas Muslim di Jawa, bahkan Indonesia, tampaknya tidak mampu menahan godaan untuk merayakan Idul Fitri secara mewah.

Kebiasaan berbelanja berlebih memang bagian dari perayaan Idul Fitri yang telah lama terjadi pada masyarakat Indonesia. Berbelanja, memperindah rumah, bahkan menyuguhkan beragam makanan menjadi bagian tak terpisahkan selama lebaran. Karena itulah pengeluaran seseorang atau sebuah keluarga naik drastis.

Lebaran galibnya dipahami sebagai ekspresi suka cita setelah selesai melaksanakan puasa Ramadhan. Padahal jika dicermati, kebiasaan berbelanja berlebih hanyalah euforia yang lebih dekat dengan kemubadziran. Banyak barang yang sebenarnya tidak perlu namun terpaksa dibeli karena dorongan untuk merayakan lebaran secara besar-besaran.

Fenomena ini menarik karena juga dipengaruhi pemahaman konsep yang keliru antara lebaran dan idul fitri. Meski kerap disamakan sebenarnya ada rentang yang amat jauh antara keduanya. Idul Fitri, sebagai momentum spiritual entitas Muslim, dirayakan oleh seluruh umat Muslim di dunia. Sedangkan lebaran, yang dalam praktiknya lebih menyerupai prosesi budaya, hanya ditemukan di Indonesia.

Empat 'L'
Perilaku konsumtif yang menyertai lebaran setidaknya dapat diamati dalam laku empat L, yakni lebaran, laburan, liburan, dan leburan. Keempatnya melebur dalam sebuah perhelatan yang jamak disebut masyarakat sebagai Idul Fitri.

Lebaran di Jawa identik dengan berbagai tradisi, baik yang digelar secara individu maupun komunal. Selain tradisi membeli baju baru, pada hari-hari Ramadhan masyarakat banyak melakukan ziarah massal. Pada hari itu pula masyarakat seperti di Banyumas biasanya melakukan lunas atau membersihkan kuburan bersama-sama.

Jelang Idul Fitri masyarakat juga terbiasa mempersiapkan berbagai hidangan dan aneka ragam jajanan. Bahkan untuk memeriahkan lebaran beberapa kelompk masyarakat biasa mengadakan arisan lebaran jauh hari sebelum puasa dimulai. Dengan maksud menyemerakan Idul Fitri beberapa kelompok masyarakat di pedesaan Banjarnegara misalnya, berinisiatif arisan kambing, sapi, atau kerbau sebagai persiapan lebaran.

Selain lebaran, laku laburan atau menghias rumah juga masih langgeng dilakukan masyarakat di Jawa Tengah. Labur adalah batu gamping yang dulu digunakan masyarakat untuk mengecat dinding gedheg atau kayu. Konotasi laburan pelan-pelan bergeser merujuk pada kegiatan menghias rumah, baik dengan cat maupun dengan memasang ornamen, karena labur sendiri mulai jarang digunakan.

Dulu laburan dirasa perlu untuk menyambut sanak saudara jauh yang akan berkunjung. Selain sebagai bentuk penghormatan, laburan juga dimaksudkan untuk meningkatkan pamor diri dan keluarga. Sebab, beberapa kelompok masyarakat masih percaya, rumah yang indah menggambarkan kemapanan ekonomi pemiliknya.

Laburan sangat dekat perilaku konsumtif sebab memerlukan biaya besar. Apalagi belakangan ini latah-latahan laburan tidak hanya terwujud dalam kegiatan mempercantik rumah, tetapi juga membeli perabot rumah tangga baru. Karena itulah biaya yang diperlukan menjadi besar.

Sebagai kegiatan yang belakangan identik dengan Idul Fitri, liburan juga menggambarkan perilaku konsumtif masyarakat. Karena banyak orang menganggap liburan harus dilakukan dengan melakukan kunjungan ke objek wisata, liburan memerlukan biaya lebih. Ini berbeda dengan konsep liburan lama yang hanya berarti cuti atau break bekerja.

Liburan dalam arti berwisata saat ini bukan lagi monopoli masyarakat kelas menengah ke atas. Pasca-Idul Fitri kita bisa mengamati masyarakat kelas menengah ke bawah juga terlihat antusias berwisata meski dengan cara berbeda. Mereka mengunjungi berbagai objek wisata lokal, seperti pantai, kebun binatang, atau pentas dangdut sekalipun harus berdesak-desakan naik kendaraan bak terbuka.

Di antara empat L di atas, barangkali hanya leburan yang esensinya lebih dekat dengan aspek spiritual. Leburan adalah kebiasaan berkunjung ke rumah tetangga untuk sungkeman, meminta maaf atau melebur dosa. Dengan melakukan leburan masyarakat percaya dosa antara sesama manusia dapat dimpuni asal keduanya ikhlas.

Namun demikin, tradisi leburan juga patut kita kritisi karena belakangan telah berubah menjadi peristiwa budaya semata. Sungkeman yang mestinya menggambarkan bakti seseorang yang lebih muda terhadap orang yang lebih tua telah menjadi kebiasaan yang dangkal. Sedangkan bermaaf-maafan yang mestinya menjadi tolak balik perubahan sikap dari kurang baik menjadi lebih baik juga menjadi sekadar kebiasaan.

Terbalik
Dari tradisi sungkem dan bermaa-maafan itulah kita bisa melihat masyarakat mulai terbalik menempatkan prioritas. Idul Fitri yang mestinya menjadi peristiwa sakral justru tergeser oleh keinginan merayakan lebaran secara besar-besaran. Keduanya seolah-olah terhubung secara resiprokal meski lebaran sebenarnya hanyalah ekspresi kesukacitaan merayakan Idul Fitri.

Kekeliruan menempatkan prioritas semakin kentara karena momentum Idul Fitri sengaja dimanfaatkan pemilik modal (kapitalis) untuk kepentingan bisnisnya. Melalui berbagai iklan dan promosi kaum kapitalis terus menerus mendorong masyarakat merayakan Idul Fitri dengan berbelanja. Maka tidak heran jika jelang Idul Fitri lalu hampir semua pusat perbelanjaan menawarkan great sale.

Prioritas yang terbalik juga dapat diamati pada fenomena mudik yang langgeng hingga kini. Saat melakukan perjalanan mudik banyak orang memilih tidak berpuasa meski keutamaan puasa Ramadhan lebih ditekankan agama daripada mudik (silaturahmi). Perlahan tapi pasti, Idul Fitri bergeser dari perayaan spiritual menjadi prosesi budaya yang konsumtif dan banal.

Surahmat
Pegiat Komunitas Nawaksara Banjarnegara.

No comments:

Post a Comment